Quantcast
Channel: Rayakultura.Net
Viewing all 175 articles
Browse latest View live

Duo DoA Pentas di Tembi Rumah Budaya

$
0
0

Duo DoA

Group musik ‘Duo DoA’ terdiri dari dua orang Donny E.Saputra dan Aldy Erlangga. Keduanya tinggal di Jakarta, hadir di Tembi Rumah Budaya saat acara Sastra Bulan Purnama edisi ke-43 me-launching antologi puisi ‘Mozaik’ karya Lies Wijayanti, Jumat 3 April 2015. Keduanya mengolah puisi karya Lies menjadi lagu.

Donny memetik gitar dan Aldy bertindak sebagai vokal. Dua puisi, berjudul ‘Kangen’ dan ‘Desember Tujuh Sembilan’ mereka gubah menjadi lagu. Suara Aldy enak didengar, dipadukan petikan gitar Donny, dan musik yang sudah dikomputerisasi menjadikan pertunjukan ‘Dua DoA’ asyik untuk dinikmati.

Duo DoA memamg khusus menggarap puisi Lies Wijayanti menjadi lagu. Bahkan karya itu sudah direkam dalam bentuk CD. Dua judul puisi ‘Kangen’ dan Deesember Tujuh Sembilan’ sudah bisa didengarkan melalui CD. Mungkin, sekaligus untuk mengenalkan, dua lagu puisi tersebut ditampilkan dalam acara Sastra bulan Purnama.

Sesungguhnya, tak ada yang membedakan dengan musikalisasi lainnya. Duo DoA, tampil dua orang, dan yang satu memetik gitar,. Satu lainnya mengalunkan lagu. Pola seperti ini hal biasa dalam pertunjukan lagu puisi, bahkan biasanya seseorang memetik gitar sembari mengalunkan lagu puisi.

Mungkin yang membedakan, suara Aldy Erlangga enak didengar. Dipadukan dengan petikan gitar Donny Saputra yang lembut, keduanya seperti serasi. Keduanya saling mengisi dan lagu ‘Kangen’ dari puisi Lies Wijayanti seperti terasa religius. Bahwa rasa kangen bukan dengan relasi lawan jenis, tetapi pada dimensi lain.

Berikut ini puisi ‘Kangen’ yang sangat pendek, yang ketika dilagukan terasa tidak pendek. Karena ada bagian yang diulang-ulang.

Kangen

Sepi melanda
melanda segala ada
sekeping kangen

Sunyi menghuni
menyibak dini hari
semakin menjadi

parah rasa,
Tuhan tolong hamba
sua, suakan dia!

Bogor, Juli 1978

Duo DoA, memang tidak hadir secara pop. Mereka tampil dalam bentuk lain, laiknya lagu puisi, yang bukan pop, tetapi memiliki nuansa tersendiri, yang sulit dicarikan kategorinya, seperti umumnya lagu puisi yang selama ini dikenali. Makanya, lebih tepat disebut sebegai lagu puisi, yaitu puisi yang dilagukan. Karena kalau musikalisasi puisi, bentuknya bisa bermacam-macam, bisa berupa membaca puisi diiringi musik dan seterusnya.

Ons Untoro
Foto: Budi Adi

Sumber : Tembi.net


Lies Wijayanti Penyair Yang Sembunyi Akhirnya Tampil

$
0
0

Lies WijayantiLies Wijayanti, yang menyelesikan Ph.D Flowering Physiology di Universitas Saitama, Jepang, dalam kesibukan keseharian, tak mengabaikan dunia sastra, khususnya puisi. Sejak akhir dekade 1970-an dia sudah aktif menulis puisi. Hanya saja Lies tidak mempublikasikan puisinya secara gencar di media cetak.

Sebagai penyair, Lies Wijayanti mungkin namanya belum terlalu dikenal di dunia kepenyairan di Indonesia, tetapi bukan berarti dia tidak menulis puisi. Sejak akhir dekade 1970-an dia sudah aktif menulis puisi. Hanya saja Lies tidak mempublikasikan puisinya secara gencar di media cetak, yang pada waktu itu memberi ruang bagi karya-karya sastra.

Sampai hari ini, Lies Wijayanti tidak berhenti menulis, bahkan puisinya yang ditulis selama ini dikumpulkan menjadi satu buku dan diberi judul ‘Mozaik”. Antologi puisi ini, Jumat malam 3 April 2015 dilauncing pada acara Sastra Bulan Purnama Tembi Rumah Budaya edisi ke-43. Lies yang tinggal di Jakartra, bergabung dengan para penyair lainnya, yang hadir dalam acara ini.

Wajah Lies tampak bahagia. Hujan yang begitu deras sejak awal acara tidak menjadi kendala bagi publik Sastra Bulan Purnama. Mereka hadir dan di tengah guyuran hujan, menikmati puisi demi puisi yang dibacakan, sembari menikmati hangatnya bakmi Jawa Tembi, yang memang dipesan khusus oleh Lies untuk tamu-tamu yang hadir.

Puisi, Lies dan hujan hadir dalam suasana puitis nan akrab. Rembulan, yang biasanya hadir di bulan purnama dan menghiasi acara Sastra Bulan Purnama, pada malam itu tak tampak, karena langit ditutup mendung dan hujan. Namun, justru karena hujan, puisi malah menghangatkan suasana.

Lies Wijayanti sendiri tampil membaca dengan penuh ekspresif. Lies seperti sudah terbiasa membaca puisi, Ekspresi wajahnya dan gerak tangan, menandakan Lies menghayati puisi yang dibacakan. Dua puisi yang dia bacakan, memberikan impresi pada penampilannya.

Lies Wijayanti tampil membaca puisi dalam acara Sastra Bulan Purnama di Pendapa Tembi Rumah Budaya, foto: Ons Untoro
Lies Wijayanti membacakan karyanya

Pada buku antologi puisi karya Lies Wijayanti, berisi puisi yang diberi ilustrasi. Ada goresan bunga, seekor angsa, kendi dan juga wajah diri Lies Wijayanti. Kedua karya ini disatukan dalam antologi, bukan yang satu untuk melengkapi yang lain, tetapi keduanya saling mengisi dan memaknai.

Lies Wijayanti, yang menyelesikan Ph.D Flowering Physiology di Universitas Saitama, Jepang, dalam kesibukan keseharian, tak mengabaikan dunia sastra, khususnya puisi. Berikut ini salah satu puisi karya Lies Wijayanti.

Angsa Putih, Edelweiss Putih, Aku Rindu

Malam, dalam pekat menyalak
Dalam sepi tersentak!
Samar deru motor dan gelepar kupu-kupu
Dengung lampu mengiang maya
Tanpa suara parau
Tanpa depak sayap

Malam,
angsa putih
edelweiss putih
aku rindu!

Bogor, Mei 1980

Naskah dan foto: Ons Untoro
Sumber: Tembi.net

Pidato Berkelas Dari Diplomat Dunia

$
0
0

Diplomat dunia yg luar biasa pidatonya juga berkelas spt ini. Saluut.

Posted by Maria Dara on Tuesday, April 14, 2015

Sebuah pidato yang luar biasa dari seorang diplomat kelas dunia akan sikap dan pandangannya.

Sumber : https://www.facebook.com/maria.dara.92/videos/10205753421907294/

MENGGEBIRI PENIS PATRIARKI?

$
0
0

naning pranoto-2015Sebuah Monolog Naning Pranoto bagi Ibunda R.A. Kartini.

Putaran poros waktu telah menghenti
Jantungku tak lagi berdetuk-detak kini
Aku dilempar dari ruang benderang ke bilik gulita begini
Di liang kubur: tanah merah, lembab, cacing-cacing menebar sunyi
Tubuhku melahar, , bola mata menyembur darah gumpal amarah Agni
Rambutku mendongak tombak, memberontak jambak jari besi si lelaki
Lingkar leherku menganga ungu-merah jambu, jejak cekik anyaman dadung tali
“Seorang babu seksi gantung diri di kamar mandi setelah membunuh majikan putri.” –
Itulah pewartaan tentangku di berbagai koran dan tayangan di layar televisi berhari-hari
Ruhku meronta-ronta mendengarnya, karena itu – sungguh, sungguh berita yang dimanipulasi
Untunglah, kawanan lalat penyaksi tragedi menjawab kala diwawancarai wartawan-wartawati:
– Siapa sebetulnya yang membunuh majikan putri?
– Lelaki itu – Suami majikan putri
– Mengapa terjadi?
– Karena majikan putri mengajari baca tulis si babu dengan setulus hati
– Apa hubungannya ini?
– Si babu jadi bisa membaca dan suka buku-buku sastrawi, bahkan menulis puisi
– Puisi apa? Puisi cinta picisan atau puisi — ?
– Puisi menolak korupsi, puisi menolak poligami, puisi menolak dominasi patriarki
– O, sungguh cerdas si babu. Tentu ia bukan babu biasa. Patut diapresiasi!
– O, tidak. Si suami murka berat. Lalu, ia tusuk perut strinya dengan belati.
– Mengapa si babu bunuh diri?
– Si suami majikan putri yang gantung si babu di kamar mandi setelah puas ia setubuhi
– ????
– Tolong, sampaikan Ibunda R.A. Kartini – bagaimana caranya menggebiri penis patriarki?
– ????
– Perempuan adalah payudara, menyusui semesta. Tumpas misoginis ruh patriarki!

Bisu. Sunyi. Dari liang kubur kulihat si suami majikan putri mengokang senapan ke arah wartawati:
Warta kebenaran tentang kematianku tak muncul di koran-koran maupun di tayangan layar televisi.

Gubug Hijau, 20 April 2015

Jumpa Para Perempuan Baja di Hutan Beton

$
0
0

Catatan Perjalanan dari Hong Kong Naning Pranoto

Telah berkali-kali saya berkunjung ke Hong Kong. Tapi, perjalanan saya ke Hong Kong pada bulan Maret lalu punya tujuan khusus. Saya menjumpai adik-adik Buruh Migran Indonesia (BMI) Perempuan, khususnya para pendiri KoTeMa – Komunitas Teater Matahari. Dari KoTeMa saya tidak hanya melihat kegiatan para perempuan bermain teater, menulis astra, membaca puisi, melainkan lebih luas dari itu. Saya belihat puluhan ribu Perempuan Baja yang berjuang dengan berbagai ‘jurus silat’ untuk meningkatkan kualitas hidup secara rohani maupun ragawi. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari lika-liku perjuangan mereka. Bahkan, juga mengharukan.

Bukan Sembarang PRT

Sampai dengan bulan Maret 2015, jumlah BMI di Hong Kong sekitar 150.000 – demikian penjelasan Chalief Akbar, Konsul Jenderal RI untuk Hongkong SAR dan Macao SAR. Sebagian besar perempuan. Yang menggembirakan adalah, para BMI perempuan yang di Hong Kong pada umumnya punya semangat belajar yang tinggi. Baik, belajar secara formal maupun nonformal. Mereka yang belajar secara formal menempuh pendidikan Kejar Paket A dan B, ada pula yang kuliah di Universitas Terbuka – difasilitasi oleh Konsulat Jenderal RI di Hong Kong SAR. “Ada beberapa dari mereka yang IP-nya di atas tiga.” Tegas Chalief Akbar. Untuk menunjang pendidikan mereka, Konjen Hong Kong SAR pun mendirikan perpustakaan yang dibuka sebagai sumber belajar. Pada umumnya, BMI perempuan di Hong Kong memang punya hobi membaca, selain menulis, bersastra dan berteater. Bahkan di antara mereka ini telah berhasil menerbitkan buku dan pentas teater.

Penyerahan Buku Seni Menulis Cerpen pada Chalief Akbar – Konsul Jendral RI di Hong Kong

Penyerahan Buku Seni Menulis Cerpen pada Chalief Akbar – Konsul Jendral RI di Hong Kong

Pertemuan saya dengan Chalief Akbar bersama Stafnya dalam acara Lesehan Sastra dan Budaya yang diselenggarakan oleh KoTeMa di Ramayana Ballroom di Lantai 2 Gedung Konjen RI (KJRI) di Causeway Bay Hong Kong. Dalam acara yang dihadiri ratusan BMI ini, Chalief Akbar tampak akrab, memberi sambutan dengan duduk lesehan dan melayani foto bersama dengan BMI yang menginginkannya. Ia terlihat sangat ngemong. Sikapnya ini membuat para BMI yang di Hong Kong merasa ‘punya’ bapak yang mengayomi. Walau tak bisa dipungkiri, ada pula yang mendemonya. “Saya berusaha sebisa mungkin mendukung kegiatan mereka yang memang positif.” Mata Chalief berbinar. Hal serupa juga disampaikan oleh Yolvis Sahardi, yang bertugas di Konjen RI Hong Kong hampir 20 tahun. Lelaki berperawakan tegap ini bersikap penuh kekeluargaan dengan para BMI dan membuatnya jadi seperti ‘bapak angkat’.

‘Bersekolah’ di Hamparan Taman

Saya berkunjung ke Hong Kong sebagai tamu KoTeMa untuk menyelenggarakan creative writing workshop menulis cerpen dan monolog. Pihak Konjen RI di Hong Kong memberikan fasilitas akomodasi dan tempat untuk pelatihan. Pesertanya hampir 100 orang dan dihadiri para seniman dan sastrawan Hong Kong yang tertarik pada Sastra dan Budaya Indonesia. Acara workshop merupakan bagian dari acara inti Lesehan Sastra dan Budaya, dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan tarian daerah dan fashion-show berbahan dasar batik. Acara ini sungguh memukau, karena beberapa BMI menampilkan karya-karyanya yang spektakuler – tak kalah dengan karya desainer profesional. Karya-karya mereka biaya dari sebagian besar dari gajinya. Jika kembali ke Indonesia mereka ingin membuka butik atau membuka usaha jahitan kelas atas.

Busana yang diperagakan karya seorang BMI dari Kediri

Busana yang diperagakan karya seorang BMI dari Kediri

Mereka berkarya atas inisiatif sendiri – belaar secara otodidak. Demikian pula yang menjadi juru rias. Mereka umumnya belajar di taman, tapi bukan sembarang taman yaitu di Victoria Park – sebuah taman luas di jantung kota Hong Kong. Setiap Minggu, taman ini dibanjiri puluhan ribu BMI yang memanfaatkan hari libur kerjanya untuk berbagai kegiatan sambil rekreasi. Pemerintah Hong Kong memberi izin khusus untuk BMI.

Penulis di antara puluhan ribu BMI di Victoria Park

Penulis di antara puluhan ribu BMI di Victoria Park

Para BMI yang di Victoria Park berkelompok sesuai dengan kegiatan masing-masing. Ada yang berlatih main biola, belajar menjahit, belajar meraut, praktik merias wajah/make-up, baca puisi, pengajian, main rebana, diskusi dan ada pula yang menggelar perpustakaan lesehan. Siapa saja boleh membaca atau meminam buku dan bayarannya suka-rela. “Uang yang kami dapat untuk membeli buku agar koleksinya terus bertambah,” kata Wati, seorang pengurus perpustakaan lesehan. Koleksi buku mereka disimpan di kamar yang mereka sewa dengan relatif mahal dan ditanggung secara patungan dan kompak. Tujuannya, untuk mencerdaskan sesama BMI.

Tidak Punya Kamar, Menulis Dalam Gelap

Saya mengenal para BMI Hong Kong yang suka menulis, dari lomba menulis cerita pendek yang kami selenggarakan. Di antara yang suka menulis tersebut memenangi lomba yang kami selenggarakan. Selanjutnya, terjalin komunikasi melalui jejaring sosial. Sejujurnya, saya ‘jatuh cinta’ pada mereka dan jaringan penulis BMI yang saya kenal makin meluas. Waktu kami kopdar (kopi dasar) di Gedung KJRI Causeway Bay Hong Kong langsung akrab. Di antara mereka langsung pada bercerita tentang proses kreatifnya menulis. “Saya tidak punya kamar, karena apartemen majikan saya sempit sekali. Saya tidur di sofa. Saat keluarga majikan sudah tidur, saya mulai menulis. Kadang menulis dengan tanpa lampu. Kemudian tulisan saya, saya sempurnakan di Perpustakaan Hong Kong,” papar Hanna Yohana yang dikenal sebagai penyair dan juga wartawati sebuah media Indonesia di Hong Kong. Lain lagi dengan Laras Wati, Koordinator KoTeMa, “Saya menulis setahu majikan saya. Karena waktu tanda tangan kontrak kerja, saya bilang – saya ini penulis. Jadi, harus diberi izin menulis dan membaca. Untung, majikan mau mengerti,” mata Laras berbinar. Tapi, saat ini ia hanya punya menulis sedikit karena harus mengasuh anak balita dan bayi. Meskipun demikian bukan berarti kegiatan menulis mandeg. Tiap Minggu, hari libur ia gunakan untuk menulis selain bermain teater. Jika kembali ke Tanah Air, Laras Wati berkeinginan terus bersastra sambil ingin mengajar membaca dan menulis anak-anak jalanan.

Ayda Idaa – gadis asal Kediri ini juga punya magma yang kuat untuk menulis, tapi menulis naskah drama. Ia bekerja sebagai pengasuh anak autis dan melanjutkan kuliah. Maka ia menggunakan waktunya dengan efektif dan KoTeMa menjadi oase hidupnya. Ia mengaku belum mau kembali ke Tanah Air, sebelum meraih S2. Cita-citanya ingin mendirikan ‘sekolah bahagia’ bagi anak-anak – di mana pendidikan yang ingin ia tetapkan bersifat tidak mengekang, kreatif dan bebas terpimpin. “Jika mungkin, saya ingin mengajar di Papua,” demikian keinginannya.

KoTeMa mementaskan Ande-Ande Lumut

KoTeMa mementaskan Ande-Ande Lumut

Kuliner dan Lagu Peredam Rindu

Para BMI di Hong Kong, penampilannya keren-keren dan banyak yang trendy. Pada umumnya mereka menguasai tiga bahasa: Kanton, Indonesia dan Inggris. Tak tampak bahwa mereka itu PRT. Yang saya kenal, tujuan rekreasi mereka sifatnya mencerdaskan. Selain ke perpustakaan, mereka suka ke toko buku dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Saya senang ketika mereka mendampingi saya ke sebuah toko besar dan mereka tampak familier dengan toko buku yang umumnya dikunjungi para intelektual. Saya bangga dan terharu. Beda sekali dengan BMI yang bekerja di Malaysia. Kenapa bisa demikian? Ternyata pada umumnya, para majikan di Hong Kong memahami bahwa BMI punya hak mempertinggi kualitas hidup. Walau tak bisa dipungkuri, ada pula yang konyol jadi korban kekerasan. “Itu tergantung orangnya. Kalau kita berani bicara tegas, para majikan itu takut,” pengakuan seorang gadis asal Malang – cantik, jadi BMI di Hong Kong pernah mau ‘dijahili’ anak majikannya. Berkat kegigihannya melawan, ia selamat.

“Kontrak kerja harus jelas dan kita harus berani tegas,” kata BMI asal Karang Anyar yang pernah bekerja di Taiwan, kemudian pindah ke Hong Kong karena ingin punya kesempatan kuliah. Gadis berkacamata ini kini aktif sebagai mahasiswa UT di sebuah universitas di Hong Kong. Tak lama lagi ia akan lulus S1. Ia mengaku,k kala bekerja di Taiwan mendapat majikan yang sangat baik, karena sejak awal ia bersikap tegas dan profesional.

Seringnya berkumpul dan berdiskusi tentang berbagai topik di antara mereka, membuat para BMI perempuan yang muda-muda menjadi cerdas. Mereka berkumpul di hari Minggu, biasanya makan bersama – menikmati kuliner Indonesia sebagai peredam rindu pada Tanah Air. Habis makan bersama, mereka menyanyi atau bermain teater. Saat-saat tertentu mereka mencari bacaan bermutu atau menulis di Perpustakaan Pusat Hong Kong. Sehingga waktu mereka terisi dengan penuh manfaat.

Gaji mereka jika dirupiahkan berkisar pada angka Rp 4.500.000,- – Rp 7.000.000,- per bulan nett. Tapi, hidup di Hong Kong lebih mahal dibandingkan dengan Singapore apalagi di Malaysia. Sekali makan, masakan Indonesia – menunya nasi putih dan tempe penyet Rp 95.000,-. Mie goreng lebih mahal lagi. Buah-buahan juga demikian, dijual sistem per biji (bukan kiloan) – sebutir apel sedang Rp 15.000,-. Buah yang dikupas dalam kemasan plastik yang di supermaket di Jakarta (yang termahal) hanya Rp 45.000,- di Hong Kong dua kali lipat. Transportasi trem relatif murah. Tapi MRT relatif mahal. Jadi bisa dibayangkan, pendapatan mereka besar tapi pengeluaran juga besar. Bagaimana pun sulitnya mengatur keuangan, prioritas mereka adalah mengirim uang ke Tanah Air. Pada umumnya, untuk membiayai adik-adiknya sekolah. Ada juga yang kirim uang kepada suaminya, tapi bukannya untuk membiayai anak-anaknya, malah untuk menikah lagi. Maka tak heranlah, banyak BMI yang memutuskan bercerai dengan suaminya. Mereka pun menjadi Perempuan Baja.*)

Writing For Therapy

$
0
0

Naning Pranoto dalam bukunya, Writing for Therapy mengungkapkan tentang bagaimana luka hati dan luka jiwa itu WritingForTherapybisa dipulihkan lewat terapi menulis. Menulis yang bagaimana? Ada beberapa teori dan metodologi penting yang disampaikan dalam buku ini, sehingga kita bisa menerapkannya sendiri.

Peluncuran buku ini, di Cenderawasih Stage, JCC, 2 September 2015, pukul 12.30 – 13.45

Akan hadir Dr. Handrawan Nadesul, yang akan memberikan pencerahan manfaat menulis untuk kesehatan jiwa. Kita akan dapatkan info2 betapa kata-kata dan kegiatan menulis ternyata memiliki efek terapeutik. Menyembuhkan untuk hati yang luka, dan membahagiakan bagi siapa saja yang mempraktekkannya, tak peduli punya luka atau tidak. Dr Hans juga memberi Kata Pengantar untuk buku Writing for Therapy ini.

Laskar Pena Hijau :: Melestarikan Bumi Dengan Pena

$
0
0


Sebuah gerakan melestarikan alam dimulai dengan goresan tinta. Mengajak seluruh elemen masyarakat, untuk berperan aktif melindungi, merawat dan melestarikan lingkungan, lewat sebuah Laskar Pena Hijau

Lomba Cipta Puisi Hijau 2015

$
0
0

Kirimkan karya puisi Anda melalui e-mail: rayakultura@gmail.com
cc ke: sekolahmenulis@gmail.com

Yayasan Bhakti Suratto
Mari Kita Rawat dan Lestarikan Bumi

Rumah kita satu-satunya

Yayasan Bhakti Suratto menyelenggarakan:

Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau 2015

Tema: MERAWAT DAN MELESTARIKAN BUMI BESERTA ISINYA

Berhadiah Uang Tunai, 101 Karya Puisi Pilihan dibukukan

Puisi Terbaik mendapat penghargaan

Suratto Green Literary Award

Puisi Terpilih mendapat penghargaan

Suratto Green Literary Appreciation

Syarat-Syarat Lomba:
Lomba terbuka untuk 4 (empat) kategori:

(A) Tingkat Pelajar SD;

(B) Tingkat Pelajar SMP/SLTP;

(C) Tingkat SMA/SLTA;

(D) Tingkat Mahasiswa & Umum (Guru, Dosen, Penyair dan Masyarakat Umum).

1. Peserta adalah warga negara Indonesia yang tinggal di Tanah Air maupun yang tinggal di luar negeri/mancanegara dalam rangka studi atau sedang bertugas.
2. Lomba dibuka 1 Oktober 2015 dan ditutup 30 Oktober 2015 pukul 24.00 WIB.

3. Puisi yang dilombakan merupakan karya asli dan sedang tidak diikutsertakan dalam lomba, bertema Merawat dan Melestarikan Bumi beserta isinya

4. Panjang puisi maksimal 4 (empat) bait, ditulis dengan huruf Times New Roman, font 12, berjarak 1,5 spasi tiap baitnya dan 2 (dua) spasi untuk jarak bait berikutnya. Bagi puisi naratif, per bait boleh lebih dari 4 (empat) larik maksimal 8 (delapan larik) dan terdiri atas hanya 3 (tiga) bait

5. Setiap peserta diperbolehkan mengirimkan maksimal 2 (dua) judul puisi, dilampiri scanning identitas KTP atau Kartu Pelajar/Kartu Mahasiswa, foto pose menarik/enak dipandang dan Surat Pernyataan Karya Asli yang ditandatangani di atas Materai Rp 6.000,- kemudian di-scanning, dikirim melalui e-mail: rayakultura@gmail.com
dan cc ke: sekolahmenulis@gmail.com

6. Manuskrip puisi yang dilombakan menjadi milik Panitia Lomba dan hak cipta milik penyair.

7. Penentuan Pemenang – Total karya puisi yang masuk ke Meja Panitia Lomba akan diseleksi sebanyak 101 judul dan dipilih pemenangnya sebagai berikut:

Puisi Terbaik Kategori A;

Puisi Terbaik Kategori B;

Puisi Terbaik Kategori C dan

Puisi Terbaik Kategori D.

Karya puisi 97 judul yang tidak menang sebagai Puisi Terpilih
8. Hadiah untuk Pemenang:

Puisi Terbaik Kategori A – Uang Tunai Rp 750.000,- (Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) + Suratto Green Literary Award;

Puisi Terbaik Kategori B – Uang Tunai Rp 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) + Suratto Green Literary Award;

Puisi Terbaik Kategori C – Uang Tunai Rp 1.250.000,- (Satu Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) + Suratto Green Literary Award dan

Puisi Kategori D – Uang Tunai Rp 1.500.000,- (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) + Suratto Green Literary Award.

Sebanyak 97 Judul Puisi Terpilih mendapat penghargaan Suratto Green Literary Appreciation dalam bentuk digital.

Pajak Hadiah ditanggung oleh masing-masing pemenang

9. Puisi 101 judul yang terseleksi akan dibukukan sebagai antologi, diterbitkan oleh Yayasan Bhakti Suratto sebagai penyelenggara lomba.

10. Pengumuman Pemenang tanggal 19 November 2015, melalui Website Laskar Pena Hijau: www.laskarpenahijau.com Website Rayakultura: www.rayakultura.net dan Mediasosial: Fabebook, Twitter

11. Penyerahan hadiah bagi para pemenang diberikan pada Peringatan Hari Pohon Dunia – 21 November 2015 Pukul 09.00 – Selesai dalam Acara Anugerah Suratto Green Literary Award. Acara tersebut disertai berbagai pentas sastrawi dan Pembacaan serta Pentas Puisi Pemenang Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau (LCPGSH) 2015 – Suratto Green Literary Award, bertempat di Amphi Theatre Sekolah Alam Cikeas Cibubur.

12. Panitia tidak menanggung transportasi dan akomodasi para pemenang juga para pembaca dan pementas puisi.

13. Dewan Juri terdiri dari:

Maman S. Mahayana – Ketua Dewan Juri

Naning Pranoto – Anggota

Kurniawan Junaedhie – Anggota

Adri Darmadji Woko – Anggota

Dodi Mawardi – Anggota

Ewith Bahar – Anggota

Shinta Miranda – Sekretaris

Cikeas, 30 September 2015
Salam Pena Hijau.
Naning Pranoto

Ketua Pelaksana LCPGSH 2015


Dari Acara Launching buku “Writing for Therapy” di JCC

$
0
0

Writing For Therapy

Jiwa dan perasaan. Tak ada yang bisa menyentuhnya, dan tak pernah ada yang melihatnya. Namun ada, dan amat abstrak.

Pembahasan mengenai jiwa begitu menarik, justru karena kemisteriusannya. Seperti tubuh, jiwa butuh nutrisi yang baik agar tumbuh matang sempurna. Seperti tubuh, jiwa juga perlu latihan2 penggemblengan agar kuat dan tegar.

Gemblengan penderitaan tak selalu melemahkan jiwa. Seringkali penderitaan dibutuhkan agar jiwa menjadi arif. Namun adakalanya bila penderitaan berasal dari hati yang tersakiti, jiwa bisa koyak. Alangkah sedihnya hidup dengan jiwa yang telah sobek. Di luar senyum di dalam menangis. Hasrat untuk melakukan hal-hal produktif dan kreatif pun menjadi mati. Jiwa yang mati mendahului tubuh. Luka jiwa pada setiap orang berasal dari banyak sumber. Luka-luka pada jiwa yang semakin parah, bisa berakibat fatal, munculnya keinginan bunuh diri.

Untuk jiwa yang abstrak itu, Tuhan menciptakan solusi yang tak kalah ajaibnya ketika ia mengalami patah dan luka, yakni dari sesuatu yang juga abstrak. Kata-kata. Berkutat dengan kata dalam proses membuat tulisan, entah artikel, surat, atau puisi, memiliki efek terapeutik yang dahsyat. Ada kedamaian dan kebahagiaan mengalir di sungai-sungai jiwa tatkala kata-kata meluncur membentuk kalimat. Semakin asik, semakin mabuk, semakin positif efeknya pada jiwa dan perasaan. Menurut Dr. Handrawan Nadesul, rasa senang yang muncul itu karena tubuh mengeluarkan hormon endorfin. Hormon yang menggugah perasaan senang dan bahagia. Pasti pernah dengar ya bahwa rasa senang dan bahagia adalah obat. Dan untungnya setiap orang punya pabriknya. Menurut penelitian, orang2 yang rajin menulis buku harian di masa kecil dan remaja, akan berkembang menjadi pribadi yang kecerdasan emosionalnya tinggi, cerdas hati maupun otak. Dan otak yang sehat akan mampu mengontrol fungsi2 tubuh yang lainnya secara optimum. Sementara kecerdasan emosional akan memungkinkan seseorang untuk menterjemahkan cerita likaliku hidup secara lebih positif, dan menanggapi benturan2 secara lebih bijak.

Sayang waktu yang relatif sebentar kemarin, tak memungkinkan mengorek lebih dalam segala ihwal mengenai iwa dan penyembuhannya ini dengan dua pakar, Dr. Hans, yang seorang penulis dan dokter, serta ibu Naning Pranoto, yang merupakan pakar kata2, penulis ratusan buku, dan baru saja meluncurkan buku Writing for Therapy, yang membahas luka jiwa ini.

Your words could be sword.
But words could be honey and bread to feed your wounded heart.
(EB)

Bhakti Suratto Gelar Lomba Puisi Sastra Hijau

$
0
0

Jumat, 2 Oktober 2015 09:49 WIB

Pewarta: Masuki M. Astro

Surabaya (Antara Jatim) – Yayasan Bhakti Suratto menggelar lomba cipta puisi genre sastra hijau 2015 untuk siswa, mahasiswa, guru dan masyarakat umum dengan tujuan menggugah kesadaran masyarakat agar semakin merawat dan melestarikan bumi serta isinya.

“Sastra hijau adalah sastra yang fokus pada kepedulian merawat dan melestarikan fungsi bumi, rumah kita satu-satunya,” kata ketua panitia lomba Naning Pranoto dalam keterangan tertulis kepada Antara di Surabaya, Jumat.

Ia menjelaskan lomba bertema “Merawat dan Melestarikan Bumi beserta Isinya” itu dibuka 1 Oktober dan ditutup 30 Oktober 2015. Pemenang akan diumumkan 19 November 2015 di laman www.laskarpenahijau.com dan www.rayakultura.net serta media sosial.

Dewan juri dalam lomba ini adalah Maman S. Mahayana (Ketua) dengan anggota Naning Pranoto, Kurniawan Junaedhie, Dodi Mawardi, Ewith Bahar, Adri Darmadji Woko, sementara Shinta Miranda sebagai sekretaris dewan juri.

Ketentuan lomba, menurut Naning, puisi terdiri dari empat bait dan per bait empat larik. Jika puisi ditulis berupa naratif, per bait maksimal delapan larik terdiri dari tiga bait. Karya bukan jiplakan dan tidak sedang dilombakan.

Panitia menyediakan hadiah uang tunia dan penghargaan serta 101 karya puisi pilihan akan dikumpulkan untuk diterbitkan dalam bentuk buku.

Setiap peserta diperbolehkan mengirimkan maksimal dua judul puisi, dilampiri scanning identitas KTP atau kartu pelajar/kartu mahasiswa, foto pose menarik/enak dipandang dan surat pernyataan karya asli yang ditanda-tangani di atas materai Rp 6.000,- kemudian di-scanning, dikirim melalui e-mail ke rayakulutra@gmail.com dengan tembusan ke sekolahmenulis@gmail.com.

Manuskrip puisi yang dilombakan menjadi milik Panitia Lomba dan hak cipta milik penyair. Total karya puisi yang masuk akan diseleksi sebanyak 101 judul dan dipilih pemenang sesuai dengan kategorinya.

“Penyerahan hadiah bagi para pemenang diberikan pada Peringatan Hari Pohon, 21 November 2015 dalam Acara Anugerah Suratto Literary Award. Acara tersebut disertai berbagai pentas sastrawi dan pembacaan serta pentas puisi pemenang,” kata Naning. (*)

Editor: Chandra Hamdani Noer
Sumber : Antara

ANDA SEDANG STRESS? MENULISLAH! – Resensi Buku Writing for Therapy karya Naning Pranoto.

$
0
0

Perensi: Eunike Hanny

Ada bermacam cara untuk melepaskan diri dari tekanan batin dan pikiran, atau bahasa kerennya: stress, depresi. WritingForTherapySebagian orang memilih untuk makan atau ngemil. Yang lain memilih hang-out dengan teman, nonton film, atau pergi ke tempat wisata. Jika Anda pernah menonton acara televisi berjudul Clean House dan Hoarders, Anda akan menyaksikan orang-orang yang kecanduan belanja atau mengumpulkan sesuatu untuk meredakan tekanan jiwa yang sedang mereka hadapi.

Namun, tidak semua cara tersebut efektif untuk membebaskan diri dari stress dan depresi. Beberapa orang mungkin mengalami masalah kesehatan karena terlalu banyak ngemil. Hang-out dengan teman dan berlibur ke suatu tempat membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Dan kecanduan belanja akan membuat rumah bagai kapal pecah, bahkan rusak, seperti yang terlihat dalam Clean House dan Hoarders.
Lalu, jika Anda sedang tidak bahagia, stress atau depresi, cara apa yang bisa Anda lakukan di sembarang waktu, tidak memerlukan biaya, dan sudah terbukti efektif secara ilmiah?

Dalam buku Writing for Therapy, penulis senior Naning Pranoto memaparkan kehebatan kegiatan menulis sebagai salah satu cara untuk menerapi diri sendiri ketika pikiran sedang resah dan hati sedang galau. Metode terapi ini sudah diterapkan oleh seorang psikolog dari University of Texas Austin, James W Pennebaker, sejak tahun 1980-an, dan juga oleh beberapa psikolog dan psikiater terkenal.
Dalam buku ini, Naning Pranoto bukan hanya memaparkan sejarah penggunaan kegiatan menulis sebagai terapi, namun juga penjelasan yang cukup rinci tentang konsep diri, tips untuk bebas dari depresi, contoh keberhasilan beberapa orang yang lepas dari belenggu trauma dengan menulis, dan masih banyak lagi.

Yang lebih menarik, buku Writing for Therapy ini menyisipkan lembar-lembar yang bisa difotokopi yang menuntun pembacanya untuk memulai langkah demi langkah terapi dengan menulis. Misalnya di halaman 7, di bawah judul Praktik Terapi 1, kita diajar untuk mengenal diri sendiri, baik dari sisi positif maupun sisi negatif. Dari daftar yang kita tulis tersebut, kita diajak untuk merenungkan hal-hal negatif apa yang perlu kita ubah untuk menjadi positif. Atau di halaman 35, Praktik Terapi 4, kita harus mengekspresikan emosi kita pada saat yang paling bergejolak dengan kata-kata yang menurut kita paling tepat digunakan. Kita diajak untuk menulis dengan bebas; jika memang harus mengumpat, maka kita tulis kata umpatan tersebut.

Writing for Therapy terasa istimewa karena buku ini ditulis untuk semua orang, untuk segala umur dan dari berbagai latar belakang, dan mengajak pembacanya untuk segera mempraktikkan apa yang sedang dibacanya. Buku ini tidak mengajarkan bagaimana caranya menjadi seorang penulis yang mumpuni, tapi mengajak pembacanya untuk menulis secara pribadi, untuk menghalau keresahan dan kebuntuan pikiran, dan pada akhirnya memiliki jiwa yang sehat. Setiap langkah praktis bisa dilakukan sendiri, tanpa harus mendatangi seorang psikolog.

Buku ini baik bagi mereka yang sedang merasa stress, maupun bagi mereka yang sedang bahagia tetapi ingin tahu bagaimana menulis bisa menjadi sarana yang efektif untuk mencerahkan jiwa.

Puisi-Puisi Unggulan Calon Pemenang Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau (LCPGSH) – Suratto Green Literary Award 2015

$
0
0

Kabar gembira, ribuan pena hijau siap merawat dan melestarikan Bumi, Rumah Kita Satu-Satunya

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, dan terima kasih pada peserta lomba serta berbagai pihak yang mendukung kami, sehingga LCPGSH 2015 berjalan lancar. Karya puisi yang masuk ke akun e-mail panitia sebanyak 1.119 judul dari Peserta Kategori A, B, C dan D. Peta peserta merata dari seluruh Indonesia: Aceh hingga Sorong Papua Barat. Bahkan ada peserta lomba dari Hong Kong. Data peserta juga menunjukkan peserta kategori mahasiswa sangat antusias antara lain dari Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Padjajaran (UNPAD), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Negeri Yogyakarya (UNY), Universitas Soedirman (UNSOED), UIN Wahid Hasyim, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Sunan Gunung Jati, UIN Annuqayah, Universitas Muhammadiyah Yogyakarya (UMY), Universitas Negeri Semarang (UNS), Universitas Sebelas Maret, Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Universitas Budi Luhur, Universitas Islam Bandung (UNISBA), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Negeri Malang (UNM) serta berbagai sekolah tingkat SD hingga SLTA/SMA dari berbagai kota di Tanah Air. Peserta paling banyak dari Pulau Garam – Madura, kemudian dari DIY Yogyakarta dan wilayah Jabodetabek.
Karya puisi yang masuk dan memenuhi persyaratan diseleksi dengan spirit misi merawat dan melestarikan Bumi bernafas sastrawi. Kemudian karya yang telah diseleksi dinilai oleh Dewan Juri secara obyektif dengan cara tanpa nama. Sehingga Dewan Juri tidak tahu karya puisi siapa yang sedang dinilai karya siapa.

Hasil penilaian Dewan Juri secara final akan diumumkan pada hari Sabtu, 21 November 2015 – Pukul 09.00 – 12.00 WIB, di Amphiteather Sekolah Alam Puri Cikeas – Cibubur, bertepatan dengan Perayaan Hari Pohon dan penyerahan Anugerah Suratto Green Literary Award bagi para pemenang LCPGSH 2015.

Kami mengundang Anda semua untuk hadir dalam acara ajang ekspresi setulus hati mencintai Bumi, Rumah Kita Satu-Satunya. Tema acara Menikah dengan Pohon.

Sebagai apresiasi terhadap peserta yang begitu penuh spirit dan melimpah karyanya, Yayasan Bhakti Suratto (YBS) akan memberikan hadiah atau penghargaan bagi 3 (tiga) karya puisi terbaik untuk tiap Kategori (A, B, C dan D).

Nama-nama yang karya puisinya masuk unggulan calon pemenang, harap mengirimkan biodata yang ditulis versi narasi maksimal 150 kata, alamat lengkap disertai Nomor Telepon/HP dan dikirim ke rayakultura@gmail.com cc ke sekolahmenulis@gmail.com. Paling lambat 21 November 2015. Data tersebut diperlukan untuk penerbitan Antologi Puisi LCPGSH 2015.

Terima kasih.
Salam Pena Hijau
Naning Pranoto – Ketua Pelaksana LCPGSH 2015

Berikut ini: Puisi-Puisi Unggulan Calon Pemenang Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau (LCPGSH) – Suratto Green Literary Award 2015

Kategori A (Pelajar Tingkat SD)
1. Air karya Nandya Devrina Santoso – SD Sekolah Alam Cikeas Cibubur Jawa Barat
2. Sentuhan Jemari Kecil karya Jesslyne Devina Heriyanto – SD St. Antonius Lombok NTB
3. Bumi yang Merana karya Rahmad Akbar – SD MIMA Jember Jawa Timur
4. Sampah karya Hanna Nashita – SD Sekolah Alam Cikeas Cibubur Jawa Barat
5. Asap karya Nyoman Naariyuki M.N. – SDN 12 Rawamangun Jakarta Timur

Kategori B (Pelajar Tingkat SMP/SLTP)
1. Sampah karya Syahazna Belqis Renzqaputri – SMP Al Irsyad Satya Padalarang Jawa Barat
2. Pohon karya Agusta Fanny Sugiarto – SMP Budi Utama Yogyakarta
3. Wahai Alam karya Adistya Nurani Zubaedi – SMP Sekolah Alam Cikeas Cibubur Jawa Barat
4. Surat dari Ibu Pertiwi karya Rakhael Cahya – SMP Bunda Hati Kudus Kota Wisata Cibubur Jawa Barat

Kategori C (Pelajar Tingkat SMA/SLTA)
1. Do’a Burung-Burung Rantau karya Medan Readi – MA 1 Annuqayah Lubangsa Madura
2. Aku Ingin karya Arif Hidayat – MA Nasyatul Sumenep Madura
3. Kota Ditawan Jelaga karya Juanita Safitri SMAN 1 Cilaku Cianjur Jawa Barat
4. Ibu Bumi karya Adeline Floriana Moi – SMA Abdi Siswa Jakarta
5. Binatang Hijrah karya Ajeng Wahyuni SMAN 50 Jakarta

Kategori D (Mahasiswa, Dosen, Guru, Penyair/Penulis dan Umum)
1. Kahayan karya Aditya Ardi N
2. Lanting karya Aditya Ardi N
3. Pinangan Sebiji Trembesi karya Giyanto
4. Bergegas Menuju Rawa karya Handry TM
5. Hatiku Pohon karya Pringadi Abdi Surya
6. Dari Bibir Bakau karya Irawati Ningsih
7. Mata Semesta karya Irawati Ningsih
8. Memoar Sungai karya Sami’an Adib
9. Nyanyian Rimba Terakhir karya Agus Purnomo
10. Pot Seledri karya Novia Rika
11. Sebuah Pagi dalam Tarian Kabut karya Budi Saputra
12. Mandar Gendang dan Kisah Pohon karya IGA Komang Wiliani
13. Narasi Sebuah Pohon Jati karya Sofyan Hariyanto
14. Pohon Mantra karya Adi Nawang
15. Keluhan Anak Taman Cinta karya Idil Khan
16. Tuah Gebug Ende karya Ni Putu Rastiti
17. Kota Ini, Wi karya Ni Putu Rastiti
18. Anak-Anak dan Bumi karya Ustadji Panca Wibiarsa
19. Ode untuk Pohon karya Sulfiza Ariska
20. Surat Akar pada Daun karya Rini Intama
21. Cintailah Aku karya Hastira Soekardi
22. Tetap Kukuh Meranggi karya Lia Zainab Zee
23. Mencatat Tanah Impian karya A’yat Khalili
24. Wasiat Penghulu karya Sudianto
25. Ketika Eci Benar-Benar Mencintai Bakau karya Sudianto
26. Rebah Lancangku karya Adriana Rumintang
27. Saat Ibu Menyiram Tanaman di Depan Rumah karya Budhi Setyawan
28. Papua, Tangis Luka yang Tak Pernah Digubris karya Meidi Chandra
29. Tawaran Anak Pohon karya Lailatus Sa’adah
30. Dedaunan Makin Lusuh karya Syarifuddin Arifin
31. Cerita Tentang Hijau karya Herman Syahara
32. Celoteh Silais di Taman Jerebu karya Bambang Kariyawan YS
33. Kita Lupa karya Fera Nur Aini
34. Dongeng yang Tak Pernah Selesai karya Vinny Erika Putri
35. Teruntuk: Pewaris Alam karya Ukthy Khusnul
36. Pohon Ibu Husen Arifin
37. Sekisah Pohon Soekarno karya Muhammad Badrun
38. Puisiku Pohon Tua karya Rizal Alief
39. Pohon Bertanya pada Alam karya Endang Supriyadi
40. Rindu Airmata Ibu karya Rin Suhardji
41. Tarian Asap karya Wawat Smart
42. Alam Hilang karya Yudanto Hendratmoko
43. Di Nyaru Menteng Deretan Pohon Menohokku karya Bambang Widiatmoko
44. Perhiasan Semesta karya Ahmad Trianto
45. Geliat Cacing Cacing karya Istianah Qudsi
46. Sepetak untuk Cinta karya Widowati Dyah
47. Benih karya Arief Erha Kiem
48. Memaknai Laut karya Yose Rizal Trianto
49. Luka Tanah Merah karya Trijoto
50. Sawah yang Menangis Saptorini Rindayatsari
51. Pohon Bicara karya Marwan Hadid
52. Mengarak Cumulonimbus karya Tonganni Mentia
53. Nasib Pohon Kota karya Bilqis Salsabiela
54. Kutanam Musim Gugur karya Zen AR
55. Air karya Badar Adiluhung
56. Buka Ladang karya Dian Hartati
57. Monolog Orang-Orang Belantara karya Rezqie Muhammad Al Fajar Atmanegara
58. Rumah Tangan Kecil karya Agus Mustofa
59. Hikayat Pohon karya Novy Noorhayati Syahfida
60. Untuk Urat Akarmu karya Zaenul Musttaqin
61. Kemarau Hijaukan Bumi Kita karya Khanis Selasih
62. Pohon, Guru Kehidupan karya Irhayati Harun
63. Sayap-Sayap Kumbang karya Alfian Daniswara
64. Negeri Asap karya Wayan Jengki Sunarta
65. Nusaku Tak Lagi Tersenyum karya Cinta Okta Eduverliano
66. Menanti Hujan karya Caecilia LR
67. Suara Bumi karya Muhammad Irfan S
68. Pada Hijau Bumi yang Keibuan karya Ayu Qonita
69. Angin karya Yosep Rustandi
70. Nasib Sawah Pinggir Kota karya Wibisono Yudhi Kurniawan
71. Sampah Menggunung karya Hanif Akhtar
72. Posiposi Liar di Tanah Berawa karya Rieckie Serpihan Kelana Pianaung
73. Amuka Pembangunan karya Dias Oktri Raka Setiadi
74. Bayang Nirwana di Tanah Aurgawi karya Dwi Ardi Meylana
75. Selamatkan Bumi karya Rezki Shaomi
76. Hangus karya Eunike Hanny
77. Berkabarlah karya Rosida Wati
78. Noda dalam Pancarona karya Angger Meina Pramudyatin
79. Air Tebu karya Abimardha Kurniawan
80. Surat dari Ibu karya Habib Karima
81. Aku Ingin Udara Segar karya Dewi Puspitosari
82. Sajak Alam karya Cyndi Desta Prayogi
83. Tanah Hijau karya Nasrul Asrudin
84. Harap Pena Kepada Tuan karya Nopemberis Nur
85. Pekikanan Panorama Buram karya Herman Efriyanto Tanouf
86. Mengasuh Bumi karya Zulianto Adi

Cikeas, 16 November 2015

Dewan JuriYayasan Bhakti Suratto
Maman S. Mahayana (Ketua)
Anggota:
NaningPranoto
Adri Darmadji Woko
Kurniawan Junaedhie
Shinta Miranda
Ewith Bahar
Dodi Mawardi

Puisi Puisi Pemenang Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau (LCPGSH)

$
0
0

PuisiPemenang

Puisi Puisi Pemenang
Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau (LCPGSH)
yang mendapat Anugerah Suratto Green Literary Award 2015

Kategori A (Tingkat SD)
– Pemenang 1, Sentuhan Jemari Kecil karya Jesslyne Devina Heriyanto – SD St. Antonius Lombok NTB, mendapat hadiah Rp 750.000,-
– Pemenang 2, Sampah karya Hanna Nashita – SD Sekolah Alam Cikeas Cibubur Jawa Barat, mendapat hadia Rp 250.000
– Pemenang 3, Asap karya Nyoman Naariyuki M.N – SDN 12 Rawamangun Jakarta Timur, mendapat hadiah Rp 250.000

Kategori B (Tingkat SMP)
– Pemenang 1, Sampah karya Syahazna Balqis Renzapuri – SMP Al Irsyad Satya Padalarang Jawa Barat, mendapat hadiah Rp 1.000.000,-
– Pemenang 2, Surat dari Ibu Pertiwi karya Rakhael Cahya – SMP Bunda Hati Kudus Kota Wisata Cibubur Jawa Barat, mendapat hadiah Rp 350.000,-
– Pemenang 3, Wahai Alam karya Adistya Nurani Zubaedi – SMP Sekolah Alam Cikeas Cibubur Jawa Barat, mendapat hadiah Rp 350.000,-

Kategori C (Tingkat SMA)
– Pemenang 1, Doa Burung-Burung Rantau karya Medan Readi – Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Lubangsa Sumenep Madura, hadiah Rp 1.250.000,-
– Pemenang 2, Ibu Bumi karya Adeline Floriana Moi – SMAK Abdi Siswa Patra Jakarta Barat, hadiah Rp 500.000,-
– Pemenang 3, Kota Ditawan Jelaga karya Juanita Safitri – SMAN 1 Cilaku Cianjur Jawa Barat, hadiah Rp 500.000,-

Kategori D (Mahasiswa, Guru/Dosen, Penulis/Pengarang/Penyair dan Umum)
1. Pemenang 1, Kahayan karya Aditya Ardi N – Jombang Jawa Timur, hadiah Rp 1.500.000,-.
2. Pemenang 2, Dari Bibir Bakau karya Irawati Ningsih – Bojonegoro Jawa Timur, hadiah Rp 750.000,-
3. Pemenang 3, Mandar Gendang dan Kisah Pohon karya IGA Komang Wiliani – Buleleng Bali, hadiah Rp 750.000,-

Para Penyair yang namanya tersebut di atas dan belum menerima hadiah uang yang menjadi haknya, harap mengirimkan Nomor Rekening Bank ke email: sekolahmenulis@gmail.com cc ke email: rayakultura@gmail.com

Cikeas, 16 November 2015
Ketua Pelaksana LCPGSH Suratto Green Literary Award
Naning Pranoto

Dewan Juri
Maman S. Mahayana (Ketua)

Anggota:
NaningPranoto
Adri Darmadji Woko
Kurniawan Junaedhie
Shinta Miranda
Ewith Bahar
Dodi Mawardi

PERTANGGUNGJAWABAN DEWAN JURI LOMBA CIPTA PUISI GENRE SASTRA HIJAU (LCPGSH 2015) SURATTO GREEN LITERARY AWARD

$
0
0

Latar Belakang
Lazimnya dalam setiap sayembara atau lomba apa pun, selalu ada sesuatu yang melatarbelakangi dan ada harapan yang melatardepaninya. Perkembangan sastra Indonesia kini tidak dapat dilihat semata-mata berdasarkan dunia sastra itu sendiri. Banyak faktor yang ikut mempengaruhinya. Kemajuan teknologi informasi yang leluasa menerabas ruang dan waktu, kehidupan dunia maya yang membuka kebebasan berekspresi, problem sosial politik yang kerap mempertontonkan potret paradoksal dengan fakta kehidupan masyarakat kita, dan keserakahan segelintir orang yang mengeksploitasi alam dengan semena-mena, dan entah apa lagi, secara langsung ikut mendorong banyak pihak melakukan sesuatu sebagai reaksi atas segala fenomena itu. Sastra lalu menjadi ruang ekspresi, dan puisi cenderung sebagai pilihan.

Sastra Indonesia sudah sejak lama memainkan peranan dalam wilayah kultural. Tetapi belum ada yang secara spesifik dan konsisten mengangkat problem yang dihadapi lingkungan beserta ekosistemnya. Pembabatan hutan, pencemaran sungai, dan penggalian pasir adalah beberapa persoalan yang makin serius dihadapi bumi Indonesia. Maka diperlukan gerakan bersama untuk menumbuhkan kepedulian dalam menghadapi problem yang kian mencemaskan itu

Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau (LCPGSH) – Suratto Green Literary Award 2015, coba melakukan sesuatu sebagai langkah yang diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bersama tentang pentingnya persaudaraan manusia dengan alam. Melalui LCPGSH sebagai ajang kompetisi yang sehat dan konstruktif, tersimpan sejumlah harapan ideal, bahwa kesadaran bersama tentang pentingnya persaudaraan manusia dengan alam, perlu menjadi sebuah gerakan. Label “Sastra Hijau” jelas mengisyaratkan semangat dan sekaligus filosofi gerakan membangun kesadaran bersama itu.

Adapun pilihan pada ragam puisi didasarkan pada pertimbangan: bahwa puisi diyakini sebagai suara hati. Di sana, lahir kreativitas yang kerap berhubungan dengan pancaran Ilahi. Maka, pelibatan berbagai kalangan, sebagaimana yang melekat pada sasaran lomba dalam empat kategori, dimaksudkan untuk mengajak berbagai kalangan mengekspresikan suara hati mereka tentang alam dalam bentuk puisi. Diharapkan, kesadaran itu melekat dan menjadi perilaku para penyairnya atau si penulis puisi yang bersangkutan yang lalu memancar dalam diri para pembacanya.

Bersamaan dengan itu, melalui LCPGSH, penyelenggara punya visi lain berkaitan dengan latar depan yang ingin dicapai. Pilihan tema “Sastra Hijau” sejalan dengan semangat dan filosofi penyelenggara tentang pelestarian alam dan usaha membangun kesadaran bersama tentang persaudaraan manusia dengan alam. Pilihan pada puisi berkaitan dengan usaha melahirkan penyair atau sastrawan yang secara sadar memilih “Sastra Hijau” sebagai salah satu lapangan perjuangan dalam kehidupannya berkebudayaan. Maka, bagi penyelenggara, sedikitnya ada tiga hal yang ingin dicapai, yaitu pencarian, pembinaan, dan pencapaian yang dilakukan para peserta lomba. Melalui lomba, diharapkan lahir nama-nama baru yang potensial dan prospektif. Dengan demikian, pencarian atas bibit-bibit baru yang mungkin belum terpantau, dapat dilakukan melalui lomba ini dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama.

Pencarian bibit dan nama baru itu sering dilandasi oleh semangat memberi apresiasi dan sekaligus juga rangsangan. Ada maksud lain yaitu usaha meningkatkan kualitas karya para penyair sesuai dengan tema lomba. Jadi, di dalamnya, ada aspek pembinaan. Melalui lomba, penyelenggara berharap, ada capaian kualitas dan kuantitas. Dari sudut kuantitas, boleh dikatakan, ada hasil yang signifikan. Sebanyak 1.119 judul puisi yang dikirim para peserta dari berbagai kota di Tanah Air, bahkan juga dari luar negeri, menunjukkan bahwa lomba ini mencapai target yang diharapkan, bahkan melebihi ekspektasi penyelenggara. Jadi, dari aspek kuantitas, lomba ini mencapai sukses yang menggembirakan.

Sebagaimana yang menjadi tuntutan lomba apa pun, aspek kualitas juga tidak dapat diabaikan. Terpilihnya 101 judul puisi untuk dibukukan menunjukkan, bahwa kualitas rata-rata puisi peserta lomba ini sungguh tidak perlu diragukan lagi. Di antara nama-nama yang sudah dikenal sebagai penyair, bermunculan pula nama-nama baru dengan karyanya yang juga tidak meninggalkan kualitasnya sebagai puisi yang baik. Adanya kenyataan itu, tidak dapat lain, penyelenggara melakukan penilaian semata-mata pada kualitas karya dan tidak pada aspek lain di luar itu.

Proses Penjurian
Mengingat lomba ini terbuka untuk umum—sesuai dengan kategorinya—maka penyelenggara tidak membuat sekat apa pun—usia, suku, agama, atau ideologi. Proses penilaian dilakukan penyelenggara pertama-tama dengan memilih dan memilah puisi yang memenuhi syarat sebagaimana yang menjadi ketentuan lomba ini. Puisi-puisi yang memenuhi syarat, lalu didistribusikan kepada dewan juri. Untuk menghasilkan penilaian objektif, nama-nama para peserta sengaja ditutup atau dihapus—dan hanya panitia yang tahu—, agar dewan juri dapat melakukan penilaian semata-mata pada karyanya itu sendiri. Dengan demikian, dewan juri sama sekali tidak mengetahui nama-nama penyairnya.

Penilaian yang ketat dilakukan pada Kategori D (Mahasiswa, Dosen, Guru, Penyair, Penulis, dan Umum). Penilaian pertama jatuh pada tema “Sastra Hijau” sesuai dengan semangat dan filosofi penyelenggara lomba ini. Berikutnya pada kualitas puisi yang bersangkutan. Adapun aspek yang dinilai menyangkut: (1) citraan dan permainan metafora, (2) kelugasan—kepadatan bahasa, (3) kedalaman makna, (4) kepaduan rangkaian kata dalam membentuk kalimat dalam larik-larik dan bait puisi, (5) capaian dalam menggali makna kata.
Berdasarkan kriteria penilaian tersebut, setiap juri kemudian memilih 11 puisi yang dianggap terbaik dengan berbagai alasan yang melandasinya. Di sinilah perdebatan tidak dapat dihindarkan. Setiap juri menyampaikan berbagai alasannya menerima atau menolak pilihan juri lain. Meski di sana ada perdebatan, kompromi-kompromi pada akhirnya diperlukan untuk menentukan puisi-puisi yang dinilai layak ditempatkan sebagai pemenang. Adapun 11 puisi yang menjadi nomine lomba ini adalah sebagai berikut (disusun secara alfabetis):
(1) Bergegas menuju Rawa
(2) Dari Bibir Bakau
(3) Hatiku Pohon
(4) Kahayan
(5) Mandar Gendang dan Kisah Pohon
(6) Mata Semesta
(7) Memoar Sungai
(8) Nyanyian Rimba Terakhir
(9) Pinangan Sebiji Trembesi
(10) Pot Seledri
(11) Sebuah Pagi dalam Tarian Kabut

Dari ke-11 puisi itu, Dewan Juri coba memilih tiga puisi yang layak ditempatkan sebagai peraih hadiah LCPGSH. Cukup sulit menentukan tiga puisi dari ke-11 puisi yang pada dasarnya masing-masing punya kelebihan. Meskipun begitu, sesuai ketentuan, Dewan Juri tetap mesti melakukan pilihan, betapapun sulitnya. Maka pembacaan ulang dan analisis perlu dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban Dewan Juri atas pilihannya itu.

Argumen Penilaian
Setelah terjadi perdebatan cukup alot dan masing-masing juri menyampaikan argumennya, pilihan Dewan Juri jatuh pada puisi dengan urutan pemenang sebagai berikut:
(1) Kahayan
(2) Dari Bibir Bakau
(3) Mandar Gendang dan Kisah Pohon

Puisi “Kahayan” secara tematik menggambarkan terjadinya perubahan sosio-kultural di sepanjang sungai Kahayan yang membelah kota Palangkaraya. Lewat oposisi biner: ketakberdayaan dan kekuasaan, problemnya dikisahkan lewat sampan kecil yang menyeberangkan keresahan dan kemurungan. Metafora tentang: Kota terbelah bengawan yang resah menunjukkan sungai besar dan agung itu menghadapi masalah. Pilihan kata bengawan dan tidak sungai mengisyaratkan ada kisah besar yang terjadi pada sungai itu. Metafora tentang Mandau sebagai simbol pembelaan dan perjuangan, dan dayak kenyah yang jadi ranting dan daun kering menjadi kisah paradoksal tentang persaudaraan dan pengeksploitasian alam, tentang perlawanan yang sia-sia dan kekuasaan dan keserakahan.
Secara tepat, larik-larik dalam bait kedua dan ketiga, membawa kita pada potret getir suku dayak dan masyarakat sepanjang sungai itu. ”Impian impian urban/Mendangkalkan ceruk kali Kahayan” menegaskan keserakahan para pendatang yang makin menjadikan bengawan itu kini jadi kali, bukan lagi sungai! Sebuah pilihan kata yang meski agak hiperbolis, tepat menegaskan nasib sungai itu. Bait berikutnya mempertegas lagi paradoks kekuasaan dan keserakahan yang mengeksploitasi ketakberdayaan.
Bait terakhir menyampaikan pesan sosial dan spiritualitas aku lirik yang diekspresikan secara metaforis lewat harapannya seperti kilau sisik ikan. Sebuah citraan penglihatan (kilau) untuk menggambarkan sesuatu (harapan) yang tak kelihatan. Sebuah permainan kata yang secara metaforis menggambarkan setitik harapan pada derasnya perubahan atas nama pembangunan.

Puisi “Dari Bibir Bakau” sebenarnya tidak menggambarkan kecemasan tentang kerusakan alam. Meski demikian, lewat penggunaan semacam dialog: aku dan engkau lirik, ada pesan agar keindahan alam: hutan bakau, bangau-bangau, ikan-ikan (udang) yang berbiak, segara anakan dan segala seisinya, tetap dipelihara sebagaimana adanya. Ia tak cuma sekadar jadi gambar beku hiasan dinding, atau kepentingan wisata tanpa usaha menjaganya. Maka, hindari pembabatan, jaga dan hormati sebagaimana kita mencintai sosok ibu.
Gambaran tersebut disusun dalam larik-larik puisi yang sarat memanfaatkan citraan alam. Dan memang, puisi ini coba mengeksploitasi citraan alam yang kemudian pada bait terakhir, dibenturkan dengan engkau lirik; makhluk manusia yang mestinya punya kesadaran untuk menjaga keindahan alam itu. Ada ikon tempat: segara anakan! Sebuah danau di puncak Gunung Rinjani yang indah dan penuh mitos. Mitos itulah yang secara metaforis diisyaratkan pada larik-larik: … daratan lengang tanpa hempasan/ … belukar tak jadi menangisi karang//.

Aku lirik yang menyimbolkan alam dan engkau lirik yang menyimbolkan manusia, coba dipersatukan sebagai hubungan persaudaraan alam dengan manusia. Tetapi, kadang-kadang, atau sering terjadi, manusia mengabaikan alam. Akibatnya, keindahan alam itu, sekadar gambar-gambar pemandangan yang tak menyentuh kesadaran. Maka, bait terakhir: Aku tidak menyukai pameran. Dikunjungi dan dilupakan. Direnungkan dan dikenang. Dipotret dan hanya dipajang di kamar. Aku ingin kaujauhkan aku dari lara pembabatan. Aku ingin kau menjaga aku seperti kau menjaga hati ibumu// adalah usaha mengembalikan kesadaran manusia tentang hakikat persaudaraan dengan alam.

Pilihan tipografi terkesan sebagai usaha untuk menghindari bait-bait yang terlalu panjang. Tetapi tokh tetap saja tipografi itu tidak mengganggu pesan yang hendak disampaikan. Jadi, tipografi itu sekadar siasat dalam membentuk bait-bait puisi.

Puisi “Mandar Gendang dan Kisah Pohon” secara tematik menggambarkan kegelisahan burung Mandar Gendang (Latin: Habroptila Wallacii) yang dihantui kepunahan. Spesies burung yang tidak bisa terbang yang hidup di rawa-rawa ini, dikisahkan, makin kesulitan mencari makanan, sebab tunas sagu dan serangga, makin tergerus oleh alih fungsi rawa-rawa. Penyair dengan cermat memulai puisinya dengan gambaran perilaku burung itu.
biar kusibak rimba rawa-rawa
di antara tunas sagu dan serangga
di atas tunggul pohon lapuk ia menari tabuhan gendang
mendiami mangkuk dangkal, tempat mimpinya berenang dan
paruhnya mendongkel batu basah

Sebuah potret sang burung yang hidup bahagia: tak kesulitan makanan, berkeciap melantunkan suara sambil menjaga sarangnya, dan sekali-kali berenang mematuki kerikil untuk melancarkan pencernaannya. Penyair mengawalinya lewat persajakan dalam larik: … rimba rawa-rawa/ … tunas sagu dan serangga/ dan seterusnya. Bait puisi itu membawa asosiasi kita melayang pada kehidupan burung Mandar Gendang di tengah rimbun rawa dan pepohonan sagu.
sayapnya mengamuk ketika daun-daun dirajah
jadi sketsa tumpukan bangunan segi empat
tempat anakku kehilangan rumah
tempat mereka tak bisa bersitegang dan bersitatap
hanya ingatan yang berlari
menarikan Mandar Gendang, burung rawa berbulu abu

Bait ini menggambarkan problem besar mulai dihadapi burung itu. Larik: sayapnya mengamuk ketika daun-daun dirajah/ sebenarnya paradoks. Sebuah perlawanan yang sia-sia. Ketidakberdayaan atas perilaku manusia yang mengubah rawa jadi bangunan. Bait-bait menggambarkan, bagaimana burung yang elok itu jadi gambar-gambar indah hiasan dinding atau lembar majalah. Tetapi, ia hilang dari kehidupan karena rawa-rawa dan pohon sagu telah disulap jadi bangunan.

Secara keseluruhan puisi ini bermain citraan penglihatan yang mengajak pembaca membayangkan nasib kehidupan burung itu. Pilihan kata yang sederhana berhasil membuka medan tafsir yang berbagai ketika teks puisi itu dikaitkan dengan konteks yang lebih luas. Pembangunan hotel-hotel di sepanjang pantai. Di sana, dalam puisi itu, ada kedalaman tentang keprihatinan penyair ketika rawa-rawa berubah jadi pemukiman mewah dan hotel-hotel.

Pembicaraan ringkas atas tiga puisi yang menjadi pemenang lomba ini, tentu saja tak cukup mewakili argumen dan perdebatan Dewan Juri yang sesungguhnya. Meskipun demikian, sejumlah kelebihan dan kekuatan yang terdapat pada ketiga puisi tersebut, menjadi alasan pilihan Dewan Juri untuk memenangkan ketiga puisi itu dalam lomba ini.

Demikian pertanggungjawaban Dewan Juri LCPGSH. Tanpa bermaksud berlindung di balik kalimat: “Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggung gugat” pilihan atas ketiga puisi yang berhak menjadi pemenang LCPGSH, menurut Dewan Juri merupakan pilihan terbaik.

Demikian keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat.

Cikeas, 17 November 2015

Dewan Juri
Maman S Mahayana (Ketua)
Naning Pranoto
Adri Darmadji Woko
Kurniawan Junaedhie
Shinta Miranda
Ewith Bahar
Dodi Mawardi

KetuaDewanJuriAnggotaDewanJuri

Di Bawah Pohon Nangka Mereka Berjanji Sehidup Semati

$
0
0

MenikahDenganPohon1
“Berjanjilah kau akan sehidup-semati bersama pohon. Karena pohon adalah nyawa bagi bumi. Dan bumi adalah rumah umat manusia satu-satunya.”

Begitulah saripati nasihat Tuan Kadi, alias Penghulu dalam Monolog Puisi Kisah “Pernikahan Pohon”. Lakon yang naskahnya ditulis oleh chairman Gubug Hijau Rayakultura Naning Pranoto, ini diadaptasi dari puisi karya Edy Nawang “Pohon Mantra”, “Pohon Hayat” (Naning Pranoto), “Pinangan Sebiji Trembesi” (Giyato). Naskah ini diantarkan oleh pelaku Herman Syahara sebagai Penghulu, Susana Eureka (Ni Mahoni), dan Nyi Pohon (Naning Pranoto merangkap sutradara).

MenikahDenganPohon3

Pesan dari art performance sekitar seperempat jam ini adalah ajakan agar manusia merawat dan mencintai pohon. Pertunjukan Pernikahan Pohon adalah bagian dari sejumlah acara dalam rangka memperingati Hari Pohon yang jatuh pada Sabtu, 21 Nopember 2015 kemarin, di Amphiteater Sekolah Alam Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat.Ikut meramaikan acara ini pembacaan dan musikalisasi puisi.

DibawahPohonNangka

Acara yang berlangsung di bawah keteduhan aneka jenis pohon itu, termasuk sebuah pohon nangka yang sedang berbuah ranum, dihadiri Ketua Yayasan Bhakti Suratto, Drs. H. Suratto Siswodihardjo, pengurus dan guru sekolah Alam Cikeas, dan para orang tua siswa, dan sejumlah penyair.

Dalam sambutannya, Ketua Yayasan Bhakti Suratto,Drs. H. Suratto Siswodihardjo, menyatakan acara akan ditindaklanjuti dengan acara rutin yang disebut Green Literary Writer yang pesertanya diundang dari berbagai negara.

Hari itu juga diumumkan pemenang Pemenang Lomba Cipta Puisi Gerakan Sastra Hijau (LCPGSH) 2015 Suratto Green Literary Award. Dari sekitar 1300-an naskah yang masuk dari seluruh Indonesia, Dewan Juri yang terdiri dari Maman S. Mahayana (Ketua), Adri Darmadji Woko, Kurniawan Junaedhi, Ewith Bahar, Shinta Miranda, dan Naning Pranoto, berhasil menelurkan masing-masing tiga pemenang untuk empat katagori (SD, SMP, SMA, dan Mahasiswa/Umum). Mereka berhak atas piala, piagam, dan sejumah uang.

Acara ditutup dengan pembagian bibit pohon. Seraya memegang pohon itu mereka berikrar akan mencintai dan sehidup semati bersama pohon. (HS)


Prolog Buku BERGURU PADA EMPU KATA-KATA.

$
0
0

Naning Pranoto: Memahami Dunia Pengarang

(Bagi yang mengutip harap menyebutkan sumbernya – Hakcipta dilindungi Undang-Undangan)

Berguru Pada Empu Kata kata

Di pusaran malam akhir Desember 2014 saya terbangun. Seperti malam-malam biasanya kala saya terbangun, lalu duduk menata nafas , membeningkan pikir dan memposisikan tubuh senyaman mungkin agar bisa bangun optimal. Maksud saya, ‘bangun optimal’ adalah yang bangun tidak hanya tubuh saja tapi juga pikiran dan jiwa saya untuk menggerakkan spirit: willing to power dalam arti positif. Karena willing to power dalam tulisan ini – yang saya pinjam dari Friedrich Nietzcshe filsuf Jerman (1844-1900) bukan untuk mengejar kekuasaan, melainkan untuk memahami arti hidup yang sesungguhnya melalui kata-kata dan bahasa. Yang empunya kata-kata dan bahasa itu adalah pengarang.

Siapakah pengarang itu? Kapan pengarang mulai menjadi? Menurut Thomas Aquinas rohaniawan Dominikan Italia (1225-1274) seorang pengarang digolongkan pada manusia adikodrati atau manusia yang mempunyai kelebihan (linuwih – bahasa Jawa) berkat anugerahNya. Karena seorang pengarang mampu mencipta. Tentu saja bobot linuwih yang ada pada diri masing-masing pengarang itu berbeda-beda tingkatannya, itu dapat dinilai dari karya-karyanya. Menurut para kritikus, tinggi rendahnya nilai karya seorang pengarang itu tergantung bagaimana cara mereka mengasah kemahiran mencipta dan memanfaatkan ke-linuwih-an dariNya. Leo Tolstoy (1828-1910) maha pengarang Rusia pernah mengatakan, karya yang bernilai adalah karya yang jujur, menyajikan kebenaran walau kebenaran ditakuti banyak orang – khususnya mereka yang tidak jujur.

Bicara adikodrati berkat anugerahNya – Remy Sylado (1945 – ) salah seorang pengarang Indonesia terkemuka yang memiliki banyak linuwih menegaskan, “Saya tak mau menyia-nyiakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada saya! Maka saya berkarya apa saja yang saya bisa. Kapan saja. Bekerja dengan suka hati, membuat saya tak lelah juga tak jenuh.” tegas Remy Sylado dengan penuh semangat, ketika penulis jumpai di sebuah studio rekaman di Jakarta Pusat awal Desember 2014. Ia sedang rekaman audio untuk pementasan karyanya berupa operet pada Februari 2015. Selain menulis skrip operet, lelaki berdarah Manado yang menguasai tujuh bahasa asing ini, juga mengarang lirik dan mengkomposisi lagu serta koreagrafinya. Statusnya, dalam menggarap operet tersebut Remy Sylado berkarya sebagai pengarang, penyair, dramawan dan musisi. Langka bayi yang lahir ke dunia ini memiliki multi-talenta dan mampu mengembangkan talentanya seperti Remy. “Saya bisa berkarya berkat kekuasaan dan kemurahan Tuhan.” Ia menyimpulkan kebersihasilannya dengan kalimat-kalimat bernafaskan religi. Ia memang seorang agamis yang pluralis, membuat kawan bicaranya – siapa pun merasa akrab dan nyaman.

Pada hakikatnya, seorang pengarang dalam mencipta seharusnya tak lepas dari keberadaanNya, demikian pendapat Maya Angelou (1928-2014) – pengarang Amerika Serikat yang memiliki banyak linuwih: ilmuwan, penyair, penari, penulis skenario, sutradara film, koreagrafer dan dramawati. Karena apa yang dikreasi oleh para pengarang melalui tulisannya adalah ciptaanNya: bumi dan isinya, manusia dalam kehidupannya – sumber utama sebagai obyek karya. Pengarang dan penyair Sides Sudyarto DS (1942-2012) juga menjunjung tinggi keberadaanNya dalam menulis mengakar pada prinsipnya: Cinta kepada Tuhan merupakan jalan mulia bagi pengarang dan penyair mampu mencintai segala ciptaan Tuhan, dari alam tumbuhan, alam hewan hingga umat manusia dan jagat raya. Mencintai seni adalah mencintai keindahan. Dan Tuhan adalah sumber dari segala keindahan.

Jean Paul Sartre (1905-1980) filsuf eksistensialis Perancis menggarisbawahi bahwa pengarang itu harus punya rasa tanggung-jawab pada lingkungannya (pembaca) juga atas nilai-nilai moral dan kualitas dirinya sendiri. Untuk itu, antara lain pengarang harus mengorientasi dirinya dengan peristiwa-peristiwa aktual di bagian mana pun dari bumi ini. Pengarang tak dapat lagi mempertahankan semboyan ‘seni untuk seni’ dalam arti pengarang asyik dengan diri dan dunianya sendiri. Karena idealnya karya pengarang tidak hanya sebagai hiburan belaka tapi juga membantu pembacanya menjadi manusia berbudaya (cultured man) – manusia yang paham akan nilai-nilai luhur, nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan.

Singkat kata, karya pengarang yang ideal adalah selain memberi hiburan juga pencerahan. Naguib Mahfouz (1911-2006) maha pengarang Mesir menambahkan, keindahan yang ada dalam karya pengarang merupakan guru yang mempesonakan – yang memungkinkan kita memandang sekilas ke dalam keajaiban yang ada di setiap hari. Dalam hal ini peranan bahasa yang sangat penting, sebagai medium antara pengarang dan pembacanya. Untuk itu para pengarang harus mampu mengkomunikasikan karyanya melalui bahasanya – sehingga karyanya menjadi terbuka dan bergerak, bahkan menari riang kala dinikmati pembacanya. Ini yang dinamakan karya sempurna.

Kapan pengarang mulai lahir dan mengada? Berdasarkan teori creative writing, lahirnya pengarang melalui dua rahim. Kelahiran melalui rahim pertama yaitu mengandalkan bakat. Rahim kedua, lahirnya pengarang melalui bakat atau tidak berbakat ditambah pendidikan formal maupun nonformal melalui disiplin Ilmu Creative Writing (Penulisan Kreatif) yang dipelopori oleh M.L. Markberry mulai tahun 60-an. Seorang pengarang dinyatakan lahir jika ia telah mulai menulis dan menghasilkan karya. Tanpa karya nyata, status sebagai pengarang belum layak disandang. Soal kualitas karya, ada tahapannya dari sebagai pengarang pemula dengan membuahkan karya biasa hingga menjadi pengarang unggul – itu memerlukan waktu dan pengalaman. Juga usaha masing-masing pengarang dalam mengasah kreativitas dan banyaknya ‘jumlah jam terbang’ dalam menulis. Mengandalkan bakat saja tidak mungkin berkembang dengan baik. Melainkan harus didukung kerja keras dan banyak membaca (buku, manusia, kehidupan dan peristiwa) adalah ‘sekolah sejati’ yang meluluskan seseorang menjadi pengarang unggul.

Di Indonesia, kelahiran pengarang-pengarang besar penulis nilai cukup unik dan keren – sungguh membanggakan. Penulis banyak berguru pada mereka ini. Misalnya, ‘lahirnya’ Gerson Poyk (1931- ) berkat rajinnya membaca karya-karya (antara lain) Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Noer Sutan Iskandar dan buku-buku dongeng dari berbagai daerah di Nusantara ini plus berkhayal sebagai pengarang besar, antara lain setara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang waktu sedang melambung. Khayalannya menjadi pengarang besar membuat semangatnya menulis yang berkobar-kobar. Sebelum memutuskan menjadi pengarang, Gerson Poyk adalah seorang guru dan juga pernah menjadi wartawan. Ayahnya yang menggiringnya gemar membaca.

Tapi STA (1908-1994) – salah seorang tokoh Pujangga Baru Indonesia, budayawan, filsuf dan tokoh pendidikan, menjadi pengarang bukan karena sejak kecil gemar membaca. Penulis mengenalnya dekat ketika kuliah di di Fakultas Sastra Universitas Nasional Jakarta yang ia dirikan. Penulis pernah mewawancarainya tahun 1986 – seputar ketertarikannya pada dunia pengarang. “Saya waktu kecil tak suka membaca. Saya lebih senang bermain-main di luar rumah.” – demikian pengakuannya. Ia tertarik dan bisa menulis karena pergaulannya di kalangan kaum intelek yang waktu itu saling ‘berlomba’ menulis untuk menjadi yang terbaik dan terkemuka. Selain itu ia juga bekerja di Penerbit Balai Pustaka ‘markas’ pengarang dan penulis. “Saya juga harus nomor satu! Makanya saya lalu menulis dan harus melampaui mereka” ujarnya, sambil tertawa, “Tapi, saya tak mau jadi pohon pisang, sekali berbuah lalu mati.”. Ini yang mendorongnya ia belajar filsafat dan kebudayaan Barat dan Timur, untuk memantapkan karya-karyanya baik yang berupa fiksi, nonfiksi dan tulisan ilmiah, agar tetap hidup dan membawa visi-misi. Ini yang membuat para pengamat dan kritikus melebeli karya-karya STA kental bertendens.

Lahirnya Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) sebagai pengarang Indonesia terkemuka dan terpilih nominator Pemenang Nobel Sastra, adalah dampak dari kejeniusannya ‘membaca’ sejarah dan kebudayaan, pengalamannya sebagai pejuang dan kenyangnya menelan pil pahit dalam penjara, khususnya selama di Pulau Buru. Iwan Simatupang (1928-1970), pengarang besar Indonesia yang mempelopori aliran filsafat eksistensialisme dalam nafas karya sastra Indonesia, juga mantan guru dan pernah menjadi pejuang perang kemerdekaan RI, sepertihalnya Pramoedya Ananta Toer. Sebagai intelektual, Iwan banyak belajar dari Barat (Universitas Leiden Belanda dan Universitas Sorbonne Perancis) di mana ia pernah studi, tapi ia tetap Indonesia: nasionalis dan humanis. Itu dapat kita jumpai dalam karya-karyanya yang berupa novel maupun naskah drama.

NH. Dini (1936 -) pengarang terkemuka Indonesia yang penulis kagumi karena keapikannya dalam penggunaan bahasa untuk menuliskan karya-karyanya. Ia menjadi pengarang berkat ibunya yang suka mendongeng. Dini kecil sangat menikmati apa yang didengar dari ibunya, tapi ia tak mau melisankannya. Ia tulis apa yang ingin diekspresikan dan diungkapkan. Itu ia lakukan sejak di Sekolah Rakyat (setara dengan SD – Sekolah Dasar sekarang). Ia juga rajin membaca majalah kebudayaan, nembang Jawa – membuatnya berperasaan lembut dan menggiringnya terus menulis. Mula-mula ia menulis sajak dan cerita pendek untuk majalah dinding sekolahnya. Ada juga yang dikirim ke majalah, koran serta dibacakan di RRI. Demikian NH. Dini mengawali karirnya sebagai pengarang. Karyanya makin matang ketika ia banyak bepergian sebagai pramugari dan kemudian mengikuti tugas suaminya sebagai diplomat. NH. Dini sangat cerdas, jeli dan peka dalam membaca peristiwa dan lingkungannya, sebagai bahan karya-karyanya.

Pengarang merupakan warga Dunia Modern yang ditandai dengan budaya menulis. Sayangnya di Indonesia, perhatian masyarakatnya terhadap budaya menulis masih minim. Masyarakat Indonesia sejak lama dikenal sebagai masyarakat yang kuat dalam membangun budaya bertutur kata atau budaya lisan dalam kehidupan sosial. Hal ini begitu membudaya di tengah masyarakat nusantara hingga ketika era kebebasan intelektualisme masuk ke tanah air pasca kemerdekaan, Indonesia seperti kelabakan untuk mendorong masyarakat agar tertarik pada budaya tulis – demikian pendapat Prof. Ariel Hariyanto – Guru Besar Australian National University Australia. Di samping itu, berdasarkan pengamatan penulis, masyarakat Indonesia juga ‘teracuni’ oleh stigma bahwa menulis itu tidak menghasilkan uang besar alias jadi pengarang tak bisa kaya. Maka tak heran ratusan surat dari para pelajar dan mahasiswa di berbagai penjuru Nusantara dilayangkan pada penulis, isinya mengeluh bahwa orangtuanya tidak menyetujui anaknya menjadi pengarang. Beberapa kepala sekolah yang penulis jumpai meremehkan creative writing. Mereka mengagungkan ilmu eksakta. Bahkan pemerintah pun tak menghargai peran pengarang secara layak. Sangat mungkin faktor-faktor ini yang membuat Indonesia ‘miskin’ pengarang dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

Tak bisa dipungkuri, bila bicara mengenai kaya atau miskin pada umumnya orang menaksir kesuksesan seseorang dari segi material atau kebendaan. Padahal di dunia pengarang, kaya atau miskin bukanlah material sebagai tolok ukur. Melainkan, kepuasan batin, yang sulit dipahami orang awam – apalagi bagi orang-orang yang mendewakan uang dan kebendaan. Itulah sebabnya, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) pernah mengatakan, untuk menjadi pengarang itu diperlukan keberanian. Kata ‘keberanian’ ini mengandung multimakna, satu di antara maknanya adalah ‘berani melarat’ harta, berani pula dicemoohkan karena dianggap melarat. Juga harus berani menghadapi kenyataan jika karyanya dinilai ‘merah’ oleh penguasa. Maka Alan Paton (1903-1988) pengarang terkemuka Afrika Selatan mengatakan, agar seseorang sukses menjadi pengarang, pertama-tama haruslah mengenal dirinya sendiri secara lahir batin dan tanyalah: apakah benar-benar mau menjadi pengarang dengan segala tanggung-jawab dan risikonya? Jika jawabannya “Yes I do!” – mulailah menulis dan membuahkan karya ‘lampu’ yang menerangi kegelapan.

Kekuatan kata-kata (the power of words) merupakan senjata bagi pengarang dan penulis untuk ‘berperang’ dalam arti menghasilkan karya – demikian pernyataan Manuel Vázquez Montalbán (1939-2003) manusia linuwih dari Spanyol (wartawan, novelis, penyair, humoris, kritikus dan gastronom). Pernyataan tersebut melegendaris dan dijadikan acuan creative writing. Kekuatan kata-kata diperoleh dari kemahiran berdiksi sesuai dengan ‘ruh’ materi yang akan ditulis. Diksi merupakan pilihan kata yang digunakan sebagai medium menulis. Juga juga merupakan gelaran gaya ekspresi si pengarang. Dalam Sastra Inggris Klasik, diksi yang digunakan begitu puitis dan metaforis. Tapi, diksi akan menjadi sia-sia jika seorang pengarang miskin imajinasi.

Dalam proses mengarang dan juga untuk menjalani hidup sehari-hari, peranan imajinasi sangat penting. Julien Offray De La Mettrie (1709-1751) filsuf Perancis menegaskan, “Berkat imajinasi, berkat sentuhannya yang membahagiakan, tengkorak nalar yang dingin mendapatkan dagingnya yang segar dan hidup; berkat imajinasi, ilmu berkembang, seni memperoleh hiasan, hutan-hutan bersuara, gema mendesah, bebatuan menangis, batu pualam bernafas dan semua benda mati menjadi hidup.” Betapa dahsyatnya imajinasi dan pengarang harus memilikinya.

Pengarang ideal adalah pengarang yang mampu menyikapi multikultural dengan bijak. Dalam arti ia bisa menerima dan memahami berbedaan ras, pola pikir, kebudayaan dan keyakinan dengan berpikir dan bersikap positif. Kerawanan suhu politik dampak dari praktik demokrasi liberal memancing pengarang atau individu bersikap fanatik – berpihak pada golongan tertentu. Tentu saja ini jalan yang keliru jika seorang pengarang mengaku menulis untuk visi pencerahan. Karena pencerahan itu untuk semua orang, bak Maha CahayaNya yang bersinar untuk menyinari segala bentuk kegelapan tanpa memandang perbedaan. Angelus Silesius (1624-1677) rohaniawan Jerman, mengungkapkan betapa indahnya perbedaan itu yang ia metaforiskan demikian, “Semakin kita membiarkan setiap suara bernyanyi dengan nadanya sendiri, semakin kaya keanekaragaman nyanyian yang dilagukan dengan serempak.” Voltaire (1694-1778) melengkapi, “Pertikaian adalah angkara terbesar umat manusia dan toleransi adalah satu-satunya obat penawarnya.”

Teks fiksional, baik itu cerita pendek, cerita mini, cerita panjang, novelet (novel pendek) maupun novel – merupakan buah karya pengarang disajikan pagi pembacanya. Untuk menimbang bobot karya pengarang, pada pertengahan tahun 1920 di Eropa Timur lahir suatu gerakan yang menafsirkan, mengkaji dan mengevaluasi karya para pengarang. Gerakan ini terus berkembang ke Eropa Barat dan Amerika Serikat dengan istilah kritik (kritik sastra). Yang dikritik adalah teks (interpretasi teks), bukan sosok pengarangnya. Teks terdiri dari bahasa – bahasa inilah yang berbicara tentang bobot karya tersebut. Pengarangnya dianggap sudah mati, tak ada kaitannya lagi dengan teks yang ditulisnya – demikian pendapat Roland Barthes (1915-1980) dari penyederhanaan bukunya yang berjudul The Death of the Author yang terbit tahun 1978.

Idealnya, ada pengarang dan ada kritikus. Dari pengamatan penulis, sekarang ini di Indonesia tidak ada kritikus. Padahal kritik sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas karya. Walau disisi lain, ada pengarang yang tidak suka dikritik. Padahal seharusnya tidak demikian. Terbuka saja, untuk bisa menerima kritik. Sebab, jika seorang pengarang benar-benar mampu mencipta, tidak ada sesuatu apa pun yang mampu menahannya. Contoh – Siapa yang bisa mampu membendung karya-karya Pramoedya Ananta Toer? Juga karya-karya pengarang besar lainnya di berbagai negara yang dianggap menjadi ‘musuh’ penguasa?

Setiap karya pengarang dilindungi oleh Undang Undang Hakcipta, agar terhindar dari pembajakan. Di Indonesia untuk memperoleh perlindungan hakcipta, para pengarang dapat mendaftarkan karyanya ke Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI) beralamat di Jalan Plaju No.10 Jakarta Pusat. Perlindungan yang diberikan meliputi hakcipta dan hak ekonomi. Juga advokasi. Maka, eksistensi karya para pengarang aman.

Pada halaman berikut, penulis menyajikan hasil wawancara dengan 10 Pengarang dan Penulis Indonesia dari Dua Generasi: Ahmad Tohari, Remy Sylado, Suminto A. Sayuti, Ahmad Fuadi, Free Hearty (Bundo Free), Handrawan Nadesul, Helvy Tiana Rosa, Afifah Afra, Zhaenal Fanani, Bambang Kariyawan Ys dan Mashdar Zaenal. Topik wawancara: MEMAKNAI KEKAYAAN DARI KEKUATAN KATA-KATA. Masing-masing pengarang memberikan jawaban berbeda-beda, tapi sungguh cerdas, menarik dan memotivasi pembaca. Karena yang berbicara nurani mereka. Maka, pena pun bersabda. Kita bisa banyak ‘berguru’ dari kata-kata yang mereka sampaikan begitu bening, sejuk untuk diteguk maknanya.

Selamat membaca dan kemudian berkarya seperti mereka, para empu kata-kata yang Anda jumpai dalam buku ini!

Mbok Noto Bertutur Tentang Bumi

$
0
0

Memayu Hayuning Bawana – Memperindah Keindahan Dunia

MbokNoto Tentang Bumi

Salam Hijau,

Bumi adalah rumah kita satu-satunya, anak-anakku.
Jika Bumi rusak, apalagi hancur, di mana kita akan tinggal?
Tak satu pun planet lainnya yang layak kita huni, karena mereka gersang berapi.
Hanya Bumi, planet subur satu-satunya, layaklah dia kita sebut Ibu kita, Ibu Bumi.
Ibu – di mana tempat kita berpeluk dan menyusu semua gizi yang ada dalam payudaranya.
Garba Ibu Bumi merahim penuh sumber alam bagi kelangsungan hidup semua maklukNya.
Ibu Bumi memberikan jiwa-raganya bagi kita semua, tanpa minta balas jasa atau puji-puja.
Ibu Bumi menyayangi kita dalam diam, menimang kita sejak jabang bayi hingga berpulang.
Angin sepoi-sepoi lantunkan kidung puput kala raga kita merabuk siti, Ibu Bumi menemani.

Apakah kita telah menyadari dan paham akan eksistensi Ibu Bumi?
Hijaunya pohon-pohon adalah rambut-rambut zamrud Ibunda penebar udara sumber nafas kita.
Mengapa pohon-pohon ditebang illegal hingga hadirkan tanah longsong dan banjir bandang?
Menjulangnya gunung-gunung adalah pilar-pilar kubah langit Ibu tempat kita bernaung saung.

Mengapa gunung-gunung diratakan dijadikan lahan tambang dan vila-vila gaya gedongan?
Alir-alir sungai sebening kaca bermuara di laut biru adalah mina Ibu sumber tirta dan boga kita.
Mengapa sungai dan laut dikotori sampah, limbah pabrik dan pantai direklamasi sesuka hati?
Hamparan langit melukis fajar dan menjingga kala senja adalah simbolis waktu dan usia kita.
Mengapa langit dipolusi jelaga cerobong asap pabrik dan knalpot tunggangan manusia?

Bumi adalah Tanah, anak-anakku!
Semua makluk diciptaNya dari sucinya tanah.
Di Tanah manusia berkiprah. Di hanya di Tanah manusia bisa berkarya dan berolah.
Tapi, mengapa manusia berulah? Menggali tanah. Mengebor tanah. Mengkomiditi air tanah.
Bumi adalah air. Semua makluk ciptaanNya mengandung dua-pertiga air. Tanpa air semua cicir.
Mengapa manusia menghambur air tanpa memikirkan tibanya El-Nino si penyiksa musim?
Bumi adalah padi, palawija, umbi-umbian dan buah-buahan sumber boga sehari-hari kita.
Mengapa lahan boga: sawah, pekarangan, kebun dan ladang disulap jadi pabrik dan loji?
Bumi – kerajaan satwa: orangutan, segala jenis harimau, gajah, kera, badak, unggas dan lainnya.
Satwa ditembak. Satwa dikuliti. Satwa langka jadi komoditi. Dosa apa para satwa dihabisi?

Bumi adalah surga untuk berekreasi: hilangkan penat, menghibur diri atau menjalin cinta abadi.
Mengapa panoram anugerah Illahi dinodai dengan arsitektur imitasi import dari luar negeri?

Bumi adalah hutan, anak-anakku!.
Bumi Nusantaraadalah hutan tropis terbesar di Asia. Itu dulu, riwayatnya!
Mengapa kini hutan tropis Nusantara dalam era kalang arang sebagai legenda belaka?
Bumi Kalimantan adalah jantung hutan Indonesia, pernah jadi salah satu paru-paru dunia.
Dulu hutannya seluas sekitar 40,8 juta hektar, tahun 2010 tinggal tersisa 25,5 juta hektar saja.
Mengapa? Semua tahu. Hutan Kalimantan dijarah tangan-tangan serakah berjari-jari bara api
Jari-jari itu melambungkan bola-bola api menyihir hijaunya hutan menjadi padang jelaga
Jari-jari itu juga mencurah asap hitam, menggulitakan langit dan menyesakkan alur jutaan nafas
Korban pun bergelimpangan, hangus menjelaga. Salah siapa? Tentu bukan pandu wanaraya.

Bumi adalah Tanah Tuhan, anak-anakku!
DiciptakanNya tidak dalam hitungan jam.
Maka, Bumi bukan dihadiahkan kepada para manusia kejam.
Bumi adalahprosa dan puisi, anak-anakku!
Semua diksi ada di lingkup langit dan bumi.
Di lembaran lontar pena penyair bermunsyi.
Di kulit kayu mahoni para pujangga menyerat hijau sastrawi.
Larik-larik aksara pena kencana mereka menyeru: Mari belajar mencintai Ibu Bumi.
Ayunkan pacul: menanam padi, palawija dan Ki Jati serta Ki Munggur penadah hujan.
Jadi sahabat alam, kala hujan berpayung daun pisang, menolak plastik si penghancur lapak bumi.
Mengayuh sepeda, menolak alat pendingin dan bangun rumah limas redakan pemanasan global.
Anak-anakku, mari kita berjanji di bawah teriknya matahari:
Tegaskan bahwa kita tidak akan menjahati Ibu Bumi.

Gubug Hijau Mbok Noto, akhir Januari 2016.

LUTUNG

$
0
0

Lutung
LUTUNG,
Under the Clock at the Train Station of Life

My beloved son…
Just waiting for me at the gate
Yes, under the clock at the train station of life
Your bright eyes lead me, become the full moon for eternity ticket
I apologize for all my mistake during I looked after you, Good Boy…
You knew, son… of course you felt that I loved you as dew watering a greatest morning

Boy, the Good Boy sleep well on His leap
Have a honey of pure sweetness dream forever after

Thank you my Good Boy for sharing in every inches of love where we were playing with…

RIP…My Son

Sentul City, 6 August 2016
Your Mom
Mbok Noto

Resensi Buku: Berguru Pada Empu Kata-Kata

$
0
0

Berguru Pada Empu Kata kataSetiap penulis memiliki kisah proses menulis tersendiri. Begitu juga para penulis besar, nama mereka besar tentu saja dimulai dari awal perjuangan mereka menorehkan pena. Yang bertahan dengan proses lah yang akan berhasil, dan mereka yang telah memiliki nama besar tersebut, tak jarang telah memulai proses dengan langkah yang berdarah-darah. Hingga pada akhirnya mereka berhak menikmati kata sukses, nama yang melambung dan kemudian diabadikan dalam deretan sastrawan besar tanah air.

Indonesia memiliki sederet nama sastrawan yang tak hanya besar di tanah air, namun juga telah memberikan kiprah pada dunia. Sebut saja nama-nama mereka seperti Ahmad Tohari, Maman S Mahayana, Naning Pranoto, Helvi Tiana Rosa dan sebagainya. Bahkan belakangan muncul nama-nama sastrawan muda yang begitu tinggi geliat kepenulisannya untuk ranah pencerahan, seperti misalnya Afifah Afra, Ahmad Fuadi, Masdar Zainal dan sebagainya.

Mereka semua memiliki kisah awal dalam menulis, sejarah perih saat memulai proses kepenulisan yang tak jarang membawa air mata. Terkadang penulis memulai sesuatu dengan tidak dihargainya dirinya pada zamannya. Ia mungkin dianggap gila oleh orang-orang sekitarnya, dianggap sosok pemalas yang hanya berdiam diri di depan computer hingga dicemooh karya tulisannya karena dinilai aneh dan tidak sesuai dengan zaman itu.

Tetapi para penulis besar terus bertahan, mereka menghormati kejujuran setiap mata pena yang mereka torehkan. Sebab itulah mereka menjadi tuli dengan keadaan di sekitar. Yang mereka tahu hanyalah menulis dan terus menulis. Hingga pada suatu masa, mata dunia tertuju kepada mereka, semua orang terpana dan terpukau, pada saat itulah sang penulis telah memiliki nama yang besar.

Naning Pranoto, seorang penulis yang sebelumnya dikenal dengan karya-karya feminis, lalu belakangan menjadi salah seorang penggerak sastra hijau di Indonesia merekam kisah jejak dapur menulis 14 sastrawan tanah air, baik dari mereka yang sudah senior maupun pendatang baru. Catatan wawancara tersebut ia abadikan dalam buku ‘Berguru Pada Empu Kata-Kata’.
Buku ‘Berguru Pada Empu Kata-Kata’ berisi tentang catatan kisah-kisah awal proses kreatif para penulis memulai karirnya. Beberapa nama sastrawan yang terekam dalam buku ini diantaranya adalah Maman S Mahayana, Ahmad Tohari, Helvi Tiana Rosa, Ahmad Fuadi, Suminto A. Sayuti, Remy Sylado, Afifah Afra, Masdar Zainal dan masih banyak lagi yang lainnya.

Nafiah Al Marab, bergiat di Forum Lingkar Pena Riau

Sumber: http://www.riaupos.co

 

Memperkenalkan Petani Pelestari Bumi: Menulis, Menanam dan Mengkonsumsi Makanan Natural

$
0
0

Makalah Seminar Internasional Sastra Untuk Bumi yang diselenggarakan Universitas Negeri Yogyakarta
Memperkenalkan Petani Pelestari Bumi:
Menulis, Menanam dan Mengkonsumsi Makanan Natural
Dra. Naning Pranoto, MA
Rayakultura State of Education and Culture – Bogor Jawa Barat
E-mail: naming.pranoto@gmail.com
*
Natura non vincitur nisi parendo
Alam tidak akan dapat dikalahkan kecuali kalau kita dapat menyesuaikan diri dengannya.
Francis Bacon (1561–1626) Filsuf, Negarawan dan Penulis Inggris
*

Seminar

Abstrak

Makalah pendek ini menyajikan tentang berbagai kegiatan literasi genre Sastra Hijau yang dilakukan oleh gerakan pena hijau – masyarakat yang peduli lingkungan dan beberapa sekolah di wilayah Jabodetabek. Mereka tidak hanya menggerakkan pena untuk menulis tentang lingkungan tapi juga menanam tanaman dan pohon. Walau gerakan mereka baru dalam skala kecil, tapi kami optimistis kelak akan memviral bila banyak pihak yang menyadari betapa pentingnya merawat lingkungan.
Makalah ini juga diperkaya dengan referensi kiprah inspiratif dari dua perempuan pejuang pelestari lingkungan dari Benua Afrika dan Amerika Latin. Sebagian kecil dari kiprah mereka telah kami adopsi. Hasilnya antara lain menyelenggarakan lomba cipta puisi, menerbitkan antologi puisi, antologi mini-fiksi, pentas mini opera dan puisi, membentuk wadah penulis pena hijau, memproduksi film pendek dan menanam tanaman serta pohon.

Pendahuluan

Kualitas hidup kita tergantung dari kualitas lingkungan kita. Hanya dalam lingkungan hidup yang baik, manusia dapat berkembang secara maksimal. Hanya dengan manusia yang baik lingkungan hidup dapat berkembang ke arah yang optimal. Kalimat ini Penulis kutip dari pendapat Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto (1926-2008), Pakar Ekologi dan Penulis meyakini kebenarannya. Buktinya, dengan adanya manusia yang bersikap tidak baik (baca: jahat) terhadap lingkungan, mengakibatkan rusaknya lingkungan. Dari hal yang tampaknya sepele, masyarakat yang membuang sampah rumah-tangga di sungai, menyebabkan banjir bandang. Ini terjadi di Jakarta dan Bandung, contohnya. Begitu kejahatan manusia meningkat, maka tak heranlah apabila kerusakan lingkungan pun merajalela. Apakah itu pembalakan hutan, pembakaran hutan, penggalian tambang yang membabi buta dan membangun perumahan dengan konsep semau-gue. Kita semua tahu, betapa mengerikan dampaknya.

Selain kejahatan manusia, kerusakan lingkungan juga bisa disebabkan oleh cuaca. Tapi, faktor kejahatan manusia sangat dominan sebagai penghancur lingkungan, demikian pernyataan yang disiarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akhir Juni lalu. Akibatnya, kondisi lingkungan pun rentan bencana. BNPB mempublikasi data bencana: kuartal pertama 2016 dengan hadirnya La Nina yang menebarkan suhu dingin di Samudera Pasifik, membawa hujan tiada henti di wilayah area Khatulistiwa mengakibatkan banjir dan laut berombak tinggi. Sehingga dari Januari hingga Juni 2016 tercatat terjadi bencana 258 tanah longsor dan banjir di Tanah Air. Jawa Tengah menjadi daerah paling sering dilanda tanah longsor sebanyak 108 bencana, di Jawa Barat 71 dan di Jawa Timur tercatat 33 peristiwa. Puncaknya pada bulan Desember, tapi masih akan berlanjut hingga Januari dan Maret 2017.

Dengan adanya pernyataan BNPB tersebut tentunya sangat membantu masyarakat untuk bisa bersiaga untuk menyelamatkan diri. Tapi kenyataannya tidak demikian. Kejahatan manusia terhadap lingkungan masih terus berlanjut. Pembalakan dan pembkaran hutan tidak hanya terjadi di Kalimantan dan Sumatera tapi juga di Pulau Jawa yang hutannya telah gundul. Selain itu, masih saja ada masyarakat yang terus membuang sampah di sungai, padahal mereka tahu apa akibatnya. Ironisnya mereka malah menyalahkan pemerintah.

Mengutip pendapat pakar ekologi, Otto Soemarwoto, bahwa baik dan buruknya kualitas lingkungan hidup suatu masyakat (bahkan juga masing-masing individu) tergantung pada karakter, gaya dan pandangan hidup serta pilihan pola hidup individu yang bersangkutan. Bukan tergantung pada aturan pemerintah maupun menjadi tanggung-jawab penuh pemerintah. Maka perlu ditanamkan pada masyarakat, khususnya kepada anak-anak di usia sedini mungkin, mengenai pentingnya pemahaman akan ekosistem yang ada di ruang/lingkungan di mana kita tinggal dan berinteraksi. Pemahaman ini melalui keteladan penerapan hidup ‘bergaya hijau’: ibadah, pola pikir , perilaku, gaya hidup, pola makan dan literasi berwawasan hijau di samping pengetahuan lainnya tak kalah penting.
Prinsip-prinsip tersebut di atas yang mendorong beberapa kepala sekolah di wilayah Jabodetabek mengarahkan para siswa-siswinya untuk menulis Sastra Hijau dan sekaligus menjadikam mereka ‘petani pelestari bumi’, bermisikan merawat dan mencintai Bumi, rumah kita satu-satunya. Penulis juga bekerjasama dengan pihak-pihak masyarakat yang tergugah membentuk klub penulis pena hijau untuk merawat lingkungan.

Petani Pelestari Bumi

Petani Pelestari Bumi (PPB) bukanlah petani yang menggarap sawah atau ladang. Istilah tersebut Penulis ciptakan untuk menamai kelompok penulis pena hijau plus. Yaitu kelompok penulis yang menulis tentang isu-isu kerusakan dan penyembuhan lingkungan disertai kegiatan menanam dan mengkonsumsi makanan natural (Gerakan 3 M: Menulis, Menanam dan Mengkonsumsi Makanan Natural).

Bukan sawah atau ladang yang luas yang menjadi modal PPB, melainkan: (a) Harus rajin memperkarya diksi (pilihan kata) dan rajin berlatih menulis terus menerus; (b) Mengasah kepekaan terhadap lingkungan; (c) Banyak membaca, diskusi dan mengamati serta memahami isu-isu ekologi untuk menyuarakan visi dan misi pena hijau yang mereka gerakan. Dengan demikian PPB mampu menjadi pribadi ‘hijau’ yang selalu aktual, mengakar kekar sulit ditumbangkan karena punya keberanian untuk kebenaran.

Menjadi PPB bukanlah hal yang mudah, demikian berdasarkan pengamatan Penulis. Karena bermodalkan kemampuan menulis saja tidak cukup. Harus disertai komitmen yang dilandasi integritas yang tinggi terhadap misi yang disuarakannya melalui pena hijau. Sehingga PPB akan konsisten menulis tanpa memikirkan untung rugi materi dan sematan lencana tanda jasa. Bahkan juga tidak takut jika mendapat ancaman dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh tajamnya pena hijau. Maka tiak berlebihan bila PPB layak disebut sebagai pandu garda depan untuk melestarikan eksistensi bumi.

Yayasan Bhakti Suratto yang dipimpin oleh seorang penulis, Dodi Mawardi, berkedudukan di Cikeas Bogor, selain mendirikan Sekolah Alam Cikeas, bulan November tahun 2015 ‘melahirkan’ komunitas penulis PPB yang diberi nama Laskar Pena Hijau (LPH) beranggota sebanyak 35 orang. Mereka ini berasal dari wilayah Jabodetabek. Sebelum dilantik mereka dilatih menulis genre Sastra Hijau. Dari 35 orang ini yang aktif menulis di media hanya 30%-nya. Satu di antaranya, Susana Srini, yang dalam seminar ini menjadi salah seorang pemakalah. Meskipun anggota LPH tidak semua aktif menulis, tapi Dodi Mawardi tidak patah semangat. Bersama Yayasan Bhakti Suratto ia terus aktif melakukan ‘gerakan hijau’ antara lain menyelenggarakan Lomba Cipta Puisi Genre dan Lomba Stand Up Comedy.

Demikian pula menjadikan seseorang (yang belum bisa menulis) menjadi PPB itu lebih lagi. Pada umumnya mereka ini bermodalkan ‘tertarik menulis’ atau ‘ingin bisa menulis’. Tentu kedua modal itu tidak memadai jika tanpa disertai action berlatih menulis secara terus menerus dan memahami makna Ilmu Ekologi (Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makluk hidup dengan lingkungannya) dan sistem ekologi yang disebut ekosistem. Beberapa sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD), SMP dan SMA di Jabodetabek, bekerjasama dengan Penulis membentuk ekstrakurikuler (ekskur) literasi genre Sastra Hijau. Dari 20 sekolah, hanya 8 (delapan) sekolah yang siswa-siswinya serius mengikuti ekskur literasi Sastra Hijau yaitu: 1 (satu) sekolah SMA, 4 (empat) SMP dan 3 (tiga) SD. Bukti keseriusan mereka adalah lahirnya karya tulis berupa prosa dan puisi, pentas opera dan dramatisasi puisi, penerbitan buku, menanam tanaman dan pohon serta memproduksi film pendek.

Kendala atau kurang berhasilnya ekskur dalam melahirkan PPB penyebab antara lain: (a) Keengganan atau ‘kemalasan’ para siswa-siswi berlatih menulis dan membaca; (b) Kurang berminat bercocok dan (c) Stigma berpikir bahwa kegiatan menulis, membaca dan bercocok-tanam dianggap pekerjaan melelahkan dan kontra-produktif (misalnya tidak membuatnya masuk ranking di kelasnya). Maka tak heran jika menemukan fakta kala kelas ekskur PPB dibuka – pertemuan pertama berjumlah 50 siswa, pada pertemuan ketiga tinggal 15 siswa.

Peserta ekskur berguguran karena mereka enggan mengerjakan tugas menulis dan membaca dengan mengeluh ‘menulis itu sulit’ dan enggan bercocok tanam. Inilah penyebabnya mengapa angka kelahiran PPB begitu rendah. Untungnya, angka yang rendah ini hasilnya bernas: siswa-siswi yang sungguh-sungguh belajar menulis dan mau bercocok tanam, hasilnya bisa menjadi PPB sejati. Ini yang membuat Penulis terus bersemangat bergerak untuk mensosialisasikan pena hijau plus ke berbagai lembaga pendidikan, masyarakat luas dan mendirikan Gubug Sastra Hijau Rayakultura di Sentul City Bogor maupun di Yogyakarta.
(Catatan: karya-karya PPB ditayangkan dalam slide presentasi makalah ini)

‘PPB’ Masuk Kurikulum

Indonesia termasuk negara yang paling rawan bencana, baik itu yang disebabkan oleh kondisi alam (natural hazards) maupun karena ulah manusia (man-made hazards) demikian pernyataan United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) yang dikutip oleh BNPB dan dipublikasi di protalnya.
Bicara mengenai bencana yang disebabkan oleh ulah manusia, urutan yang teratas adalah akibat deforesasi. Menurut World Wildlife Fund for Nature (WWF), kerusakan hutan yang termasuk parah dalam peringkat lima besar adalah hutan di Brazil (Amazon), hutan di Amerika (Amerika Selatan dan Amerika Tengah), hutan di Indonesia (Kalimantan, Sumatera dan Papua), hutan di Afrika (Congo Basin dan Pesisir Tanzania) dan hutan di Australia. Berdasarkan kunjungan dan pengamatan Penulis, negara-negara yang hutannya menjadi korban deforesasi mendorong bangkitnya ‘gerakan pena hijau’ yang membuahkan karya tulis ecocriticism atau Sastra Hijau untuk melestarikan lingkungan (baca: Bumi).

Bahkan di Brazil gerakan pena hijau yang dipelopori antara lain oleh Dr. Susan Andrews – disertai gerakan menanam yang kemudian diadopsi oleh Penulis dengan sebutan PPB. Gerakan ini masuk sekolah, dijadikan bagian dari kurikulum wajib di tingkat pendidikan setaraf PAUD hingga SMA/SLTA yang dinafasi pelajaran ekologi. Mata pelajaran tersebut dikemas sangat menarik, 75% mengambil lokasi outdoor. Selain menulis Sastra Hijau dan bercocok tanam, para siswa juga diajak bermain drama, mini-opera, pentas music dan puisi, monolog dan menari. Semua aktivitas menyuarakan dan action untuk penyembuhan bumi yang sakit dan dan melestarikan eksistensi dan fungsi bumi secara optimal.

Bagaimana jika Indonesia juga memasukan gerakan PPB masuk kurikulum sepertihalnya di Brazil? Tujuannya untuk mengajar dan mendidik siswa agar memahami hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya secara seimbang. Sehingga manusia tidak hanya mengeksploitasi lingkungannya, tapi juga harus merawat dan melestarikannya dengan penuh kesadaran tanpa paksaan.

Dalam materi pembelajarannya perlu ditekankan bahwa terjadinya kerusakan lingkungan karena tidak sesuainya hubungan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Antara lain karena manusia cenderung mempolakan hidupnya bergaya hedonis (pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup). Maka mereka hidup bergaya mewah dan konsumsitif, tanpa memikirkan dampaknya. Berikut ini contohnya gaya hidup hedonis mengeksploitasi alam:

1. Rumah atau apartemen mewah -> memerlukan lahan luas, penyedotan sumber air tanah, bahan bangunan kayu dan mebel kayu, energy untuk penerangan, penyejukan dan penghangatan, biaya perawatan yang mahal (perlu pemasukan uang besar untuk petan yang diperoleh dari eksploitasi alam)

2. Kendaraan mewah -> perlu jalan/infrastruktur, pencemaran udara/polusi, bisnis menguntungkan bersumber dari eksploitasi alam

3. Konsumtif -> perlu bangunan mal dengan lahan luas, penyedotan air tanah yang berlebihan, mengkonsumsi makanan dan minuman olahan yang diproduksi oleh pabrik-pabrik yang dibangun di atas lahan luas, pemasukan uang besar yang diperoleh dari eksploitasi alam

4. Liburan yang serba mewah -> perlu hotel mewah atau tempat wisata dengan segala fasilitasnya yang pada umumnya merusak alam dan kesehatan

5. Menyampah -> banyak menggunakan kemasan yang sulit didaur ulang

Pola hidup sederhana yang disosialisasikan misi PPB:

1. Tidak membangun rumah mewah -> konsep alami/menyatu dengan alam, hemat energy, membangun rumah dengan bamboo -> membangun tanpa merusak alam

2. Berkendaraan anti polusi -> tidak harus memiliki mobil, menggunakan transportasi public/kendaraan umum

3. Mengkonsumsi makanan natural atau alami -> membuat dapur mandiri, menanam sayur dan tanaman obat/rempah -> yang dipraktikkan oleh para PPB antara diimplementasikan di SMP Don Bosco 2 Jakarta

4. Rekreasi bernuansa alam dengan tanpa merusak alam

5. Membangun lembaga pendidikan berkonsep bersahabat dengan alam (Sekolah Alam)

6. Menerapkan hidup ramah lingkungan: 4 (Empat) R: Reduce, Reuse, Recycle dan Repair/Replace

Belajar dari Gerakan Sabuk Hijau

Naning Pranoto | Rayakultura.netGerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement) berkedudukan di Kenya, didirikan tahun 1977. Pendirinya, Prof. Wangari Maathai, pejuang lingkungan yang terpilih sebagai Pemenang Nobel Perdamaian Tahun 2004. Puluhan tahun ia berjuang dengan ‘berdarah-darah’ dan mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menyelamatkan lingkungan dan hutan tropis di tanah kelahirannya, Kenya. Ia menjadi ancaman bagi para ‘tokoh-tokoh’ negeri dan para petinggi yang merasa dirugikan oleh gerakan Maathai yang memang ‘hijau-heroik’. Karena ia mampu menggalang kekuatan dari berbagai kalangan masyarakat termasuk para ibu rumah-tangga untuk menyelamatkan lingkungan dan hutan Kenya.

Berkat keberanian dan kegigihannya yang luar biasa, perjuangannya membuahkan hasil yang gemilang. Karena perjuangan Maathai memberikan energy, harapan dan rasa syukur bagi rakyat Kenya, khususnya kaum perempuannya. Diawali dengan memperjuangkan kelestarian lingkungan dan hutan tropis Kenya, ternyata dampaknya sangat besar mendorong pemerintahnya lebih menghormati hak-hak azasi manusia dan perdamaian serta menghargai eksistensi perempuan. Sejak Maathai berjuang untuk kiprah Sabuk Hijau dan tampil di forum-forum internasional ia meneguhkan bahwa ‘suara perempuan’ layak didengar dan diperhitungkan. Maka perempuan punya hak di panggung pengambilan keputusan. Maka, ketika ia dipilih sebagai Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Alam pada tahun 2003, ia melakukan penghijauan hutan dan lingkungan dengan melibatkan (memobilisasi) kaum perempuan.

Para kaum perempuan yang aktif dalam kiprah Gerakan Sabuk Hijau tidak hanya menanam ratusan ribu bahkan jutaan pohon untuk reboisasi hutan dan lingkungan, tapi juga menanam aneka tanaman untuk dikonsumsi (sayuran, buah-buahan, biji-bijian, tanaman obat/jamu dan rempah). Pelajar dan mahasiswa juga dilibatkan. Sehingga hasil tanaman mereka surplus untuk memenuhi kebutuhan pangan dan menciptakan lapangan kerja. Di balik keberhasilan tersebut, ada hal yang lebih berharga bagi Maathai, yaitu menyadarkan masyarakat akan pentingnya melakukan penghijauan, melindungi keanekaragaman hayati tumbuhan dan tanaman pangan. Yang mana hal tersebut telah terlupakan oleh masyarakat karena tindasan colonial dan pemerintah yang represif. Dengan adanya Gerakan Sabuk Hijau masyarakat kembali menghidupkan aneka tanaman dan pohon lokal yang hampir punah.

Untuk meyakinkan masyarakat yang lama hidup terjajah dalam ketakutan dan penderitaan, tidak mudah. Tapi Maathai yang pernah studi di Amerika Serikat tidak pernah putus asa. Dengan penuh kesabaran, keuletan dan pertolongan tangan-tangan lembaga yang peduli pada kelestarian lingkungan dan bimbingan Tuhan ia berhasil mewujudkan cita-cita dan harapannya: Menghijaukan Kenya. Di balik semburat hijaunya Kenya, Maathai juga menghidupkan seni, budaya dan sastra yang berakar pada lingkungan dan kearifan lokal. Di antara para perempuan aktivis Gerakan Sabuk Hijau bernama Litha Sovell menulis puisi sebagai berikut:

Kini Kita Hijau, Hijau Sentuhan Kita

Datang dari Timur, merahlah kita
Datang dari Barat, putihlah kita
Datang dari Selatan, hitamlah kita
Kini kita hijau, hijau sentuhan kita

Kini kita tahu, hijau itu sesuatu
Kini kita tahu, bibit itu berharga
Kini kita tahu, bibit itu pohon
Kini kita hijau, hijau sentuhan kita

Tanah itu kehidupan, itu kita tahu
Tanah itu harta, kita punya banyak
Tanah itu emas, kita jaga selamanya
Kini kita hijau, hijau sentuhan kita

Kini kita tahu, merampas lahan itu kejam
Kini kita tahu, tanah itu untuk semua
Kini kita tahu, tanah itu martabat
Kini kita hijau, hijau sentuhan kita
Kini kita tahu, semua adalah kakak
Kini kita tahu, semua adalah adik
Kini kita tahu, dunia kita bagi
Kini kita hijau, hijau sentuhan kita

Terima kasih,
Terima kasih untuk bibit, yang tidak dipatenkan
Kini kami bisa menanamnya di mana-mana
Kita ini penanam, kabarkan pada semua orang
Kini kita hijau, hijau sentuhan kita

Mari kita bersatu, satu suara
Mari kita bersatu, katakana kita ada
Mari kita bersatu, nikmati kekayaan kita
Kini kita hijau, hijau sentuhan kita

Gerakan Sabuk Hijau kini telah mendunia. Walau pendirinya, Prof. Wangari Maathi telah meninggalkan kita pada 25 September 2011, tapi semangat juang diwariskan untuk melestarikan bumi, tak pernah padam:

“… jika kita tidak membayangkan rasa takut, kita akan dapat terus maju terlepas dari segala rintangan yang ada dan selangkah demi selangkah kita akan mencapai tujuan kita.” Demikian spirit juangnya.

Sungguh menginspirasi jejak juangnya, Penulis ingin mewujudkan dalam Gerakan Pena Hijau Petani Pelestari Bumi.*

Daftar Pustaka
Buku
1. Dasmann, Raymond F, John P. Milton dan Peter H. Freeman, 1977. Prinsip Ekologi untuk Pembangunan Ekonomi (Ecological Principal for Economic Develpoment). Penterjemah Idjah Soemarwoto, MA. Jakarta: Gramedia.
2. Maathai, Wangari, 2012. Gerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement: Sharing the Approach and the Experience – diterjemahkan oleh Ilsa Meidina). Jakarta: Margin Kiri
3. Pranoto, Naning, 2013. Seni Menulis Sastra Hijau. Jakarta: Perum Perhutani
Website
www.antaranews.com/…/luas-hutan-di-pulau-jawa
www.bnpb.id/penyebab-bencana/potensi-ancam-bencana
www.republika.oc.id/…/mwtrb2-penyebab-banjir-salah-satunya-adalah-sampah
www.tempo.co/read/fokus/2016/06/21/3326/bencana-mengintai-jawa
www.tempo.co/topic/masalah/756/pembalakan-liar
www.worldwildlife.org

Viewing all 175 articles
Browse latest View live