Quantcast
Channel: Rayakultura.Net
Viewing all 175 articles
Browse latest View live

Gubug Hijau Rayakultura Adakan Pelatihan Menulis Puisi untuk Ibu Bumi

$
0
0

BANTUL (jurnaljogja.com )- Gubug Hijau Rayakultura mengadakan pelatihan melukis dan menulis puisi hijau serta pentas sastrawi untuk Ibu Bumi di Jalan Bantul Km 6 Yogyakarta, Selasa (17/1). Acara menghadirkan pembicara penyair Joko Pinurbo, sastrawati/tutor creative writing Naning Pranoto, dan pelukis/penyair Yeni Fatmawati Fahmi Idris.
Sejak pagi, Gubug Hijau Rayakultura dipenuhi para pelajar, guru dan mereka yang peduli dengan lingkungan. Para pelajar yang duduk lesehan dilatih melukis dan menilis puisi hijau. Acara dimeriahkan dengan pembacaan puisi dan pertunjukan wayang sayur.

Juru kunci Gubug Hijau Rayakultura Naning Pranoto memperkenalkan misi dann visi berdirinya Gubug Sastra Hijau Rayakultura untuk membentuk sasana untuk berbagai kegiatan sastrawi berlandaskan cinta guna merawat Ibunda Bumi (Love for Caring the Mother Earth) yang kondisinya memprihatinkan dampak dari ulah tangan-tangan rakus.

Sebagai perintisan kerjasama untuk menjadikan Kota Yogyakarta sebagai Kota Sastra Hijau bagi anak dan remaja. “Untuk mewujudkan cita-cita dan harapan tersebut, kami akan bekerjasama dengan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) serta dukungan para jurnalis, pejuang lingkungan dan para penyair maupun sastrawan,” katanya.

Gubug Hijau Rayakultura berdiri di atas lahan seluas 1.000 meter persegi, diresmikan secara sederhana pada 3 Februari 2016. Gubug ini dikelola oleh para relawan sahabat Bumi. “Pintu gubug kami selalu terbuka menyambut kehadiran siapa saja yang bermisi-visi sama dengan kami. Jika jiwa Anda terpanggil untuk merawat Ibunda Bumi, mari bergabung dengan kami mewujudkan ‘pengobatan’ untuk Ibunda Bumi (Healing for the Mother Earth),” ajak Naning.

Bambang Sugiharto/Jurnal Jogja


NEGERI MALAM

$
0
0

Naning Pranoto & LMCR

Aneh. Ini sungguh-sungguh keanehan yang terjadi. Dalam waktu kurang dari 10 menit aku telah lima kali mondar-mandir di Loket 6 untuk menukarkan tiket yang kubeli seharga dua dolar lima puluh sen. Hari masih pagi sekali, loket masih sepi. Sehingga aku tidak menganggu pembeli karcis lainnya. “What’s wrong? Apa lagi?” tanya si Penjaga Loket, lelaki India berusia 40-an, memandangiku dengan sengit.

“Ini, mengapa tiket saya jadi begini?” sahutku kesal. “Bukankah Anda mengenal saya hampir sembilan bulan? Saya selalu ke Moonlight Station.” Tegasku, menyebut sebuah stasiun di pinggiran Sydney, Australia. “Yeah…I know you – student studi di universitas tua samping Moonlight Station itu kan?” ia menyebut tempatku studi Kebudayaan Australia. “Iya,” aku sewot.”Tapi mengapa Anda memberi saya lagi tiket begini? Sudah 5 kali Anda lakukan.” Rasa kesalku berujung protes. Kutahan ledakan marahku. “No…no…!” si Hitam menggeleng keras. “Jangan bercanda — main sulap. Menukar tiket dariku dengan tiket mainan itu..!” ia justru menyerangku.

“Sorry..saya tidak main sulap. Saya sedang buru-buru. Pagi ini saya ujian. Gara-gara tiket bermasalah ini, saya terlambat, tak bisa ikut ujian.” Gerutuku. “Huhhhhh!” si Hitam melengos, membanting tumpukan tiket yang dipegangnya. Kemudian ia merebut tiket yang ada di tanganku. Kuserahkan tiket kereta api berwarna hitam bertuliskan Destination: Negeri Malam. Peron 13. “Oh…God. Mengapa bisa begini?” tiba-tiba si Hitam memukul keningnya, mengamati tiket hitam dariku.

Kemudian ia memandangiku dengan wajah jutek. “Padahal tiket yang kuberikan padamu berkali-kali ini kan?” ia menunjuk tumpukan tiket biru bertuliskan Destination: Moonlight Station. Platform 12. Ini peron lajur terakhir yang ada di stasiun tempatku beli karcis. “You see..stasiun ini tidak punya Peron 13!” tegas si Hitam, seperti yang sedang kupikirkan. “Juga, stasiun ini tidak punya rute ke Negeri Malam? Oooo..nama sebuah negeri yang belum pernah kudengar. Sangat asing! Tak ada di peta. Bahasanya aneh lagi: Ne-ge-ri Ma-lam. Kau tahu itu bahasa apa?” tanyanya mengagetkanku yang sedang bingung.

“Bahasa Zamrud Negeri Malam!” jawabku spontan. “See… itu berarti bahasa negerimu. Negeri Zamrud,” mata cekung si Hitam membelalak. “Jadi, tiket itu dari Negeri Zamrud, negerimu, kau bawa kemari, untuk mempermainkanku. Jangan begitulah…aku bisa kena pecat gara-gara ulahmu. Anakku banyak, perlu biaya hidup dan sekolah. I must have a job..” “Nope! Saya tidak mempermainkanmu!” bantahku. “Sure you do it to me!” tuduh si Hitam berang.

Lalu, ia mengusir dan mengancamku melaporkanku ke polisi jika aku tetap berada di depan loket. Tentu saja aku menolak keras perlakuan itu. Adu mulut pun terjadi. Puluhan calon penumpang kereta api tujuan Moonlight Station yang akan membeli karcis jadi terganggu. Di antara mereka tiba-tiba ada yang berseru, “Kemarin, waktu saya di Flinders Station Melbourne juga ada kejadian begini.Ada karcis ke Negeri Malam. Pembelinya student dari Negeri Zamrud.” Kata seorang pemuda kulit putih, wajahnya kemerah-merahan. “Di Gold Coast juga begitu, kemarin!” teriak seorang gadis hitam, rambut kribo. “Bibiku yang tinggal di Perth semalam menelponku dan cerita kejadian aneh seperti ini.”
Gadis berkulit kuning, bermata sipit, menambahi. Masih banyak lagi informasi serupa kudengar dari puluhan mulut di sekitarku. Aku jadi panik, mataku berkunang-kunang, perut mual. Aku pun ambruk! Entah, siapa yang menggotongku.
Tahu-tahu aku sudah berada di gerbong kereta api yang semua jendelanya tertutup. Aku bersandar di kursi kayu. Kuperhatikan dalam keremangan, minyak lampu itu telah habis dan tiba-tiba mati lampu: Pet! Gelap gulita! Nafasku menyesak. Dadaku nyeri. Kereta api berlari kencang, hingga semua penumpang terpental-pental.

Perutku mual. “No worries…aku mengawalmu!” tiba-tiba kudengar suara yang kukenal, si Hitam Penjaga Loket 6. “O, Anda.” Responku cepat. “Mengapa kita di sini? Mengapa naik kereta api gelap dan berlari kencang?” tanyaku, sambil berusaha mengenali wajahnya. “Yeah…aku ditugaskan boss-ku mengawalmu bersama puluhan student Negeri Zamrud yang studi di Sydney. Semua akan ke Negeri Malam.” “Negeri Malam?” mulutku ternganga.

“Yeah. Kita hampir sampai. Kereta ini diberangkatkan dari peron misterius Peron 13. Keretanya dipasangi sayap roket, agar on time di tempat. Sebab, kata boss-ku, kalau tidak on time dunia ini akan kehilangan satu negeri yang dihuni sekitar 250 juta jiwa.” “Itu negeriku, tanah air kami!” teriakku, spontan. “Exactly your Mother Land!” seru si India, lalu disambung dengan kalimatnya yang tidak bisa kusela, “Kata boss-ku, negerimu indah. Hangat, bermakota hutan tropis, makanya dinamai Negeri Zamrud.

Perut bumi negerimu mengandung kekayaan alam melimpah ruah. Tapi, julukan itu kata boss-ku, kini tinggal kenangan. Karena, hampir separuh hutan tropis negerimu digunduli para pebinis yang berkoneksi dengan petinggi negeri. Banyak pula pembalak hutan. Kayunya dijual ke luar negeri.” si India suaranya terkekik. Aku diam. Kubiarkan ia melanjutkan rentetan kalimatnya, “Kekayaan alamnya dikeruk berbagai Negeri Asing yang bersekongkol dengan petinggi negeri, para penadah suap tapi mengaku pejuang dan mengabdi rakyat…” “Huss.. jangan berkata begitu. Anda orang asing, tidak tahu keadaan negeri kami yang sesungguhnya.” Tukasku tegas.

Rasa kebangsaanku terusik. Si Hitam tiba-tiba tertawa sambil berkata, “Sorry, bukankah nuranimu tidak berkata begitu? Kata boss-ku, dunia mencatat, angka korupsi di negerimu, sangat subur. Juga, dalam kasus pelanggaran HAM, breaking the law…yang melahirkan banyak Markus…!” “Markus? Apa itu?” tanyaku tak sabar. “Makelar-Kasus. Itu mafia pengadilan. Akibatnya, korupsi di negerimu sulit diberantas. Malah merajalela, penyebab Negeri Zamrud berubah menjadi Negeri Malam. Gelap, negeri yang selalu gelap.”

“Wuihh. Sok tahu.” Ujarku marah. Padahal aslinya perasaanku malu, mendengar kalimat si India. “Sebentar lagi kita sampai.” Si Hitam memberitahu aku, tak mengindahkan sikapku. “Silakan siap-siap.” Tiba-tiba kudengar lengkingan peluit dan terompet bersahut-sahutan keras, memekakkan telingaku. Dalam hitungan detik, kereta api berhenti, ditandai hentakan dahsyat.

Lengkingan peluit dan terompet tak terdengar lagi. Kepalaku terbentur-bentur dinding gerbong. Ketika aku mengaduh, suaraku ditelan gemuruh aduhan penumpang yang terjatuh, terbentur, terinjak dan menjerit. Aku mengenali beberapa suara yang terdengar itu. Lalu, kupanggil nama-nama yang kukenali. Mereka membalas memanggilku. Aku senang. Mereka juga senang. Kesenangan kami seolah jadi penerang gerbong yang gulita. “Anda semua sudah sampai di Rajajati ibukota Negeri Zamrud. Silakan turun.” si India memberitahu dengan menggunakan Bahasa Zamrud. Sementara kami gaduh dalam kegelapan, membahas apa yang dikatakan si Hitam.

Si India kembali memandangi kami yang ada dalam kegelapan, “Please, dengar apa yang kubaca!” serunya. “Matahari telah lama dibungkus agar negeri ini terus menerus dalam kegelapan alias dalam balutan malam yang panjang sekali! Malam yang gelap dapat menyembunyikan apa saja. Terutama menutupi hal-hal buruk yang dilakukan oleh mereka yang bermental korup. Mereka itulah yang membungkus matahari dengan terpal dusta dan puluhan juta kebohongan – unlimited, lapis berlapis.” Si India membaca dengan ritme aktor monolog. “Lalu – bagaimana?” desak semua orang.
“Karena matahari dibungkus dengan terpal dusta dan kebohongan berlapis unlimited, maka Negeri Zamrud berubah menjadi Negeri Malam. Kini, lapisan terpal itu disingkap oleh anak-anak bangsa negeri ini dengan cercah-cercah sinar nuraninya. Anda semua yang di sini, ditunggu perannya, membantu mereka itu!” “Kami siap!” terde ngar gema respon spontan.

“Okey. Bawalah senter ini untuk penerangan kalian bergabung dengan mereka. Aku harus kembali ke kotaku. Good bye!” si India melambaikan tangannya, setelah menyerahkan lampu senter kepadaku. “Take care!Good bye, mate” seruku. “Good bye, mate!” orang-orang sekitarku ikut memberi salam perpisahan pada si India. Kami tak sabar lagi ingin segera bergabung dengan mereka yang sedang menyingkap terpal laknat itu. Tapi, ketika kami baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba semua jatuh terjerambab. Kami tersandung benda-benda keras. Di sana-sini terdengar suara mengaduh kesakitan. Lampu senter pemberian si India kunyalakan. Flash! Kami semua kaget. Ternyata, benda-benda keras itu bongkahan-bongkahan batu yang memenuhi jalan. “Sialan! Ternyata mereka tidak hanya membungkus matahari, tapi juga menutup jalan dengan bongkahan batu keras,” teriak seorang tertubuh jangkung. Lampu senter kunyalakan lagi. Cahaya lampu senter kuarahkan ke samping kiri jalan. “Lihat jembatan itu juga diputus!” orang di sampingku menunjuk jembatan yang menghubungkan rumah penduduk dengan jalan raya.

“Wah, berarti memutus perekonomian rakyat kecil!” komentar seseorang lainnya di belakangku. “Rakyat mati, penguasa makan roti!” sambungnya geram. “Benar kata Anda. Rakyat mati, penguasa makan roti!” terdengar respon serempak, termasuk responku. Kemudian, kalimat itu menjadi mars, penyemangat kami menyingkirkan bongkahan-bongkahan batu yang menutup jalan. Kami bekerja keras dalam kegelapan sambil melagukan mars: Rakyat mati, penguasa makan roti!
Bersamaan dengan itu terdengar sorak-sorai, menyambut bias matahari yang menyingkap kegelapan. Hanya dalam hitungan detik, ratusan juta mata putra-putri negeri membelalak. Semua menyaksikan sosok-sosok manusia berkepala kosong tanpa otak, tanpa mata dan telinga. Tidak ada hati, tidak ada jantung dalam rongga tubuh mereka. Tangan dan kaki mereka penuh borok, menyangga jiwa penuh bisul bernanah. Mulut mereka menganga singa. Tapi yang paling mencengangkan, mereka punya usus sangat istimewa. “Tutup mulutmu pembohong!”

“Hai, berisik. Mulut kalian bau bangkai, setelah mengganyang uang rakyat.” “Tutup mulutmu penipu! Jangan kobarkan lagi api kebencian. Kami murka.” Kami berteriak. Suara dari utara, dari selatan, dari timur dan dari barat, semua mengumpat. Massa berkumpul, darah mendidih. Teriakan massa makin keras, sahut menyahut dalam kegaduhan histeris. Massa menuntut. Para pembungkus matahari kini berdiri berderet dikumpulkan di lapangan luas. Beberapa jam yang lalu mereka dengan mobil mewah masing-masing meluncur menuju Bandara Internasional. Tetapi semua jalan yang menuju ke Bandara Internasional diblokir massa. Kemarin bahkan pendusta tertinggi di Negeri Malam, negeriku, memberi aba-aba kepada para serdadunya: Tembak semua yang makar! Aneh, tidak satu pun peluru meletus meski ratusan ribu moncong senapan ditembakkan. Senjata-senjata yang dibeli dengan darah dan keringat rakyat itu jinak, kembali serta memihak rakyat. Sementara itu, Pendusta tertinggi di negeri ini, tanpa ada yang menyuruh, tampak menelanjangi diri diikuti oleh pendukungnya, para pembungkus matahari. Langkah itu diikuti pula oleh anak-istri mereka yang rata-rata bertubuh gemuk, bermulut Anaconda dan perut mereka super buncit nyaris meledak. Massa menggiring mereka dengan damai menuju ke LAPAS.***

Oleh Naning Pranoto

Sabtu, 25 Januari 2014
(Di Muat di Suara Karya Online)

Jokpin Ajak Pelajar Bantul Cintai Bumi

$
0
0

BANTUL,tiras.co Ratusan pelajar dan guru serta mereka yang peduli lingkungan berkumpul di Gubug Hijau Rayakultura. Para siswa ini tengah dilatih melukis dan menulis puisi hijau. Acara yang berlangsung pada Selasa (17/1/2017) di Jalan Bantul Km 6 itu dimeriahkan dengan pembacaan puisi dan pertunjukan wayang sayur.

Selain mengadakan pelatihan melukis dan menulis puisi hijau, hari itu Gubug Hijau Rayakultura tengah mengadakan pentas sastrawi untuk Ibu Bumi. Acara di antaranya menghadirkan pembicara penyair Joko Pinurbo atau Jokpin, sastrawati/tutor creative writing Naning Pranoto, dan pelukis/penyair Yeni Fatmawati Fahmi Idris.

Pemrakarsa Gubug Hijau RayakulturaNaning Pranoto menjelaskan misi dann visiberdirinya Gubug Sastra Hijau Rayakultura, yaknimembentuk sasanauntukberbagai kegiatan sastrawiberlandaskan cintaguna merawatIbundaBumi (Love for Caringthe Mother Earth) yang kondisinya memprihatinkan akibat dampak dari ulah tangan-tangan rakus.

Sebagai perintisan kerjasama untukmenjadikan Kota Yogyakarta sebagai Kota Sastra Hijaubagi anak dan remaja.Maka, untuk mewujudkan cita-cita dan harapan tersebut pihaknya akan bekerjasamadengan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) serta dukungan para jurnalis, pejuang lingkungandan para penyair maupun sastrawan.

Gubug Hijau Rayakulturasendiri berdiri di atas lahanseluas 1.000 m2, diresmikan secara sederhana pada 3 Februari 2016. Gubug ini dikelola oleh para relawansahabat Bumi.Pintu gubugselalu terbukamenyambut kehadiran siapa saja yang bermisi-visi sama. (bambang sk/tiras.co)

Memperkenalkan Petani Pelestari Bumi

$
0
0

KUALITAS hidup kita tergantung dari kualitas lingkungan kita. Hanya dalam lingkungan hidup yang baik, manusia dapat berkembang secara maksimal. Hanya dengan manusia yang baik lingkungan hidup dapat berkembang ke arah yang optimal. Kalimat ini penulis kutip dari pendapat pakar ekologi Prof Dr Ir Otto Soemarwoto (1926-20- 08), yang penulis meyakini kebenarannya. Selain kejahatan manusia, kerusakan lingkungan juga bisa disebabkan oleh cuaca. Tapi, faktor kejahatan manusia sangat dominan sebagai penghancur lingkungan, demikian pernyataan yang disiarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akhir Juni lalu. Akibatnya, kondisi lingkungan pun rentan bencana.

Kesadaran akan keseimbangan ekosistem perlu ditanamkan pada masyarakat, khususnya kepada anak-anak di usia sedini mungkin. Pemahaman ini melalui keteladan penerapan hidup ‘bergaya hijau’: ibadah, pola pikir , perilaku, gaya hidup, pola makan dan literasi berwawasan hijau. Di samping pengetahuan lainnya tak kalah penting.

Prinsip-prinsip tersebut di atas yang mendorong beberapa kepala sekolah di wilayah Jabodetabek mengarahkan siswanya untuk menulis Sastra Hijau. Sekaligus menjadikam mereka ‘petani pelestari bumi’, bermisikan merawat dan mencintai Bumi, rumah kita satu-satunya. Penulis juga bekerja sama dengan pihak-pihak masyarakat yang tergugah membentuk klub penulis pena hijau untuk merawat lingkungan.

Pelestari Bumi

Petani Pelestari Bumi (PPB) bukanlah petani yang menggarap sawah atau ladang. Istilah tersebut penulis ciptakan untuk menamai kelompok penulis pena hijau plus. Yaitu kelompok penulis yang menulis tentang isu kerusakan dan penyembuhan lingkungan disertai kegiatan menanam dan mengkonsumsi makanan natural (Gerakan 3 M: menulis, menanam dan mengonsumsi makanan natural).

Bukan sawah atau ladang yang luas yang menjadi modal PPB, melainkan: (a) Harus rajin memperkarya diksi (pilihan kata) dan rajin berlatih menulis terus menerus; (b) Mengasah kepekaan terhadap lingkungan; (c) Banyak membaca, diskusi dan mengamati serta memahami isu-isu ekologi untuk menyuarakan visi dan misi pena hijau yang mereka gerakan. Dengan demikian PPB mampu menjadi pribadi ‘hijau’ yang selalu aktual.

‘PPB’Masuk Kurikulum

Bagaimana jika Indonesia juga memasukkan gerakan PPB masuk kurikulum seperti halnya di Brazil? Tujuannya untuk mengajar dan mendidik siswa agar memahami hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya secara seimbang. Dalam materi pembelajarannya perlu ditekankan bahwa terjadinya kerusakan lingkungan karena tidak sesuainya hubungan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Antara lain karena manusia cenderung mempolakan hidupnya bergaya hedonis.

Berikut ini contohnya gaya hidup hedonis mengeksploitasi alam: rumah atau apartemen, kendaraan mewah, konsumtif, liburan yang serba mewah, menyampah. Sementara, pola hidup sederhana yang disosialisasikan misi PPB: (1) tidak membangun rumah mewah, (2) berkendaraan anti-polusi. Kemudian (3) mengonsumsi makanan natural atau alami rekreasi bernuansa alam dengan tanpa merusak alam, (4) membangun lembaga pendidikan berkonsep bersahabat dengan alam (Sekolah Alam) dan (5) menerapkan hidup ramah lingkungan 4 R: reduce, reuse, recycle dan repair/replace.

Sabuk Hijau

Gerakan Sabuk Hijau (Green Belt Movement) berkedudukan di Kenya, didirikan tahun 1977. Pendiriya, Prof Wangari Maathai, pejuang lingkungan yang terpilih sebagai Pemenang Nobel Perdamaian Tahun 2004. Puluhan tahun ia berjuang dengan ‘berdarah-darah’ dan mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menyelamatkan lingkungan dan hutan tropis di tanah kelahirannya, Kenya.

Di antara para perempuan aktivis Gerakan Sabuk Hijau bernama Litha Sovell menulis puisi sebagai berikut :

Kini Kita Hijau, Hijau Sentuhan Kita Datang dari Timur, merahlah kita Datang dari Barat, putihlah kita Datang dari Selatan, hitamlah kita Kini kita hijau, hijau sentuhan kita

Terima kasih, Terima kasih untuk bibit, yang tidak dipatenkan Kini kami bisa menanamnya di mana-mana Kita ini penanam, kabarkan pada semua orang Kini kita hijau, hijau sentuhan kita

Gerakan Sabuk Hijau kini telah mendunia. Walau pendirinya, Prof Wangari Maathi telah meninggalkan kita (25/9/2011). Tapi semangat juang diwariskan untuk melestarikan bumi, tak pernah padam.

(Dra Naning Pranoto MA. Rayakultura State of Education and Culture – Bogor Jawa Barat (artikel kerja sama KR – FIB UNY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 13 Oktober 2016)

Sumber : krjogja.com

Mari Menulis untuk Menebarkan Cahaya Jiwa dan Berprestasi

$
0
0

Ikuti Lomba Menulis Kisah Berhikmah untuk adik-adik BMI di mana pun Anda berada dan bekerja di bidang apa pun.

Sahabat, tolong sampaikan lomba ini pada sahabat, teman atau tetangga Anda yang pernah atau sedang bekerja di LN ,

LOMBA MENULIS PUISI AKU CINTA INDONESIA

$
0
0

MARI KITA KOKOHKAN TEMALI EMAS NKRI

Kami mengundang anak-anak dan remaja di seluruh Indonesia maupun yang sedang studi atau merantau bersama orangtuanya di luar negeri untuk menulis Puisi Ekspresi Jiwa Nasionalis melalui lomba ini.
Mari kita dokumentasikan dalam antologi.

LOMBA MENULIS PUISI AKU CINTA INDONESIA
Peserta Pelajar SD Kelas 4 – 6, SMP/SLTP dan SMA/SLTA Tingkat Nasional

Tema lomba: Aku Cinta NKRI, Wujudkan Persatuan Bangsa di Bumi Pertiwi
Berhadiah Total Rp 12.000.000,00 + Piagam Aku Cinta Indonesia

Syarat-Syarat Lomba
1. Peserta lomba terdiri dari 3 (tiga) kategori yaitu: Kategori A: Pelajar Tingkat SD Kelas 4 – 6; Kategori B: Pelajar Tingkat SMP/SLTP dan Kategori C: Pelajar Tingkat SMA/SLTA yang berada di seluruh Indonesia maupun mereka yang sedang studi/merantau bersama keluarganya di luar negeri

2. Tema Lomba: Aku Cinta NKRI, Kokohkan Persatuan Indonesia di Bumi Pertiwi

3. Lomba dibuka 10 Juni 2017 dan ditutup 30 Juli 2017 pukul 24.00 WIB
4. Judul puisi bebas, asalkan mengacu pada tema tersebut di atas

5. Puisi ditulis dalam bahasa Indonesia, boleh menggunakan metafora

6. Panjang puisi minimal 4 (empat) bait dan maksimal 6 (enam) bait. Per bait terdiri dari 4 (empat) – 6 (enam) kalimat/baris

7. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 (satu) judul, maksimal 2 (dua) judul adalah karya sendiri (tidak boleh dibuatkan orang lain atau hasil jiplakan)

8. Puisi yang dilombakan diketik (bukan tulisan tangan), dikirim ke panitia lomba dilampiri foto, mini-biodata lengkap dengan alamat dan nomor telepon/HP serta identitas diri dan di-email ke: rayakultura@gmail.com paling lambat 30 Juli 2017,pukul 24.00 WIB

9. Penilaian ditekankan pada isi/makna, pilihan kata (diksi) dan keindahan sebagai puisi

10. Per kategori dipilih Pemenang 1, 2 dan 3 yang disaring dari 35 judul puisi yang diunggulkan dari masing-masing kategori (total puisi yang diunggulkan 105 judul)

11. Hadiah Pemenang masing-masing kategori jumlahnya sama. Pemenang 1 mendapat uang tunai Rp 1.500.000,00; Pemenang 2 mendapat uang tunai Rp 1.000.000,00 dan Pemenang 3 mendapat uang tunai Rp 750.000,00 + Piagam Aku Cinta NKRI

12. Puisi yang diunggulkan 105 judul akan dibukukan dan penyairnya pendapat Piagam Penghargaan Puisi Unggulan dalam bentuk digital

13. Karya pemenang diumumkan 17 Agustus 2017 melalui media-sosial, media massa dan website: www.rayakultura.net

14. Keputusan Dewan Juri final dan tidak ada surat menyurat

Jakarta, 1 Juni 2017

Tuti Hadiputranto
Pemrakarsa Lomba

Mira Adyanti
Koordinator Lomba

Naning Pranoto

Ketua Pelaksana Lomba

Sosialisasi Lomba Menulis Puisi AKU CINTA INDONESIA

$
0
0


Di Sekolah Trilingual Terpadu Pahoa Summarecon BSD.
Peserta penuh antusias. Ibu Mira Adyanti selaku koordinator lomba terpukau karenannya. Program yang berlangsung Kamis, 8 Juni 2017 ini merupakan momentum beraura nasionalis untuk memperkokoh temali emas persatuan NKRI. Amin

Salam Merah-Putih,
Naning Pranoto – Ketua Pelaksana Lomba.

[See image gallery at rayakultura.net]

KARYA YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT Dalam Lomba Menulis Puisi Aku Cinta Indonesia

$
0
0

(Silakan dishare dengan metode copy-paste supaya tidak diplintir yang menimbulkan salah-paham)

Pertama-tama kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mengirimkan karya puisinya untuk Lomba Menulis Puisi AKU CINTA INDONESIA. Sampai dengan pagi ini yang masuk sudah 200-an judul. Namun sayang sekali, hampir 70% tidak memenuhi syarat karena:

1. Puisi ditulis di badan e-mail (tanpa file) dan tidak dilampiri
mini-biodata
2. Tidak dilampiri identas scanning Kartu Pelajar/Kartu Keluarga
KTP (bagi yang sudah punya)
3. Puisi terlalu panjang (sampai ada yang 8 – delapan bait)
4. Ada juga yang karyanya tidak dilampiri foto

Bagi peserta yang telah kirim karya dengan kondisi tersebut di atas, silakan direvisi jika karyanya ingin dinila oleh Dewan Juri. Masih ada waktu. Baca baik-baik persyaratannya. Karena:

1. Jika karya puisi yang Anda kirim terpilih 105 besar akan
dibukukan, maka harus dilengkapi dengan persyaratan
yang dipaparkan tersebut di atas.
2. Kami menghimbau para guru atau tutornya mengarahkan
siswa-siswinya untuk menulis puisi sesuai persyaratan

Demikian pengumuman ini kami publikasi agar para peserta lomba mentaai persyaratan lomba dan tulisannya tidak sia-sia.

Mari berkarya secara optimal, untuk Indonesia yang kita cintai sembari berprestasi untuk diri sendiri.

Perhatikan Pengumuman Lomba terlampir. Terima kasih.

Salam Puisi,
Naning Pranoto – Ketua Pelaksana Lomba.

Tim Dewan Juri.
Adri Darmadji Woko
Didien Pradoto
Kurniawan Junaedhie
Mira Adyanti
Naning Pranoto
Shinta Miranda
Tuti Hadiputranto (Pemrakarsa)


NANING PRANOTO MEMBIMBING SISWA MENULIS BUKU

$
0
0

Tahu tentang Jakarta Melalui Karya Anak Sekolah!

Oleh Jessica Rachel

Young and talented! Melanjutkan tradisi menerbitkan buku siswanya, SMP Don Bosco II kembali mengajak siswa untuk melatih kemampuan menulis lewat buku Hiruk-Pikuk Kota Jakarta dan Lingkungannya.

Acara peluncuran dan bedah buku diadakan pada suatu siang di bulan Mei dan dihadiri oleh sastrawan Dra. Naning Pranoto, M.A. dan Pengawas Dinas Pendidikan Kotamadya Jakarta Timur, Dr. Agus Sukoco, M.M. di Gramedia Mal Kelapa Gading.

Sebelumnya, SMP Don Bosco II telah menerbitkan buku kumpulan puisi Jeruji Waktu dan Dawai Irama Alam yang mendapat apresiasi dari dalam dan luar negeri. Meskipun fokus pada lingkungan, dalam buku ini kita juga bisa melihat budaya dan kuliner Jakarta dari sudut pandang anak sekolah!

Awalnya, buku yang jadi perwujudan Gerakan Literasi Nasional yang digagas oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ini adalah hasil karya siswa yang mengikuti ekstrakulikuler ‘Program Pena Hijau’, penulisan kreatif yang dibimbing oleh Dra. Naning Pranoto, M.A.

Tulisan siswa kemudian dibentuk menjadi sebuah buku – kumpulan dua puluh lima esai dengan ilustrasi yang juga merupakan karya siswa SMP Don Bosco II. Dengan ini, generasi muda jadi akan lebih aware tentang pentingnya menjaga lingkungan Jakarta. We love to see their future projects!

Sumber: cosmogirl.co.id

Lesehan sastra dan budaya, Komunitas Teater Matahari Hong Kong.

$
0
0

Lesehan sastra dan budaya bersama Komunitas Teater Matahari Hong Kong dan Naning Pranoto dkk.

PENGUMUMAN PEMENANG LOMBA MENULIS KISAH BERHIKMAH BMI – TINGKAT INTERNASIONAL

$
0
0

ICLaw Golden Pen Award

Puji syukur tiada terhingga pada Allah SWT dan semua pihak yang pendukung program Lomba Menulis Kisah Berhikmah BMI (Buruh Migran Indonesia) – Tingkat Internasional yang diselenggarakan oleh ICLaw, berhasil dengan gemilang. Peserta yang mengirimkan karya tulis tidak hanya BMI yang sedang bekerja di luar negeri, akan tetapi juga BMI yang telah kembali ke Tanah Air. Kisah berhikmah yang mereka tulis isinya sangat bernas beragam. Selain mengundang haru, menggetarkan jiwa, takjub, mencahaya, komedi dan kisah tentang buah manis kerja keras. Tapi juga persaingan sengit, kecemburuan cinta dan sosial, kerinduan mendalam pada keluarga yang terbentengi jarak jauh serta tragedi hinaan yang merendahkan harga diri dan siksaan yang melukai tubuh.

Sisi psositifnya, substansi tulisan para BMI yang memenangi lomba ini bisa dijadikan guru kehidupan yang mengedukasi menjadi manusia jujur, religius, pemicu etos kerja, menumbuhkan toleransi dan kasih sayang serta memahami apa arti bekerja secara professional untuk keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan jiwa dan raga. Tulisan para BMI ini juga sangat bermanfaat sebagai panduan otentik bagi siapa saja yang ingin bekerja di Luar Negeri sebagai BMI Formal (bekerja di perusahaan/lembaga) maupun BMI Nonformal (bekerja di lingkup domestik/rumah-tangga).

Lomba yang dibuka 1 April dan ditutup 1 Juli 2017 ini diikuti oleh peserta BMI Formal maupun BMI Nonformal, berkisah tentang pengalaman kerja mereka di wilayah Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Riyadh, Belanda, Dubai, Australia-Amerika dan New Zealand. Jumlah naskah yang masuk diseleksi oleh Dewan Juri menjadi 24 Karya Unggulan. Kemudian dari 25 Karya Unggulan tersebut dipilih tiga pemenang: Pemenang 1, Pemenang 2 dan Pemenang 3. Ke 25 Karya Unggulan akan diterbitkan sebagai buku.

Penilaian karya tulis yang masuk ke meja panitia mengacu pada: (1) Isi dan Bobot Hikmah (Makna) Tulisan; (2) Retorika; (3) Bahasa, Struktur Kalimat, Format Tulisan dan Panjang Tulisan sesuai ketentuan lomba. Sekitar 70% dari peserta lomba, menulis kisahnya lebih dari 10 halaman (maksimal ketentuan). Bahkan ada yang panjangnya hingga 27 halaman. Meskipun demikian, kisah panjang yang isi dan bobotnya berhikmah serta menginspirasi pembaca, oleh Dewan Juri dimasukkan dalam Karya Unggulan. Karya-karya tersebut akan disunting oleh editor dan dimuat menjadi bagian dari isi buku yang diterbitkan. Hal ini kami jelaskan, sebagai informasi kepada peserta lomba dan masyarakat luas – bertujuan untuk menumbuhkan minat menulis dan menyuburkan perkembangan gerakan literasi bagi BMI di mana pun berada. Misi yang mengusung gerakan edukasi berpikir kritis-kreatif dan terapi melalui pena untuk BMI, inilah yang ingin diwujudkan oleh Yeni Fatmawati Fahmi Idris, Managing Partner ICLaw selaku pemrakarsa lomba. Yeni Fatmawati yang berprofesi sebagai lawyer adalah seorang pelukis, pematung dan penyair. Maka ia punya perhatian besar di bidang literasi sastra dan seni rupa.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, Dewan Juri yang diketuai Naning Pranoto dengan anggota Adri Darmaji Woko, Didien Pradoto, Shinta Miranda, Yeni Fatmawati dan Yeni Mulati Achmad (Afifa Afra) memutuskan karya tulis yang menjadi pemenang sebagai berikut:

Pemenang 1 – Judul Minoritas Pangkat Tiga karya Erin Cipta, Cilacap Jawa Tengah. Ia pernah bekerja sebagai perawat lansia di Taiwan tahun 2012 – 2015. Ia berhak mendapat Hadiah Uang Tunai Rp 5.000.000,00, Piagam Penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan Buku Hasil Lomba.

Pemenang 2 – Judul Habis Gelap Terbitlah Terang Bagi BMI di Negeri Ginseng karya Hasan Sanusi, asal Cirebon – Jawa Barat. Saat ini ia bekerja dan kuliah di UT Korea Selatan, bermukim di Daegu Korea Selatan hingga Oktober 2018, sesuai dengan kontrak kerjanya. Ia berhak mendapat Uang Tunai Rp 3.500.000,00, Piagam Penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan Buku Hasil Lomba.

Pemenang 3 – Judul Kisah Tentang Meramu Kepercayaan karya Etik Purwani, Blitar Jawa Timur. Ia pernah bekerja di Singapura dan Hong Kong. Atas kemenangan karyanya ia berhak mendapat Hadiah Uang Tunai Rp 2.500.000,00, Piagam Penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan Buku Hasil Lomba.

Karya Tulis yang terpilih sebagai 22 Karya Unggulan, masing-masing mendapat Piagam Penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan Buku Hasil Lomba

1.Judul Gonjang-Ganjing Dua Puluh Purnama karya Nila Noviana,dara Blitar. Nama penanya Kaka Clearny. Saat ini ia bekerja dan bermukim di Hong Kong.

2.Judul Denting Nafas Suka-Duka Perjalanan Hidup Bersama Pena karya Wijiati Supari, asal Kediri Jawa Timur. Saat ini ibu dari anak lelaki tunggal itu bekerja dan bermukim di Hong Kong. Hobinya mendaki gunung selain berteater dan menerjuni dunia jurnalistik.

3.Judul Hijrah Meraih Mimpi, Cinta dan Cita-Cita di Tanah Hijaz karya Karyadi, panggilannya Iyad Wirayuda, asal Karawang Jawa Barat. Ia bekerja di Jeddah – Arab Saudi sejak tahun 2009 hingga sekarang belum pernah pulang ke Tanah Air. Aktivitasnya di bidang literasi dan keagamaan.

4.Judul Hidup Rasa Kiwi karya Muhammad Iqbal. Pria yang kini bermukim di Bogor dan menduduki jabatan sebagai Kepala HRD di sebuah perusahaan retail, pernah bekerja di New Zealand sebagai pencuci piring hingga menjadi chef yang ahli membuat muffin, cake dan aneka dessert.

5.Judul Tutup Layar, Buka Layar karya Rina Sutomo alias Rina Tri Sulistyoningrum. Gadis asal Trenggalek Jawa Timur ini, seorang sarjana pendidikan dan pernah mengajar di Sekolah Dasar. Kemudian ia memutuskan ke Hong Kong menjadi BMI hingga sekarang.

6.Judul Mimpi Buruk dari Kebun Strowberi karya Tania Roos. Perempuan asal Malang Jawa Timur ini, kini bekerja di Taiwan sebagai Staf Lokal KDEI Taipei dan ditempatkan sebagai Wakil Kepala Shelter Taichung, sejak Mei 2015 hingga sekarang.

7.Judul Mengejar Asa di Bumi Serambi Mekkah karya Didin Demba. Pria yang kini tinggal di Palu Sulawesi berlatar belakang pendidikan keperatawan pernah bekerja sebagai perawat di Arab Saudi pada tahun 2015 – 2017. Selama di perantauan ia aktif di bidang asah bahasa Arab dan keagamaan.

8.Judul Seni Merawat Manula di Belanda karya Lily, asal Jakarta. Perempuan yang kini memasuki usia 60 tahun dan pernah menduduki jabatan sebagai manager di sebuah perusahaan telekomunikasi Jerman ini, kini menetap di Belanda. Baginya menjadi perawat manula nonformal sebagai wujud berbagi perhatian dan kasih sayang untuk sesama.

9.Judul Saya bangga Menjadi Buruh Migran karya Justto Lasoo yang bernama asli Loso Abdi. Pria asal Karanganyar Jawa Tengah yang gemar membaca ini pernah bekerja di Taiwan dalam kurun waktu 2011 – 2016 dan aktif di bidang literasi.

10.Judul Bukan TKI Biasa karya Max Dikayyat, Bangkalan – Madura. Pria kelahiran tahun’80 ini cukup lama ‘malang-melintang’ sebagai TKI di Negeri Jiran Malaysia. Sekarang sudah kembali ke kampung halaman sebagai pribadi yang tangguh dan mandiri.

11.Judul Serpihan Mozaik Kehidupan di Kapal Pesiar karya Enofita Enji yang bernama asli Nofita Ningsih, Yogyakarta. Perempuan lulusan SMK ini adalah seorang cerpenis yang kemudian bekerja di Kapal Pesiar dengan rute menjelajah berbagai benua.

12.Judul Rumah Biru Cheng Sha Wan karya Anna Ilham yang nama aslinya Titik Ilhamiyah, BMI Hong Kong hingga sekarang. Gadis asal Malang Jawa Timur ini adalah pegiat Forum Lingkar Pena (FLP) Hong Kong.

13.Judul Si Bawang Putih dan Kawah Candradimuka Kehidupan karya Yulianto. Kini ia bekerja dan bermukim di Seoul Korea Selatan.

14.Judul Bias-Bias Kasih Sayang karya Chusnul Chotimah. Perempuan asal Blitar Jawa timur yang hobinya merenda ini, kini bekerja dan bermukim di Hong Kong. Ia menjadi BMI terinspirasi oleh jejak-langkah ibunya yang pernah bekerja di HongKong pada saat Indonesia dilanda krisis moneter.

15.Judul Malaikat Rindu Pesulap Dapur karya Aliq Nurmawati, asal Blitar Jawa Timur. Saat ini ia bekerja dan bermukim di Hong Kong.

16.Judul Lambaian Tangan untuk Bobo karya Hanna Yohana, asal Malang Jawa Timur. Perempuan yang gemar menulis puisi ini, saat ini bekerja dan bermukim di Hong Kong. Di sela-sela menjalankan tugasnya sebagai BMI, ia menerjuni dunia jurnalistik dan bekerja untuk sebuah tabloid Indonesia yang terbit di Hong Kong.

17.Judul Goresan Waktu Negeri Beton karya Yuni Purbo yang nama aslinyaYuni Winarsih, asal Wlingi – Blitar Jawa timur. Ibu dari tiga anak ini, kini bekerja dan menetap di Hong Kong. Di sela-sela kesibukannya bekerja ia isi dengan kegiatan menulis prosa dan puisi.

18.Judul Sumpah Palapa Seorang Gadis Desa karya Susana Nisa yang nama aslinya Susanawati. Saat ini ia bekerja dan bermukim di Hong Kong, aktif menulis dan mengirimkan karya jurnalistiknya ke berbagai media dan stasiun TV di Indonesia.

19.Judul Berserah Bukan Berarti Menyerah karya Maryatun, Hong Kong. Perempuan asal Blitar Jawa Timur ini menjadi BMI ke Hong Kong tahun 2004 dengan bekal ijazah Sekolah Perawat Kesehatan. Dalam tulisannya ia berkisah mengenai pengalamannya merawat seorang nenek penderita kanker.

20.Judul Sepenggal Kisahku: Untai Prestasi dan Bersahabat dengan Kawanan Anjing karya DheaZinta AudySky. Gadis manis asli Ciamis Jawa Barat ini, mulai bekerja di Hong Kong sejak 11 tahun lalu. Hobinya menyanyi dan ia kembangkan untuk meraih prestasi melalui berbagai lomba tarik suara. Postur tubuhnya yang langsing membuatnya mendapat peluang menjadi foto-model. Pekerjaan utamanya merawat 10 ekor anjing bertubuh gagah-besar dan enam ekor kucing cute dan memasak.

21.Judul Sumbu X dan Y: Aku Wonder Woman? Karya Tanti. Nama lengkapmya Dwi Sutanti, asal Lampung Timur. Saat ini ia bekerja di sebuah pabrik di Korea Selatan, menangani reflector lampu LED sambil menekuni studi di UT Korea ambil prodi S-1 Prodi Bahasa Inggris. Sebelumnya ia bekerja di Hong Kong.

22.Judul Pilihan Antara Uang dan Keluarga karya Naning Riwayati, asal Malang Jawa Timur. Saat ini ia bekerja dan bermukim di Hong Kong sejak tahun 2014, merawat anak penderita autis. Baginya, itu merupakan periode kedua, karena tahun 2000 ia pernah beberapa tahun bekerja di negeri bekas jajahan Inggris itu.

•Keputusan dewan Juri adalah final.
•Hadiah dan Piagam akan dikirimkan oleh Panitia dalam kurun hingga Awal September 2017. Hadiah buku akan diserahkan paling lambat awal Desember 2017, karena harus dicetak lebih dahulu.
•Para Pemenang Utama dan Pemenang Karya Unggulan harap mengirimkan selembar foto pose menarik untuk dimuat di buku dan alamat jelas disertai Nomor Telepon/HP/WA yang mudah dihubungi, kirimkan melalui e-mail: rayakultura@gmail.com

Selamat untuk para penulis yang karyanya terpilih sebagai pemenang utama maupun unggulan.Mari, kita terus menulis untuk pencerahan dan prestasi!

Jakarta, 30 Juli 2017
Salam Pena,

Yeni Fatmawati
Pemrakarsa

Naning Pranoto
Ketua Pelaksana Lomba

Ini Dia Pemenang Lomba Menulis Kisah Buruh Migran Indonesia – KRJogja

$
0
0

Karya berjudul Minoritas Tingkat Tiga karya Erin Cipta dari Cilacap Jawa Tengah menjadi Pemenang I Lomba Menulis Kisah Berhikmah Buruh Migran Indonesia (BMI) – Tingkat Internasional. Erin yang pernah bekerja sebagai perawat lansia tahun 2012-2015 di Taiwan ini berhak atas hadiah uang tunai Rp 5 juta, piagam penghargaan dan buku hasil lomba.

“Lomba yang dibuka 1 April dan ditutup 1 Juli 2017 ini diikuti oleh peserta BMI Formal maupun BMI Nonformal, berkisah tentang pengalaman kerja mereka di wilayah Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Riyadh, Belanda, Dubai, Australia-Amerika dan New Zealand,” kata Ketua Pelaksana Lomba Naning Pranoto kepada KRjogja.com, Minggu (30/07/2017).

Menurut Naning Pranoto acara yang diselenggarakan ICLaw ini diikuti bukan hanya oleh BMI yang sedang bekerja di luar negeri, tapi juga BMI yang telah kembali ke tanah air. Kisah berhikmah yang mereka tulis isinya sangat bernas beragam. Selain mengundang haru, menggetarkan jiwa, takjub, mencahaya, komedi dan kisah tentang buah manis kerja keras.

Ada juga kisah persaingan sengit, kecemburuan cinta dan sosial. Kerinduan mendalam pada keluarga yang terbentengi jarak jauh serta tragedi hinaan yang merendahkan harga diri dan siksaan yang melukai tubuh.

“Tulisan para BMI yang memenangi lomba ini bisa dijadikan guru kehidupan yang mengedukasi menjadi manusia jujur, religius, pemicu etos kerja, menumbuhkan toleransi dan kasih sayang. Serta memahami apa arti bekerja secara professional untuk keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan jiwa dan raga,” ujar Naning Pranoto.

Ia menambahkan tulisan para BMI ini juga sangat bermanfaat sebagai panduan otentik bagi siapa saja yang ingin bekerja di Luar Negeri sebagai BMI Formal (bekerja di perusahaan/lembaga) maupun BMI Nonformal (bekerja di lingkup domestik/rumah-tangga).

Lomba yang digagas oleh Yeni Fatmawati Fahmi Idris, Managing Partner ICLaw selaku pemrakarsa lomba bertujuan menumbuhkan minat menulis dan menyuburkan perkembangan gerakan literasi bagi BMI di mana pun berada. Dewan Juri yang diketuai Naning Pranoto dengan anggota Adri Darmaji Woko, Didien Pradoto, Shinta Miranda, Yeni Fatmawati dan Yeni Mulati Achmad (Afifa Afra) memutuskan karya tulis yang menjadi pemenang sebagai berikut:

Pemenang 1 – Judul Minoritas Pangkat Tiga karya Erin Cipta, Cilacap Jawa Tengah. Ia pernah bekerja sebagai perawat lansia di Taiwan tahun 2012 – 2015. Ia berhak mendapat Hadiah Uang Tunai Rp 5.000.000,00, Piagam Penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan Buku Hasil Lomba.

Pemenang 2 – Judul Habis Gelap Terbitlah Terang Bagi BMI di Negeri Ginseng karya Hasan Sanusi. Saat ini ia bekerja dan kuliah di UT Korea Selatan, bermukim di Daegu Korea Selatan hingga Oktober 2018, sesuai dengan kontrak kerjanya. Ia berhak mendapat Uang Tunai Rp 3.500.000,00, Piagam Penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan Buku Hasil Lomba.

Pemenang 3 – Judul Kisah Tentang Meramu Kepercayaan karya Etik Purwani, Blitar Jawa Timur. Ia pernah bekerja di Singapura dan Hong Kong. Atas kemenangan karyanya berhak mendapat Hadiah Uang Tunai Rp 2.500.000,00, Piagam Penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan Buku Hasil Lomba.

Karya tulis yang terpilih sebagai 22 Karya Unggulan, masing-masing mendapat Piagam Penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan Buku Hasil Lomba. Pengumuman lengkap dapat diakses di www.rayakultura.net. (Apw)

Sumber: KRJOgja.com

MINORITAS PANGKAT TIGA

$
0
0

Oleh Erin Cipta

Ni te yi kong se ce me le ? Aku sedang bercerita tentang selamatnya nyawaku dari maut, mengapa ia malah mengucapkan doa untuk membunuh? Jahat sekali.”
Lelaki itu tampak gusar bertanya pada Tuanku.
Tuanku tampak agak terkejut. Aku terperangah, tak menyangka pekikanku menimbulkan reaksi demikian. Kami berdua – aku dan tuanku, was-was menatapnya.
*
Seumur hidupku tinggal di Jawa Tengah, aku selalu menjadi kaum kebanyakan. Aku suku Jawa, muslim, dan miskin. Orang macam aku ini menyesaki kampung yang kutinggali, memenuhi deret daftar warga dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, sampai provinsi. Aku adalah bagian dari kaum mayoritas yang dominan.
Karena mayoritas, aku sering merasa superior. Pada banyak perkara, urusanku sangat tertolong dari statusku yang demikian. Jika kemudian aku sering kesulitan dalam beberapa hal, kebanyakan itu karena status terakhirku: miskin!
Maka sungguh tak terbayangkan ketika akhirnya aku terlempar ke sebuah negara, ribuan kilometer jauhnya dari Tanah Jawa dan seketika statusku menjadi sangat berbeda. Aku adalah satu-satunya muslim di keluarga majikanku yang kristen. Keluarga majikanku ini adalah satu-satunya keluarga kristen di lingkungan budha.
Aku menjadi minoritas pangkat tiga. Sebelum ke sini, aku sudah mendengar cerita tentang betapa sulitnya menjadi seorang muslim di Taiwan. Kawan-kawanku sesama calon pekerja rumah tangga di penampungan biasa saling berbagi cerita. Biasanya, kami yang baru, belum pernah bekerja di Taiwan, akan duduk meriung mendengarkan cerita para mantan pekerja yang akan kembali bekerja di negara Pulau Daun itu.
“Dulu, jangankan untuk salat, aku bahkan kesulitan makan makanan yang terbebas dari babi. Majikanku sangat ketat mengawasiku bekerja, badanku hampir selalu terkena najis karena anjing mereka berkeliaran di dalam rumah, kakek yang kurawat ngompol melulu. Aku hanya bisa mandi jika malam datang. Aku makan apa yang mereka sediakan saja. Mereka selalu makan daging babi. Meskipun aku tak makan dagingnya, tapi minyaknya mengandung babi, alat masaknya bercampur dengan yang digunakan untuk memasak babi, dan aku tak bisa apa-apa menghadapinya,” cerita seorang kawan.
Kami bergidik ngeri. Dadaku berdesir-desir mengingat amanat almarhum bapak untuk menjaga perutku dari masuknya makanan-makanan haram. Jangankan yang sudah jelas-jelas haram macam daging babi itu, makanan halal yang cara mendapatkannya tidak halal saja bapak dengan keras melarangku untuk menelannya.
“Kasihan sekali kamu, ya … Aku dulu bisa memilih makananku sendiri karena bisa membeli makanan dari luar. Aku bisa beli ayam atau ikan goreng sendiri. Tapi itu pun tak menjamin bisa membebaskanku dari babi. Aku tak yakin dengan bahan yang digunaan para pedagang itu. Agak lama aku baru bisa berpikir tentang ayam yang sudah bertahun-tahun kutelan. Ayam itu tak pernah disembelih dengan bismillah … Lha, bagaimana mau bismillah, tukang jagalnyna saja bukan muslim,” timpal seorang kawan yang lain.
Cerita yang kedua kami sambut dengan tawa cekikikan. Cerita ini sama mirisnya, tapi tidak semuram cerita pertama.
Masih banyak lagi cerita tentang kesulitan menjalankan ibadah di Taiwan. Cerita terlazim adalah sulitnya kami memakai pakaian yang menutup aurat dan mencari tempat untuk mendirikan salat. Kebanyakan majikan menginginkan pekerjanya bekerja cekatan dan bersih. Untuk itu biasanya mereka lebih menyukai kami bekerja dengan pakaian yang ringkas dan praktis. Menurut mereka, pakaian panjang dan penutup rambut hanya akan menggangu pekerjaan saja. Terutama pada musim panas.
*
Langkah pertamaku di Taiwan menapak dengan kaki gemetar. Demi lancarnya semua urusan, kutanggalkan penutup rambut. Kikuk rasanya, tapi apa boleh buat. Masih beruntung, agen mengijinkan aku mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang.
Hatiku mengembang ketika di tempat cek medikal, aku melihat ada pekerja Indonesia yang berkerudung. Ia bukan pekerja baru, melainkan sudah dua setengah tahun bekerja. Diam-diam aku mendekatinya dan bertanya;
“Mbak, boleh pakai kerudung, ta?”
“Asal tak menggangu gerak saat bekerja, majikanku membolehkannya,” jawabnya dengan senyum yang menenangkan.
“Tapi tak semua majikan mengizinkan,” lanjutnya.
Senyumnya masih ada, tapi ketenangan yang tadi sempat ada, hilang.
Soal penutup aurat, aku pasrah. Aku sudah sampai di tanah orang, mundur pun bukan hal yang mudah dilakukan. Sungguh aku bukan hendak membenarkan seorang pekerja perempuan membuka aurat di Taiwan hanya karena hampir semua melakukannya. Bukan. Aku hanya tak tahu harus bagaimana lagi.
Di rumah tempatku bekerja, aku disambut ramah oleh seorang nyonya yang terlihat lebih muda dari usianya—70 tahun. Tugasku adalah merawat seorang tuan, yang terlihat setua usia sebenarnya—82 tahun, menderita sakit jantung. Pasienku masih bisa melakukan banyak hal sendiri, termasuk mandi, namun perlu selalu diawasi dan ditemani karena gerakannya lamban dan nyaris selalu butuh bantuan. Tentu saja, segala pekerjaan rumah menjadi tanggung jawabku juga.
Kami hanya tinggal bertiga di hari-hari biasa. Rumah besar tempatku bekerja hanya akan ramai pada akhir pekan oleh kedatangan anak dan cucu majikanku. Ini adalah keluarga yang hangat dan ramah. Aku merasa beruntung bekerja di sini karena mereka memperlakukanku dengan baik sekali.
Kecemasanku soal ibadah sudah hilang sejak hari pertama. Nyonya tak melarangku salat. Bahkan ia menyediakan tempat di dekat ruang laundry yang harus kubersihkan dan kujaga sendiri dari masuknya anjing piaraan mereka.
“Kamu muslim, kan? Itu tempatmu ibadah. Jika kamu tak makan babi, kamu boleh makan dengan bahan vegetarian yang sama seperti Tuan. Bekerjalah dengan baik. Rawat Tuan seperti ayahmu sendiri,” ucap Nyonya.
Hamdalah terucap ribuan kali dalam gumam dan dalam hati. Aku merasa sangat lega. Aku tahu pekerjaanku kelak akan sangat berat, namun kebebasan beribadah yang diberikan majikanku memudahkan semuanya.
Meski pada prakteknya aku sering tak bisa salat tepat waktu karena hampir setiap waktu magrib datang bersama dengan segala kesibukan yang menerjang, namun aku masih bisa menegakkannya lima waktu sehari semalam. Sering kali pula salatku hanya sekadar menggugurkan kewajiban karena Tuan tak bisa lama-lama ditinggal sendirian. Aku merasa harus bersyukur. Kawan-kawanku banyak, bahkan tak bisa sekali pun mendirikan salat.
Tak perlu terlalu lama ketika akhirnya aku bisa kembali menutup rambutku. Menutup auratku. Memang tak sempurna seluruhnya, tapi yang penting aku masih bisa menggenggam identitasku sebagai muslim tanpa membuat keluarga majikanku terganggu.
Begitu juga di lingkunganku. Kerudung di kepalaku memang masih sering membuat para tetangga bertanya apakah aku tidak kepanasan, atau apakah aku bisa bekerja dengan nyaman, namun mereka tak mengubah perlakuan baik mereka padaku karenanya. Mereka tetap menyapa saat berpapasan di taman atau di pasar. Aku juga tetap menyapa anjing kesayangan mereka, meski tak menyentuhnya. Bahkan pada perayaan-perayaan ibadah tertentu ketika mereka mempunyai banyak makanan, aku kerap diberinya pula.
Kami hidup saling menghormati di sini. Selama kami saling bersikap baik satu sama lain, kami tak perlu bertanya agama kami apa.
*

Hingga pada suatu hari di musim dingin, Tuan kedatangan seorang kawan lama. Ia bukan orang Taiwan, melainkan warga Cina Daratan. Usianya sedikit lebih muda dari Tuan, namun kesehatannya jauh lebih baik dibanding Tuan. Ia masih bisa bepergian sendirian.
Layaknya dua kawan lama, pertemuan mereka tak cukup sebentar. Tamu Tuan hampir seharian berada di rumah ini. Segala hal mereka ceritakan bergantian tak bosan-bosan. Keadaan seperti ini tentu saja membuatku sering terlibat di antara mereka, karena Tuan harus minum obat, dipijat, bahkan kubersihkan kukunya sesuai jadwalnya. Maka aku ikut pula mendengar banyak cerita hari itu.
Satu cerita yang paling menarik perhatianku adalah pengalaman kawan Tuan sekitar sebulan yang lalu.
“Sebenarnya aku sudah hampir mati sebulan yang lalu,” kisahnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Tuan antusias.
Aku yang sedang membersihkan kuku Tuan turut memperhatikan.
“Engkau tahu bulan lalu ada pesawat yang kecelakaan di sungai Keelung?” lanjut lelaki itu.
Tuan mengangguk-angguk. Ingatanku pun terlempar pada peristiwa kecelakaan pesawat di sungai Keelung Taipei, yang bulan lalu kulihat beritanya berulang-ulang di televisi.
“Aku ada di pesawat itu, duduk di kursi bagian depan. Pesawat itu take off dengan lancar tanpa gangguan, tapi hanya sebentar saja terbang, ada bunyi aneh dari mesinnya,”
Lelaki itu menegakkan badan dan sangat serius bercerita. Tuan pun ikut menegakkan badan, serius sekali mendengarkan. Aku menghentikan gerakan tanganku. Gunting kuku kugenggam erat, dan badanku mematung.
“Pesawat oleng ketika belum sempurna naik. Kami semua menjerit, menundukkan kepala dan mengencangkan sabuk pengaman. Aku bisa merasakan betul pesawat menukik kembali ke bumi, membentur entah apa, dan akhirya menghantam air. Kejadiannya cepat sekali. Aku tak sempat berbuat apa-apa ketika air masuk ke dalam dan mulai menenggelamkan badanku yang terikat sabuk pengaman di kursi. Aku panik sehingga tak tahu bagaimana melepaskan sabuk itu. Entah berapa banyak air sungai yang dingin sudah kuminum dan masuk paru-paruku. Rasanya aku mau mati saat itu.”
“Tapi tiba-tiba badanku terangkat dari air, tak lagi tenggelam. Aku tak bisa melihat apa-apa, bisa bernapas kembali meski sambil terbatuk-batuk. Rupanya pesawat yang tadi menukik ke sungai dan tenggelam bagian depanya, pelan-pelan terangkat dan berganti bagian belakang yang tenggelam karena lebih berat. Aku selamat. Aku tak mati!”
Cerita itu sungguh membuat dadaku bergemuruh. Sepanjang ia bercerita, aku tercengang takjub mengetahui betapa dekatnya maut pada orang yang saat ini masih kulihat segar bugar di hadapanku.
“Allahu Akbar!”
Aku spontan memekik. Sungguh ini ucapan reflek karena mulutku memang sangat terbiasa mengucap takbir tanpa berpikir.
Lelaki sipit yang masih serius itu tiba-tiba menoleh padaku dengan pandangan aneh. Ia nampak heran.
“Ni te yi kong se ce me le? Aku sedang bercerita tentang selamatnya nyawaku dari maut, mengapa ia malah mengucapkan doa untuk membunuh? Jahat sekali.”
Lelaki itu tampak gusar bertanya pada Tuan.
Tuanku tampak agak terkejut. Aku terperangah, tak menyangka pekikanku menimbulkan reaksi demikian. Kami berdua – aku dan tuanku, was-was menatapnya.
Kami sadar ada kesalahpahaman. Tapi aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Untung Tuan lekas tanggap, segera berusaha memperbaiki keadaan.
“A Ling, kamu itu barusan mengucapkan apa?” tanya Tuan pelan.
“Oh, maaf, itu takbir – kalimat agung dalam agamaku,” jawabku terbata-bata.
“Bukannya itu doa untuk membunuh? Aku sering mendengarnya di televisi orang-orang islam mengucap kalimat itu sebelum menyembelih musuhnya?!” Agak sengit lelaki itu menyergah.
“Oh, tidak. Tidak begitu, Tuan. Itu kalimat yang kami gunakan untuk mengagungkan Tuhan kami,” jawabku panik.
Seumur hidupku, baru kali ini aku begitu panik dan malu ketika seseorang beranggapan salah tentang keyakinanku. Aku merasa tak bisa membela diri lebih jauh karena tak ada yang bisa kujelaskan pada orang asing itu tentang kalimat takbir selain makna harfiahnya. Aku tak bisa menyangkal bahwa pada faktanya memang ada orang-orang yang mengaku islam, membunuh sembarang orang yang tak sesuai dengan mereka, sambil takbir berulang-ulang. Aku tahu mereka ada. Seluruh dunia juga tahu, karena mereka gemar sekali mempertontonkan kekejian mereka.
“A Ling, apakah ada kalimat lain yang bisa kamu gunakan untuk mengagungkan Tuhanmu selain kalimat itu?” Tuan memecah kepanikanku.
“Ya, Tuan. Ada. Aku bisa mengucap – Subhanallah.” kujawab lirih dengan sisa-sisa keberanianku.
“Ya, lain kali, kamu pakai itu saja supaya kawanku ini tidak ketakutan. Ha ha …” Tuan mencoba mengembalikan suasana yang sempat canggung akibat salah paham kami.
Dua lelaki tua di hadapanku kembali tenggelam dalam cerita seru dan menyenangkan. Sedangkan aku berusaha cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku memotong kuku Tuan supaya lebih cepat menyingkir dari hadapan mereka.
Sungguh perasaanku campur aduk tak keruan. Selama ini aku telah berhasil bekerja di keluarga dan lingkungan ini dengan baik tanpa melepaskan identitasku sebagai Muslim. Keluarga kristen ini tak pernah mempermasalahkan apa yang aku yakini dan sembah meski aku beribadah di rumah mereka. Lingkunganku juga tak pernah mengucilkan meski aku dan keluarga majikanku tak pernah ikut mereka berbondong-bondong ke kuil ketika ada acara peribadatan bersama. Kami berdiri di atas keyakinan kami masing-masing dengan damai, tanpa saling menyesatkan.
Hari ini seseorang menganggapku jahat hanya karena aku mengucap takbir. Anggapan itu muncul bukan karena kesalahanku, melainkan karena tindakan keji orang-orang yang tak aku kenal di belahan bumi lain, yang semena-mena memekik takbir sambil membunuh sesamanya.
Sungguh aku sedih dan malu.
Tapi peristiwa ini juga membuatku makin yakin untuk terus bersikap baik pada orang lain, tanpa peduli apa keyakinannya. Aku merasa tak bisa membelai islam lebih baik selain dengan membuat orang merasa nyaman berada di dekatku yang seorang muslim.
*
Erin Cipta, nama aslinya Erin Sumarsini. Perempuan kelahiran 16 April 1979, saat ini tinggal di Desa Karangjati, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Menjadi ibu dari dua anak gadis, bertani, dan mengelola perpustakaan untuk umum di rumah, serta menjalankan sebuah perpustakaan bergerak menggunakan motor. Pernah bekerja menjadi perawat lansia di Taiwan tahun 2012 – 2015. Sesekali menulis untuk media massa dan mengikuti lomba, beberapa di antaranya berhasil dimenanginya. Pernah menulis sebuah novel yang diterbitkan oleh Diva Press Yogjakarta berjudul Carlos, Seekor Anjing Sebuah Kehidupan.

HABIS GELAP TERBITLAH TERANG, BAGI BMI DI NEGERI GINSENG: DAEGU

$
0
0

Oleh Hasan Sanusi

Perkenalkan nama saya Hasan Sanusi, salah seorang Buruh Migran Indonesia (BMI) yang sekarang masih terikat kontrak dengan salah satu perusahaan di Deagu, Korea Selatan. Sebagai pekerja yang berpengalaman dan telah dua periode terikat kontrak bekerja di Korea Selatan, melalui tulisan ini saya untuk berbagi cerita tentang suka dukanya menjadi seorang BMI Indonesia yang bekerja di bidang pembuatan plastic injeksi molding(PIM) atau cetakan plastik injeksi .
Sebelum melanjutkan kisah hidup saya di negeri Ginseng, terlebih dahulu saya mendefinisikan BMI. Buruh Migran (Migrant Workers) atau tenaga kerja di luar negeri adalah salah satu sektor di mana perdagangan orang terjadi. Dengan kata lain kasus perdagangan orang terjadi dalam konteks menjadi migran. Di negara kita, pengertian ini merujuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dalam konteks keseluruhannya, buruh migran atau TKI merupakan para pekerja yang berstatus warga negara, baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu.
Pada dasarnya, sebagai warga negara yang mencoba keberuntungan mencari kerja, pekerjaan kami biasanya ditentukan melalui penempatan kerja dan disesuaikan dengan kontrak kerja yang telah disepakati bersama sebelumnya. Seperti halnya yang saya ceritakan dalam tulisan ini tentang prosedur yang saya lewati, suka duka menjadi BMI dan hasil kerja keras dari negera tempat bekerja yang sudah saya investasikan saat ini.
Kisah perjalanan kehidupan ketika menjadi BMI atau TKI di negara Ginseng ini saya menggunakan judul buku dari pemikiran RA. Kartini yaitu “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Hal ini karena, pengalaman-pengalaman ketika menjadi BMI di Korea Selatan tersebut telah membuka pola pikir saya dalam menentukan cara pandang dan sikap yang lebih baik lagi di masa depannya dibandingkan dengan awal saat pertama menerjunkan diri mengambil jalur pekerjaan tersebut. Sehingga kekeliruan pemikiran yang dangkal tentang prosedur menjadi TKI ketika berangkat pada periode pertama yang saya jalani, saya umpamakan seperti kegelapan yang menyelimuti diri. Sedangkan periode selanjutnya ketika saya kembali menjadi TKI namun dengan misi yang berbeda menjadi titik cahaya terang yang mulai menyinari kehidupan saya hingga saat ini.

Bermodal Ijazah SMK dan Ditipu Calo

Awal periode pertama menjadi TKI bukanlah hal dapat saya predikasi saat itu. Tepatnya, sekitar tahun 2008 silam, saya merupakan salah seorang pemuda yang baru menamatkan sekolah kejuruan, SMK. Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara dan baru lulus dari salah satu SMKN di Cirebon, tidak menjadikan dirinya sebagai pemuda yang manja dan bergantung kepada saudara saudaranya. Ketika anak seusia saya berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi, kala itu saya justru berkeinginan keras untuk bisa segera bekerja.

Berawal dari banyaknya penduduk kabupaten daerah asal yaitu Cirebon yang merupakan salah satu wilayah pengirim TKI terbanyak di Indonesia, membuat saya ikut tergerak mencoba keberuntungan mencari rejeki lewat jalur tersebut. Pada realitasnya BMI atau TKI asal daerah saya ini selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Seperti yang dilaporkan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon angka TKI tahun 2012 yang awalnya hanya mencapai 9.768 orang kini menurut catatan BNP2TKI tahun 2014 telah mencapai 15.786 orang. Dengan latar belakang meningkatnya jumlah TKI yang signifikan seperti sekarang inilah yang akhirnya membuat saya mendapatkan banyak dorongan dan motivasi dari beberapa orang terdekat yang telah lebih dahulu menjadi BMI atau TKI ini saat itu untuk menempuh jalur tersebut.

Salah satu daerah tujuan kebanyakan BMI atau TKI dari Cirebon adalah Korea Selatan. Mengapa? Karena, Korea Selatan merupakan negara tujuan yang sangat menjanjikan hasil pendapatan kerja dibanding dengan negara lainnya. Contohnya, upah minimum Korea Selatan tahun 2017 rata-rata mematok sekitar 1.375.000 Won yang kurang lebih setara dengan 16 juta rupiah per-bulan. Selain itu, rata-rata perjanjian kerjasama yang dibuat biasanya ada yang dibayar 18 juta hingga 20 juta rupiah perbulannya. Apabila ditambah lembur bisa mencapai 30 juta rupiah perbulan. Dengan alasan inilah yang menjadikan Korea Selatan sebagai tujuan saya bekerja di Negeri Ginseng itu.

Pada awal muncul keinginan saya berangkat ke Korea Selatan, saya berkenalan dengan salah satu calo penyalur TKI ke berbagai negara. Dari perkenalan tersebut saya ditawari bekerja ke Korea Selatan lewat jalur calo tersebut. Syaratnya, harus membayar uang sejumlah 10 juta rupiah agar dijamin bisa berangkat menjadi TKI. Karena ketidakmengertian tentang prosedur menjadi TKI tersebut, saya pun mengambil tawaran itu. Langkah pertama yang saya lalui waktu itu adalah diminta mengambil kursus bahasa Korea disalah satu lembaga kursus di Cirebon selama satu bulan dengan modal sendiri. Hal ini dilakukan agar bisa lulus tes KLPT (Korean Language Proficiency Test). Dari sinilah saya mulai menyadari bahwa saya ditipu calo tersebut. Setelah lulus tes ternyata saya harus mengajukan lamaran ke BNT2TKI secara mandiri tanpa jalur calo tersebut. Sambil menunggu keputusan kontrak kerja yang diterbitkan oleh BNP2TKI diumumkan, saya dipekerjakan di lembaga kursus bahasa asing ini tanpa gaji. Benar-benar penipuan yang telak bagi saya waktu itu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula sudah di tipu 10 juta dimanfaatan juga tenaganya oleh pihak calo tersebut. Padahal untuk pengajuan lamaran menjadi TKI ke Korea Selatan ini memang harus dilakukan secara mandiri dan biaya yang dikeluarkan untuk kepengurusannya juga hanya seperempat dari biaya yang saya berikan ke calo tersebut.

Antara Gelap dan Terang

Pada akhir tahun 2008 setelah dinyatakan lulus dan mendapatkan SLC (Standard Labour Contract) dari HRD Korea, saya dikarantina untuk menjalani proses PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan) terlebih dahulu selama dua minggu sebelum akhirnya berangkat kerja ke Korea Selatan. Prosedur ini merupakan alur yang harus ditempuh oleh para TKI legal demi terwujudnya tenaga kerja yang berkualitas dan bermartabat di negara tujuannya nanti. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 39 tahun 2004 di pasal 31, 69, dan 95. Dimana disebutkan bahwa PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan) bagi calon TKI adalah bentuk tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pemahaman dan bekal bagi calon TKI, agar mempunyai kesiapan mental dan tambahan wawasan untuk bekerja keluar negeri.

Setelah melalui prosedur di Indonesia selesai, saya diterbangkan ke Korea Selatan. Sesampainya di Korea Selatan, sebelum bekerja di perusahaan, seluruh TKI wajib mendapatkan pembekalan di Anseong Traning Center. Sebelum di tempatkan di pabrik yang merekruit sebagai pekerjanya, saya diberi pembekalan tentang budaya, dan etos kerja di Korea Selatan serta sistem keselamatan kerja. Setelah itu barulah saya dijemput oleh pihak perusahaan yang merekruit saya.

Pengalaman pahit yang harus saya telan ketika pertama kali menjadi TKI di negeri Ginseng tersebut. Pertama kalinya ditempatkan di perusahaan produksi kardus di kota Gwangju Provinsi Gyeonggido. Sebelum sampai di Korea Selatan, saya sempat membayangkan bahwa pekerjaan di pabrik negara maju ini tempatnya bersih dan bagus. Namun ternyata dalam realitanya perusahaan tempat awal bekerja ini jauh dari ekspektasi yang saya bayangkan. Tempatnya kumuh, pekerjaannya sangat berat. Selain itu, adanya sikap yang tidak bersahabat yang ditunjukan oleh orang-orang korea pada TKI yang juga bekerja di tempat tersebut. Dengan kondisi lapangan yang seperti itu, akhirnya saya putuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan tersebut.

Selang beberapa hari kemudian, setelah mendapatkan file dari Depnaker Korea Selatan saya mendapatkan pekerjaan baru, di bidang industri pembuatan label untuk merek-merek seperti Nike, Adidas dan lain sebagainya. Lokasi tempat saya bekerja tidak jauh dengan perusahaan yang lama. Kondisi di perusahaan baru ini sangat berbanding terbalik dengan tempat pertama saya bekerja, membuat saya betah bekerja di perusahaan ini. Sayangnya, saya mendapatkan cobaan hidup yang sangat berat setelah sebulan bekerja di perusahaan tersebut. Hal terpahit yang harus saya alami dalam hidup saya yaitu menginggalnya bapak saya. Kesedihan yang mendalam tidak dapat menyaksikan pemakaman bapak saya membuat saya tenggelam dalam kedukaan. Sebagai pengobat perasaan bersalah terhadap almarhum bapak, akhirnya saya pulang kampung setelah dapat mengambil cuti di tahun ketiga bekerja pada perusahaan tersebut.

Hikmah Terserang ‘Demam’ Korean-Wave

Sebelum menyelesaikan kontrak kerja selama empat tahun 10 bulan untuk periode pertama akhir tahun 2012, saya mengalamai pengalaman hidup yang jadi pembelajaran agar tidak terulang dimasa depan. Jiwa anak muda yang mengalir di dalam diri saat itu membuat saya sangat labil dengan budaya kebebasan yang di Korea Selatan ketika periode awal menjadi TKI. Gaya hidup Korean Wave (Ke-Koreaan) pun saya ‘menyerang’ saya dan saya lakoni kala itu. Berpesta saat liburan kerja dan berjudi bola saya lakukan. Untunglah saya cepat menyadari bahwa apa yang saya lakukan adalah suatu kesia-siaan dan berdampak negatif bagi masa depan saya..

Setelah kontrak kerja selesai, saya putuskan untuk tidak memperpanjangnya dan kembali ke Indonesia dengan mencoba keberuntungan baru. Saya membuka usaha warnet dan konter HP bersama teman saya dengan modal dari hasil kerja saya di Korea Selatan. Selain itu saya juga membeli sebuah rumah di daerah Cikarang. Namun usaha yang kami rintis itu gulung tikar, karena minimnya pengetahuan saya membaca pasar. Kemudian saya putuskan untuk menjual usaha saya dan rumahh saya pada kerabat dekat relasi saya.

Dengan gulung tikarnya usaha yang saya rintis tersebut, akhirnya saya putuskan untuk kembali bekerja ke Korea Selatan. Pada periode keberangkatan kedua ini saya berniat bermisi berbeda dari periode sebelumnya. Yaitu selain bekerja bertujuan mengumpulkan modal untuk usaha, saya juga berkeinginan bisa mengecam bangku pendidikan perguruan tinggi di Korea Selatan. Misi yang baru dan berbeda dari sebelumnya menjadikan saya semakin semangat berusaha ekstra agar bisa kembali menjadi TKI di Negeri Ginseng.

Melalui jalur EPS-TOPIK CBT saya mengajukan lamaran kerja ke BNP2TKI untuk berangkat kembali menjadi TKI ke Korea Selatan. Bulan Oktober 2013 menjadi periode kedua keberangkatan saya menjadi TKI di Korea Selatan. Saya di tempatkan di perusahaan pembuatan plastic injeksi molding(PIM) atau cetakan plastik injeksi tepatnya di Daegu, Korea Selatan. Sambil bekerja pada saat hari libur kerja saya aktif di Migrant Center kota Daegu untuk mendalami bahasa Korea. Migrant Center ini merupakan lembaga sejenis LSM Korea yang diperuntukan bagi orang asing yang datang ke Korea Selatan dan ingin mengenal lebih dalam tentang bahasa Korea. Lembaga ini juga mengajarkan cara beradaptasi dengan budaya hidup di negara tersebut. Selain itu di waktu libur kerja saya juga aktif di bidang keagamaan, sering mengikuti beberapa kegiatan pengajian di musolah Al-Amin, Daegu dan beberapa seminar wirausaha yang diadakan oleh Kedutaan Besar Indonesia.. Sehingga aktivitas liburan sangat bermanfaat. Akhirnya pada tahun 2015 saya mendapat kesempatan melanjutkan studi di perguruan tinggi sesuai dengan misi saya.

Menjadi Mahasiswa di Yeungnam University

Tepatnya pertengahan tahun 2015, saya mendaftarkan diri menjadi peserta didik baru di Universita Terbuka Indonesia Cabang Korea Selatan yang berlokasi di Yeungnam University. Setelah berganti status menjadi TKI sekaligus mahasiswa di UT cara pandang saya tentang konsep hidup dan prilaku semakin terbuka. Pola pikir yang dulu tentang bekerja untuk berfoya-foya dan memenuhi kebutuhan hidup saat itu akhirnya saya tinggalkan. Kini cara pandang diri semakin matang dan penuh perhitungan tentang keuntungan dan kerugian yang akan saya petik di masa depan.. Seperti dalam makna detailnya menurut KBBI tentang arti pendidikan itu sendiri. Dimana pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata kelakukan seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;seperti proses, cara dan perbuatan mendidik.

Meskipun kegiatan ini, membuat saya harus bekerja ekstra dan mendapatkan sedikit liburan kerja namun perkuliahan di UT Cabang Korea Selatan tersebut lebih banyak membawa kebaikan untuk kehidupan saya sekarang ini. Di UT selain mendapatkan pengetahuan dasar tentang manajemen dan sistem usaha secara akademisnya, saya juga mendapatkan banyak pengalaman, peluang usaha, serta relasi baru untuk memulai investasi masa depan yang lebih baik dari pada sebelumnya. Di samping bekerja di perusahaan dan aktif di kegiatan kemahasiswaan saya pun aktif di KIMCHI( Komunitas Ciledug ) sebuah paguyuban TKI dari kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon. Saya ikut menginisiasi lahirnya paguyuban ini sebagai wadah silaturahmi BMI dari Ciledug, juga tempat berkumpulnya ide –ide brilian untuk kemajuan daerah asal.

Hingga saat ini, saya telah mampu menginvestasikan hasil keringat saya dalam bentuk asuransi, investasi modal usaha, investasi pendidikan, investasi rumah baru, depot air dan lain sebagainya. Sehingga dengan adanya usaha ekstra yang dilakukan ini, setelah berakhirnya kontrak tanggal 25 September 2018 nanti saya berharap sekembalinya ke Indonesia bisa membangun usaha yang lebih mapan lagi, jauh dari penipuan serta bisa tetap melanjutkan kuliah meskipun harus pindah rayon. Agar di kemudian hari saya tidak perlu kembali bekerja menjadi TKI di negara orang hanya demi mencari sesuap nasi.

Menghindari Deportasi

Melalui kisah perjalanan saya menjadi TKI selama dua periode keberangkatan ini semoga pembaca dapat mengambil hikmah agar tidak mudah tergiur dengan iming-iming para calo. Saran saya, jika ingin bekerja di luar negeri lebih baik mengajukan lamaran pekerjaan melalui lembaga resmi pemerintah seperti BNP2TKI. Tujuannya, agar keberangkatan Anda untuk bekerja keluar negeri menjadi legal dan dilindungi oleh hukum negara asal. Karena, para TKI yang tidak memiliki izin resmi dari negara asal untuk bekerja di luar negeri akan mendapatkan sanksi berupa kurungan penjara sebelum di deportasi. Selain itu juga keamanan hidupnya di negara tempat bekerja tidak dijamin oleh negara.

Hal lain yang juga bisa menjadi pembelajaran hidup dari kisah saya ini yaitu tentang cara melakukan penataan kelolah usaha haruslah dipikirkan matang-matang dan memperhatikan kondisi iklim ekonomi yang ada di sekitar tempat usaha. Mengetahui dasar tentang manajemen usaha yang jelas, sesuai dan tepat akan memudahkan kita untuk memajukan usaha tersebut. Sehingga tidak gulung tikar seperti yang saya alami.

Terakhir, bekerja selagi muda dan menginvestasikan hasil pekerjaan sedari dini merupakan langkah yang tepat untuk memanen hasil berupa masa depan yang cerah. Hal ini berbanding terbalik apabila kita bekerja selagi muda namun hasilnya hanya digunakan untuk berfoya-foya, tidak memberikan manfaat untuk masa depan. Karena membangun masa depan itu harus dilandasi dengan keinginan yang gigih dan usaha keras. Tanpa berusaha, hanya berwacana – hanyalah akan jadi mimpi bunga tidur saja.

*

Hasan Sanusi lahir di Cirebon, 3 Oktober 1987. Saat ini ia bekerja sambil kuliah di UT Korea Selatan, bermukim di Daegu Korea Selatan hingga Oktober 2018, sesuai dengan kontrak kerjanya.

KISAH TENTANG MERAMU KEPERCAYAAN

$
0
0

Oleh Etik Purwani

“Apakah benar usiamu baru delapan belas tahun, Etik? Kamu memalsukan umurmu untuk bisa bekerja di sini? Tolong jujur, karena kami tidak mau mempunyai pembantu di bawah umur!” berkata demikian Nyonya saya sembari berkacak pinggang, matanya melotot seperti mau copot. Ooh, jiwa saya tergoncang – hati saya juga serasa sedang dipanggang. Tentu saja saya kalang-kabut, karena memang benar usia saya di bawah standar legal untuk bekerja di Singapura.

Hukum ketenagakerjaan di Singapura memberlakukan bahwa untuk berkerja di negara ini, terutama untuk pekerjaan pembantu rumah tangga (PRT) dari Indonesia, usia saya seharusnya minimal di atas 21 tahun. Saya baru berusia 18 tahun kala pertama kali menginjakan kaki di Singapura. Itu, sekitar tiga bulan setelah saya menamatkan pendidikan SMA. Pengalaman saya dibentak majikan karena ketahuan memalsukan identitas, terjadi di bulan Oktober 2000. Bukan hanya tanggal lahir, tahun lahir, tempat di mana saya lahir, nama bapak saya, bahkan nama saya pun bukan milik saya yang sebenarnya.

Pemalsuan identitas saya, saya ketahui meskipun tidak sepenuhnya saya inginkan. Saya ingin bekerja di luar negeri karena saya ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dari jerih payah saya sendiri. Saya lahir dari keluarga yang tidak mampu menyekolahkan saya setinggi yang saya mau. Tapi saya memiliki tekad kuat bahwa saya bisa mewujudkan mimpi bersekolah di perguruan tinggi asalkan saya bisa bekerja ke luar negeri. Kenapa ke Singapura? Karena saya ingin lebih bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris sembari saya mengumpulkan uang dari hasil saya bekerja. Modal saya hanya tekad.

Ketika kedua orangtua saya juga heran, mengapa saya bisa bekerja di Singapura? Karena saya tidak memiliki pengalaman kerja sama sekali. Maka saya berbohong. Saya berusaha menyakinkan mereka bahwa bekal sedikit kemampuan berbahasa Inggris yang saya pelajari semasa sekolah merupakan bekal saya bekerja dan menyelamatkan saya di Singapura. Saya berusaha keras meyakinkan kedua orangtua saya bahwa saya adalah anak yang bisa dibanggakan. Sebagai seorang remaja yang lahir di masa ekonomi Indonesia yang serba sulit, sesungguhnya semangat berjuang saya mustinya bisa membuahkan piala – piala dalam mengatasi kemiskinan: mengapa disembunyikan? Itu pemikiran saya, barangkali benar?

Maka selepas senja seorang pria setengah tua datang ke rumah, mengatakan dirinya akan mampu membuat saya bekerja di negara Singapura. “Kalau tekadmu besar, maka tidak akan ada masalah. Umur delapan belas itu sudah cukup, saya pernah memberangkatkan anak ke luar negeri meskipun usianya baru lima belas tahun. Yang terpenting jangan mengaku pada siapa pun kalau usiamu masih kurang. Bapak dan Ibu, panjenengan juga tidak usah khawatir, semua orang bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Lha wong cuman pekerjaan pembantu saja lo; nyuci piring, ngepel, mosok tidak bisa? Asal punya tangan ya bisa itu. Bahasa Inggris yo tidak harus bisa, wong kerja itu yang diperlukan hanya tenaganya. Ndak butuh yang bisa ngoceh, pinter ngomel malah jadi tukang protes nanti. Malah jadi takut majikannya nanti.” Itu sebagian kalimat yang masih saya ingat, selebihnya saya hanya ingat kumis Pak Sponsor yang turun-naik karena saking semangatnya memprospek saya.

Maka ketika SMA saya belum pula mengeluarkan ijazah, Pak Sponsor sudah siap dengan nama palsu, alamat palsu, nama orangtua palsu dan semua dokumen palsu yang saya perlukan. Saya tidak berkesempatan untuk mempelajari identitas saya yang baru alias yang dipalsukan. Pak Sponsor hanya menyuruh saya berkemas dengan membawa beberapa potong baju saja. Ibu dan Bapak melepas kepergian saya dengan tangis yang berderai-derai. Saya berusaha tidak memikirkan apa pun, agar tidak merasa takut. Tekad saya sudah bulat bekerja di Singapura.

Pak Sponsor membawa saya ke Jakarta, menyerahkan dokumen dan diri saya pada seorang perempuan bernama Ratna dan saya memanggilnya Ibu Ratna. Ia yang kemudian memberikan informasi pada saya tentang nama lengkap, alamat baru, nama orangtua dan tanggal lahir saya yang palsu. Di dokumen palsu itu juga disebutkan bahwa saya tamat SMP. Saya juga diberitahu Ibu Ratna bahwa saya mempunyai pengalaman kerja sebagai PRT dan merawat anak kecil selama tiga tahun di Jakarta. Ibu Ratna bilang saya harus memahami informasi-informasi dan mengingatnya di luar kepala agar bisa bekerja ke luar negeri. Saya menurut saja, karena saya tidak ingin dikembalikan ke desa dan dianggap tidak bisa apa-apa bahkan untuk mengerjakan pekerjaan semudah jadi pembantu.

Ibu Ratna membawa saya ke PJTKI. Mereka langsung menolak saya ketika melihat KTP palsu dan mencocokkan dengan wajah saya. “Ini tidak bisa, Bu. Perusahaan saya bisa kena skors nanti. Wajahnya itu masih kanak-kanak.” demikian kata petugasnya. Saya melihat PJTKI yang kami datangi ini lumayan bagus dengan fasilitas yang lumayan komplit. “Yang emak-emak saja Bu, ya? Usia kita bisa atur, tapi wajahnya yang masih bisa mendukung gitu loh” tambahnya, ketika saya dan Ibu Ratna meninggalkan bangunan bercat hijau itu. PJTKI kedua juga menolak saya dengan alasan yang sama. Saya hampir patah hati.

“Jangan galau, nanti kita akan cari lagi PT yang bisa terima kamu. Masih bisa kok, asal kamu manut saya saja.” Kata Ibu Ratna. Saya hanya bisa mengangguk, bayangan takut dipulangkan dengan tangan hampa membuat saya harus menuruti kata-katanya.
“Begini, saya susah-susah begini nyariin anak biar bisa masuk PT, paling-paling kalau sudah sukses di luar, dia lupa sama saya.” Tiba-tiba Ibu Ratna ngomel.
Saya hanya membatin omongan orang yang pernah saya dengar, bahwa menjadi sponsor TKI pasti dapat uang imbalan dari PJTKI. Maka saya mulai mengandaikan berapa banyak kira-kira yang diterima Ibu Ratna jika ia berhasil memasukkan saya ke PJTKI?
“O, ya, nanti kalau masuk kantor PT lagi, jangan senyum-senyum jegigis ya, biar kelihatan agak tua.” Ibu Ratna menasihatiku. Dalam hati saya tertawa, lelucon yang lumayan menempel di memori otak lugu saya.

Saya kemudian berhasil masuk di sebuah PJTKI yang khusus memberangkatkan TKI ke Singapura. Saya bisa masuk dengan catatan mungkin akan butuh waktu lama untuk mendapatkan majikan karena wajah saya yang masih kanak-kanak. Kata staf PJTKI, saya akan ‘dituakan’ di PT. Ibu Ratna yang spontan tertawa ngakak, malah membuat saya melongo. Bagaimana kira-kira mengatur wajah delapan belas tahun menjadi terlihat seperti dua puluh satu tahun? Otak saya buntu memikirkan hal itu.

PT yang saya tempati ternyata hanya menampung saya belajar bahasa, makan, mandi dan tidur beralas tikar saja. Semua proses untuk memenuhi syarat bekerja ke luar negeri harus kami lakukan di luar PT yang kami tempati. Kami akan mendompleng PT lain yang lebih besar untuk keperluan ujian, pelatihan kerja, dan keperluan lainnya. PT yang saya tempati hanyalah ruko bertingkat tiga. Di lantai satu digunakan untuk dapur dan ruang makan, lantai dua digunakan sebagai kamar staf dan dua ruang kelas mini dan lantai tiga sebagai gelaran untuk tidur. Saya tidak tahu lokasi persis di mana ruko itu berada, yang saya tahu halaman belakang ruko ini dikelilingi pagar kawat berduri. Halaman depan yang tertutup jendela tinggi yang tidak bisa dibuka selalu terlihat sepi, hanya ada satu dua mobil milik bos PT yang terparkir. Dihuni oleh sekitar 30 calon TKI, PT ini adalah PT yang senyap.

Kegiatan di PT ini tidaklah banyak. Kami hanya belajar bahasa saja. Staf pengajarnya galak. Untuk makan, kami dilatih untuk makan sedikit, minum tidak manis dan sayur yang kurang garam. Kata staf PT itu semua pembatasan dimaksudkan untuk latihan kami, karena kata mereka majikan di Singapura tidak suka makanan yang bumbunya berasa. Kami harus membiasakan diri untuk mengikuti pola hidup, pola kerja, dan pola makan orang Singapura. Kami tidak pernah diizinkan sekalipun ke luar PT. Tidak ada acara sehari pun kunjungan keluarga untuk kami. Bila ada anggota keluarga yang memaksa untuk bertemu, kami hanya boleh dihubungi melalui pesan di secarik kertas di mana kertas itu harus dibaca oleh staf PT terlebih dahulu sebelum sampai ke tangan keluarga atau ke tangan calon TKI.

“Semua aturan ini untuk kebaikan kalian. Kalau melawan nanti kalian tidak sukses. Siapa yang rugi? Kalian ‘kan? Kalian ini semua orang miskin, kalau kita-kita kaya. Jika kalian tak berhasil di Singapura pun kita tidak rugi. Tahu? Tahu, ya?” kata pemilik PT ini suatu ketika. Saya membatin betapa menjadi orang miskin sangat tidak enak.

Untungnya, meskipun saya lahir di keluarga yang miskin dan harus melewati perjuangan yang bisa mematahkan semangat hidup, nasib saya masih diikuti oleh kemujuran. Selang dua bulan saya tinggal di PT semua proses keberangkatan saya sudah selesai. Saya juga terhitung sebagai calon TKI yang mampu berbahasa Inggris lebih baik dibandingkan dengan teman-teman sepenampungan saya. Saya bersyukur karena pernah menempuh pendidikan SMA di jurusan bahasa.

Memasuki bulan ketiga meninggalkan kaki dari desa saya, saya sudah menjejakan kaki di Singapura. Saya bekerja sebagai PRT sepasang suami-istri jompo yang lumayan sabar dan pengertian, setidaknya itu yang saya pikirkan sebelum anak perempuan dari kakek nenek yang saya rawat kemudian melemparkan pertanyaan tentang keaslian data saya. Saya merasa seperti terperangkap dalam dosa yang tidak saya lakukan tapi saya ketahui.

Lalu kini, kepalsuan identitas saya dipermasalahkan. Saya tidak ingin berbohong untuk kedua kali. Saya ceritakan semuanya kepada majikan saya, kenapa saya menggunakan identitas palsu dan bagaimana saya mendapatkannya. Majikan saya kebingungan. Dia yang mengerti hukum, tidak ingin terlilit kasus hukum karena kesalahan saya. Menanyakan kepalsuan dokumen saya itu ke pada agency yang menyalurkan saya bekerja di Singapura. Mereka bilang tidak terlibat dengan pemalsuan tersebut. Mereka bilang hanya memproses dokumen saya berdasarkan data yang saya sodorkan kepada mereka.

Agency itu tidak mempertahankan saya untuk tetap bekerja pada majikan saya. Mereka malah bersedia memberikan pengganti saya jika majikan saya menilai tidak layak saya bekerja untuk mereka. Agency menyalahkan saya dan memarahi saya kerena menurut mereka saya telah membuat kesalahan dengan memalsukan dokumen. Sungguh saya ingin menjerit menerima kenyataan buruk ini.

Majikan saya tidak serta merta memulangkan saya. Mereka juga tidak memaki memarahi saya setelah semua yang saya ceritakan. Mereka hanya membutuhkan waktu untuk memutuskan apa yang harus mereka lakukan dengan penipuan yang telah mereka alami. Berjalan ke kamar, saya sungguh berharap bisa langsung menghambur ke pelukan ibu saya. Tapi, dia jauh, jauh sekali dari saya yang sedang dilanda duka.
Keesokan harinya saya sungguh gelisah. Saya ingin terus bisa bekerja dan tidak ingin dipulangkan. Batin saya terluka. Saya merenung. Saya ingat bagaimana bisa majikan yang pernah berpesan untuk tidak mempercayai siapa pun kemudian bisa mengetahui identitas saya yang sebenarnya.

Sehari sebelum kepulangan Marline Peralta— pembantu majikan saya yang lama — ke Tanah Air-nya di Filipina, ia pernah berkata pada saya untuk menceritakan apa pun padanya. Ia yang saya kira teman sepenanggunan telah pula saya ceritai mengenai kehidupan saya, tentang kerinduan saya pada ayah ibu saya, apa yang membuat saya bekerja ke luar negeri dan kebenaran bahwa saya sebenarnya masih belum bisa bekerja ke luar negeri. Kepercayaan saya ternyata tidak berguna dan salah tempat. Ia mengkhianati kepercayaan yang saya berikan padanya?

Saya ceroboh tentu saja. Saya menyesal telah gegabah menceritakan semua hal kepada orang yang saya tidak kenal sepenuhnya. Karena kecerobohan saya itu, saya harus menanggung susah dan gelisah, ketakutan akan dipulangkan paksa. Ketakutan akan dianggap sebagai orang yang bekerja sebagai PRT saja tidak mampu dan berindentitas palsu.

“Etik, kami memutuskan kau bisa tetap bekerja pada kami. Tapi kami tidak ingin terlibat pada apa pun yang menimpa dirimu berhubung dengan pemalsuan datamu. Kami menghargai kejujuranmu. Kami juga mengerti alasan di balik pemalsuan datamu. Ini semata karena kami ingin meringankan bebanmu. Bila kamu kami pulangkan, kami akan dimintai alasan pemulanganmu. Ini berarti kamu akan tidak pernah lagi bekerja ke sini. Jika kamu setuju, kami minta kamu untuk menandatangani surat perjanjian ini. Kkami memintamu untuk tidak melibatkan kami bila nanti di kemudian hari kamu sampai bermasalah karena masalah dokumenmu.” Kata majikanku.

Aku sangat lega. Aku gembira karena memiliki kesempatan ke dua. Tanpa kubaca, aku segera menandatangani saja dokumen itu. Aku berterima kasih berulang-ulang kepada majikanku yang baik hati.

Itulah kali pertama pelajaran berharga yang aku terima dari bekerja di luar negeri di usia yang salah. Bahwa aku tidak boleh begitu saja mempercayai orang lain. Bahwa teman seprofesi bisa saja tidak menginginkan kebaikan dan kepercayaan kita.
*
Etik Purwani yang kelahiran Blitar pernah bekerja di Singapura dan Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga. Ia aktif menulis di media cetak yang terbit di Hong Kong dan di Indonesia, menggunakan nama pena Etik Juwita. Beberapa cerita pendek karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan sebagai kumpulan cerpen bersama penulis Indonesia yang lainnya.


Republika:Tulisan Buruh Migran Mengundang Haru dan Getarkan Jiwa

$
0
0


Sebanyak 25 hasil karya terbaik tulisan Buruh Migran Indonesia (BMI) hasil lomba menulis tingkat Internasional yang diselenggarakan oleh ICLaw dibukukan untuk menjadi bahan referensi bagi BMI yang ingin bekerja di Luar Negeri.

Yeni Fatmawati Fahmi Idris selaku penggagas dan pemrakarsa Lomba menulis kisah berhikmah BMI mengatakan lomba karya tulis ini digelar khusus untuk para buruh tidak hanya kalangan BMI yang kini masih bekerja di Luar Negeri tapi juga bagi BMI yang telah kembali ke tanah air.

“Hasil karya tulisnya sangat bernas, mulai dari mengundang haru, menggetarkan jiwa, takjub, mencahaya, komedi dan kisah tentang buah manis kerja keras tercurah dalam tulisan yang dikirimkan,” kata Yeni dalam rilisnya, Senin (31/7).

Istri tokoh nasional Fahmi Idris itu juga menjelaskan tulisan yang dkirimkan juga berisi tentang persaingan sengit, kecemburuan cinta dan sosial, kerinduan mendalam pada keluarga yang terbentengi jarak jauh serta tragedi hinaan yang merendahkan harga diri dan siksaan yang melukai tubuh.

“Berhikmah BMI mempunyai perhatian besar dibidang literasi sastra dan seni rupa mengungkapan dari sisi positifnya, substansi tulisan para BMI pemenang lomba bisa dijadikan guru kehidupan yang mengedukasi untuk menjadi manusia jujur, religius, dan pemicu etos kerja serta menumbuhkan toleransi dan kasih sayang,” tutur Yeni juga berprofesi sebagai Lawyer itu menjelaskan.

Yeni menuturkan juga memahami apa arti bekerja secara professional untuk keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan jiwa dan raga dan Wanita berhijab itu juga berharap tulisan para BMI ini dapat bermanfaat sebagai panduan otentik bagi siapa saja yang ingin bekerja di Luar Negeri dan tentunya melalui BMI Formal (bekerja di perusahaan/lembaga) maupun BMI Nonformal (bekerja di lingkup domestik/rumah-tangga).

“Misi mengusung gerakan edukasi berpikir kritis-kreatif dan terapi melalui pena untuk BMI inilah yang ingin kami wujudkan bagi calon-calom BMI yang ingin berkerja di luar negeri,” ujar Wanita yang juga menjabat sebagai Managing Partner ICLaw itu menuturkan.

Ketua Pelaksana Lomba Naning Pranoto menambahkan, karya tulis peserta lomba dibuka mulai 1 April hingga 1 Juli 2017 dengan peserta berasal dari BMI Formal maupun BMI Nonformal. Peserta lomba berkisah tentang pengalaman kerja mereka di wilayah Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Riyadh, Belanda, Dubai, Australia-Amerika dan New Zealand.

“Kami menerima banyak sekali naskah yang dikirimkan. Naskah yang masuk itu diseleksi oleh Dewan Juri menjadi 25 karya unggulan. Kemudian dari 25 karya unggulan tersebut dipilih tiga pemenang yang akan diterbitkan sebagai buku bersama 25 Karya Unggulan lainnya,” kata Naning.

Naning menjelaskan untuk penilaian karya tulis mengacu pada isi dan bobot hikmah (Makna) tulisan, kemudian retorika dan bahasa, struktur kalimat serta format tulisan dan Panjang tulisan sesuai ketentuan lomba.

“Jadi sekitar 70 persen dari peserta lomba menulis kisahnya lebih dari 10 halaman (maksimal ketentuan). Bahkan ada yang panjangnya hingga 27 halaman. Meskipun demikian kisah panjang yang isi dan bobotnya berhikmah serta menginspirasi pembaca, oleh Dewan Juri dimasukkan dalam karya unggulan,” katanya.

Untuk karya-karya tersebut akan disunting oleh editor dan dimuat menjadi bagian dari isi buku yang diterbitkan. Yang nantinya sebagai bahan informasi kepada peserta lomba dan masyarakat luas yang bertujuan untuk menumbuhkan minat menulis dan menyuburkan perkembangan gerakan literasi bagi BMI di mana pun berada.

Dalam rapat dewan Juri yang diketuai Naning Pranoto dengan anggota Adri Darmaji Woko, Didien Pradoto, Shinta Miranda, Yeni Fatmawati Fahmi Idris dan Yeni Mulati Achmad (Afifa Afra) memutuskan karya tulis yang menjadi pemenang adalah sebagai berikut:

Pemenang pertama dengan Judul ‘Minoritas Pangkat Tiga’ karya Erin Cipta asal Cilacap Jawa Tengah yang pernah bekerja sebagai perawat lansia di Taiwan tahun 2012–2015. Berhak mendapat hadiah uang tunai Rp 5 juta plus piagam penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan buku hasil lomba.

Pemenang kedua dengan judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang Bagi BMI di Negeri Ginseng’ karya Hasan Sanusi yang kini bekerja dan kuliah di UT Korea Selatan. Atas karya ciptanya Sanusi meraih uang tunai Rp 3,5 juga piagam penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan buku hasil lomba.

Pemenang ketiga berjudul ‘Kisah Tentang Meramu Kepercayaan’ karya Etik Purwani asal Blitar Jawa Timur. Pengalaman bekerja di Singapura dan Hong Kong membuatnya mendapatkan hadiah uang tunai Rp2,5 juga piagam penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan buku hasil lomba.

Selain itu, karya tulis yang terpilih sebagai 25 Karya Unggulan, masing-masing mendapat Piagam Penghargaan ICLaw Golden Pen Award dan buku hasil lomba.

Sumber: Republika.co.id

Pengumuman Pemenang Lomba Menulis Puisi Cinta Indonesia Tingkat SD, SMP/SLTP dan SMA/SLTA

$
0
0


Puji syukur tiada terhingga pada Allah SWT dan semua pihak yang pendukung program Lomba Menulis Puisi Aku Cinta Indonesia Tingkat SD, SMP/SLTP dan SMA/SLTA skup Nasional yang diprakarsai oleh Ibu Tuti Hadiputranto dan dikoordinir oleh Ibu Mira Adyanti, berjalan dengan lancar. Peserta lomba tidak hanya dari Sabang sampai Merauke, tapi juga dari pelajar Indonesia yang sedang studi di luar negeri.

Puisi yang masuk ke Meja Panitia Lomba kurang lebih 1.500 judul, yang tertib administrasi sekitar 1300 judul dan yang mentaait persyaratan lomba 632 judul. Amat disayangkan, ada kesan para peserta tidak membaca persyaratan lomba secara teliti – terbukti banyak peserta yang menulis puisi lebih 6 (enam) bait, tidak mencantumkan nama sekolah dan identitas diri serta menulis di badan e-mail. Maka puisi yang tidak tertib administrasi dan tidak mentaati persyaratan lomba, tidak dinilai oleh Dewan Juri. Meskipun demikian, Panitia Lomba mengapresiasi seluruh peserta dengan memberikan Piagam Kalam Merah Putih untuk Peserta, dalam bentuk digital. Kami akan mengirimkan piagam tersebut via e-mail berdasarkan permintaan.

Dewan Juri hanya menilai puisi yang tertib administrasi dan mentaati persyaratan lomba. Penilaian meliputi: (1) Pengolahan tema secara kreatif; (2) Diksi; (3) Estetika dan Retorika; (4) Jumlah Bait; (5) Keutuhan Konten/Isi dalam kesatuan bait dan (6) Inovasi dalam berkarya. Berdasarkan kriteria tersebut Dewan Juri memperoleh hasil puisi terbaik dengan rincian: Per kategori (A, B dan C): Pemenang Utama terdiri dari Pemenang 1,2 dan 3 serta Pemenang Unggulan. Puisi-puisi yang terpilih sebagai Pemenang Utama maupun Pemenang Unggulan akan dibukukan dalam bentuk Antologi Puisi Kalam Merah Putih: Kami Cinta Indonesia dan para pemenang masing-asing akan memperoleh 1 (satu) eksemplar.

Berikut ini daftar puisi dan penyairnya yang terpilih sebagai pemenang:

Kategori A

Pemenang Utama

Pemenang 1
Judul Puisi Ikrar Suci Bunga Bangsa karya Jesslyne Devina Heriyanto, SDK Santo Antonius – Cakranegara Mataram NTB. Mendapat hadiah uang tunai Rp 1.500.000,00 + Piagam Kalam Merah Putih

Pemenang 2
Judul Puisi Indonesia Negeri Tercinta karya Alysa Joana Putri Mendrofa, SDK Ora et Labora – Bumi Serpong Damai Tangerang Selatan Banten. Mendapat hadiah uang tunai Rp 1.000.000,00 + Piagam Kalam Merah Putih

Pemenang 3
Judul Puisi Bumi Pertiwi Kita karya Sri Dwi Mekar Hayu, SDN 1 Kualasimpang – Kualasimpang Tamiang Aceh. Mendapat hadiah uag tunai Rp 750.000,00 + Piagam Kalam Merah Putih

12 Pemenang Puisi Unggulan. Masing-masing mendapat penghargaan Piagam Kalam Merah Putih

1. Judul Puisi Warna Indonesia karya Alendra Aurora Rinjani, SDN Rawamangun 12 Pagi – Jakarta Timur DKI Jakarta

2. Judul Puisi NKRI Tercinta karya Abhitha Pitaloka Sutardi, SD Pahoa Summarecon Bumi Serpong Damai – Tangerang Selatan Banten

3. Judul Puisi Padamu Indonesia karya Zalfa Zahwa Yashinta Nugraheni Putri, SDIT Sultan Agung 05 – Kriyan Jepara Jawa Tegah

4. Judul Puisi Aku Senang Menjadi Indonesia karya Ova Kiara Nawangie, SD Abdi Siswa – Jakarta Barat DKI Jakarta

5. Judul Puisi Kuingin Kedamaian karya Rahmanda Khairu Nasyita, SD Al-Islam 2 Jamaren – Surakarta Jawa Tengah

6. Judul Puisi Indoenesia Milik Kami karya Choirotul Inayah, SDN Jubelan 02 Jubelan – Sumowono Kabupaten Semaranng Jawa Tengah

7. Judul Puisi Indonesia karya Ni Komang Ayu Sapna Paramita, SDN 6 Yehembang – Jembrana Bali

8. Judul Puisi Indonesiaku Makin Kucinta karya Ferdi Bagus Pramana, MI Al Ulum Guyangan – Trucuk Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur

9. Judul Puisi Tanah Airku karya Wilma Aulia Danishwara, SDIT Insan Permata Lowok Waru – Malang Jawa Timur

10. Judul Puisi Indonesiaku karya Cadita Putri Fatimah,SD Muhammadiyah 3 IKROM Wage – Sidoarjo Jawa Timur

11. Judul Puisi Darahku Indonesia karya Nuzulul Syifa’illah Alfarisi, SD Pajagalan 1 Sumenep – Madura

12. Judul Diriku Indonesia karya Fairuz, SD Patra Mandiri 2 Plaju – Sumatera Selatan

Kategori B

Pemenang Utama

Pemenang 1
Judul Puisi Sang Kalpataru karya Dipa Ranu Amerta, SMPN 2 Purbalingga – Jawa Tengah. Mendapat hadiah uang tunai Rp 1.500.000,00 + Piagam KalamMerah Putih

Pemenang 2
Judul Puisi Pemuja Tanah Pusaka karya Sabna Ramadani, SMPN 3 Kuok, Kampar- Riau. Mendapat hadiah uang tunai Rp 1.000.000,00 + Piagam Kalam Merah Putih

Pemenang 3
Judul Puisi Kami Indonesia karya Rebecca Reynata Rihi,SMP Lentera Harapa Kupag- NTT. Medapat hadiah uang tunai Rp 750.000,00 dan Piagam Kalam Merah Putih

23 Pemenang Puisi Unggulan. Masing-masing mendapat penghargaan Piagam Kalam Merah Putih

1. Judul Puisi Rindu Indonesia yang Dulu karya Jesseline Carolee S, SMPK 1 Penabur JakartaPusat – DKI Jakarta

2. Judul Puisi Mencium Tangan Soekarno karya Maulidanoor Aprilyanti,SMPN 1 Labuan Amas Selatan – Kabupaten Hulu Sungai Tengah Barabai Kalimantan Selatan

3. Judul Puisi Aku Generasi Negeri karya Adinda Marta Rahayu,SMP Diponegoro 2 – Bogor Jawa Barat

4. Judul Puisi Langkah Menuju Senyuman karya Jesselin Lim,SMP Santa Ursula Bumi Serpong Damai – Tangerang Selatan Banten

5. Judul Puisi Cintaku Indonesia karya Ananda Ayu Lestari, SMP 1 Kepil – Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah

6. Judul Puisi Untukmu karya Nur Asri Shakila, SMPN 1 Selong – Lombok Timur NTB

7. Judul Puisi Kepada Jahitan Dua Warna karya Alvianisa Edriana Kumala,SMPN 4 Kota Serang – Banten

8. Judul Puisi Jayalah Indonesiaku karya Enjel Dwi Kala’Lembang, SMP Tana Toraja – Tana Toraja Ba’ba-Ba’ba Sulawesi Selatan

9. Judul Puisi Tanah Airku karya Julliana Damayanti, MTsN 2 Bantul – Kabupaten Bantul DI Yogyakarta

10. Judul Puisi Sang Tanah karya Azalea Jedidah Lambe, SMP Bunda Hati Kudus Kota Wisata Cibubur Kabupaten Bogor – Jawa Barat

11. Judul Puisi Jeritan Cinta Tanah Air karya Putri Cynthia Kamal, SMPK 2 Penabur Jakarta Barat – DKI Jakarta

12. Judul Puisi Persatuan Indonesia karya Nabilah Putri Rulia Salma, MTsN 2 Turen Malang – Jawa Timur

13. Judul Puisi Keindahanmu karya Izzatun Khusnaini, MTs Unggulan Jember – Jawa Timur

14. Judul Puisi Sajak Persatuan karya InggaWahyu Hanggoro, MTsN 1 Bengkalis – Riau

15. Judul Puisi Pewaris Negeri karya Amanda Medina Eli, SMPN 4 Tangerang – Tangerang Banten

16. Judul Puisi Sejarah karya Siti Atika Azzahrah,SMP IT Fitrah Insani Bandar Lampung – Lampung

17. Judul Puisi Mawar Pelangi Indonesia karya Christian Bryant – SMP Don Bosco 2 Jakarta Timur – DKI Jakarta

13. Judul Puisi Negeri Kebanggaanku karya Monika Trisnawidjaja, SMP Pahoa Summarecon Bumi Serpong Damai – Tangerang Selatan Banten

14. Judul Puisi Negeriku yang Kaya karya Muhammad Rian Herdiana, SMP PGRI Parakanmuncang – Kabupaten Sumedag Jawa Barat

15. Judul Puisi Bersatu Membangun Negeri karya Grace Anabela, SMP BPK Penabur Serang – Serang Banten

16. Judul Puisi Satu Putih Satu Merah karya Jovando Tomihara, SMPN 1 Tanjung Pinang – Kepulauan Riau

17. Judul Puisi Persatuan Dalam Perbedaaan karya Kany Sabila, SMPN 194 Jakarta Timur – DKI Jakarta

18. Judul Puisi Janji Kami karya Rahma Nurfitri Julastri, SMPN 1 Tual – Maluku

19. Judul Puisi Indonesia Adalah Milikku karya Kelvin Sabastian, SMP Bina Bakti 2 Bandung – Jawa Barat

20. Judul Puisi Indonesiaku karya Desi Pramudiah,SMPN 2 Wonosari Gunung Kidul – DI Yogyakarta

21. Judul Puisi Untukmu Indonesia karya Ifa Nur Haniah, SMP Eka Cipta Kayung Naga Tayap – KetapangKalimantan Barat

22. Judul Puisi Sekumpulan Rumbia di Atap karya Reinhart Sidharta – SMP Don Bosco 2 Jakarta Timur – DKI Jakarta

23. Judul Puisi Perihal Surat Cinta Buat Negeriku karya RafinaYumma Syafiqa, SMPN 5 Cilacap – Jawa Tengah

Kategori C

Pemenang Utama

Pemenang 1

Judul Puisi Pensil Warna Nusantara karya Febi Imanuela, SMA Don Bosco 2 Jakarta Timur – DKI Jakarta. Mendapat hadiah uang tunai Rp 1.500.000,00 + Piagam Kalam Merah Putih

Pemenang 2
Judul Puisi Narasi Negeri Bambu Runcing karya Muhammad Rahmad, SMAN 2 Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah – Kalimantan Selatan. Mendapat hadiah uang tunai Rp 1.000.000,00 + Piagam Kalam Merah Putih

Pemenang 3
Judul Puisi Tali Temali Tradisi karya Gede Agus Widiantara Sada, SMAN Bali Mandara – Kabupaten Buleleng Bali. Mendapat hadiah uang tunai Rp 750.000,00 + Piagam Kalam Merah Putih

57 Pemenang Puisi Unggulan. Masing-masing mendapat penghargaan Piagam Kalam Merah Putih

1. Judul Puisi Indonesia Sayang karya Aubrey Charissa Bhrawardhana, SMAN 28 Jakarta Selatan – DKI Jakarta

2. Judul Puisi Tanah Ini Tanah Kita karya Qonitah Rifda Zahirah, MAN 2 Model Pekanbaru – Riau

3. Judul Puisi Saksi Bisu Mahameru karya Puji Astutik, SMAN 4 Berau – Berau Kalimantan Timur

4. Judul Puisi Derita Hati Negeriku karya A. Sella Nur Afifah, SMAN 1 Selayar – Selayar Sulawesi Selatan

5. Judul Puisi Estetika Ranah Bidari karya Nivia, SMAK Penabur GadingSerpong – Bumi Serpong Damai Tangerang Selatan Banten

6. Judul Puisi Sebuah Surat Dari Merpati karya Lia Sylvia Dewi, SMAN Tanjungsari – Kabupaten Sumedang Jawa Barat

7. Judul Puisi Catur Merah Putih karya Kurniasih Septriana Dewi, SMAN 12 Purworejo – Jawa Tengah

8. Judul Puisi Surat Cinta Untuk Indonesia karya Muhammad Amiruddin Hanif, SMAIT As-Syifa Boarding School Subang – Jawa Barat

9. Judul Puisi Karena Apa? Karya Sari Oktafiani, SMAN 1 Mandau – Kabupaten Bengkalis Riau

10. Judul Puisi Aku, Kamu,Adalah Kita karya Dini Rukma Anjani, SMK PGRI 35 Solokan Jeruk Rancaekek – Kabupaten BandungJawa Barat

11. Judul Puisi Barat Timur, Kitalah Indonesia karya Bryant Willy Rans, SMAK 1 Tanjung Duren Jakarta Selatan – DKI Jakarta

12. Judul Puisi Suara Pancasilaku karya Budi Wahyu Agung Pramana,SMAN 2 Tanggul – JemberJawa Timur

13. Judul Puisi Menjamah Gubug Sejarah karya Reina Amanda Fatmawati,, SMKN 2 Salatiga – Jawa Tengah

14. Judul Puisi Benang Persatuan karya Fatihah Andhani Prasetyo, SMAN 5 Kota Depok – Depok Jawa Barat

15. Judul Puisi Bhineka Tunggal Ika karya Dandi Julian Pratama SMK Texmaco Pemalang – Jawa Tengah

16. Judul Puisi Negeriku, Bertahanlah karya Jamaludin Darma, SMAN 2 Meulaboh – Kabupaten Aceh Barat Aceh

17. Judul Puisi Nusa Bangsa karya Andrea Polisar, SMA Santa Ursula Bumi Serpong Damai – Tangerang Selatan Banten

18. Judul Puisi Bahana’Tuk Bangsa karya Ines KrisantiJayaputri, SMAN 39 Jakarta Timur – DKI Jakrta

19. Judul Puisi Kepada Jendela di Beranda karya Bagus Muhammad Ramadhan, SMAN 1 Cianjur – Jawa Barat

20. Judul Puisi Sajak Kesaksian karya Tasya Apniarsih, SMAN 2 Sungai Kakap – Kabupaten KubuRaya Kalimantan Barat

21. Judul Puisi Sinergi Cinta Nusantara karya Pavita Ardhani Sugiharto Putri, SMAN 3 Malang – Jawa Timur

22. Judul Puisi Bukti Cinta karya Decvianti Ramdhana, SMAN 1 Cileungsi – Jawa Barat

23. Judul Puisi Bhineka Tunggal Ika karyaMuhammad Amin Adam, SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta – DIYogyakarta

24. Judul Puisi Bangga Indonesia karya Evrina Syahputri, SMAN Pematang Siantar – Sumatera Utara

25. Judul Puisi Rumahku, Indonesia karya Febri Heryo Yudanto, SMAN 1 Kelapa Kampit – Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung

26. Judul Puisi Senandung Melodi NKRI karya Delpia Sinta Rahayu, SMAN 2Tasikmalaya – Jawa Barat

27. Judul Puisi Indonesia karya Julieta Dhitiyana, SMAN 2 Mejayan Kabupaten Madiun – Jawa Timur

28. Judul Puisi Buah Hati NKRI karya Dwi Suslowati, SMAN 1 Padangan Bojonegoro – Jawa Timur

29. Judul Puisi Tanpa Kepakan Sayap Ragu karya Ilvico Caspar Ligawirady, SMA Don Bosco 2 Jakarta Timur – DKI Jakarta

30. Judul Puisi Indonesia karya Moch Agus Riski, SMKN 1 Adiwerna Tegal – Jawa Tengah

31. Judul Puisi Untukmu Negeriku karya Santika Anjarsari, SMAN 1 Cisaga – Kabupaten Ciamis Jawa Barat

32. Judul Puisi 1000 Senyum Padaku karya Albertus Haryo Davy Pratama, SMA Loyola Semarang – Jawa Tengah

33. Judul Puisi KKN (Kisah Kelut Negeri) karya Hendra, SMKN 1 Sintoga – Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat

34. Judul Puisi Indonesia di Rantau Sekolahku karya Rafita Putri Kahansa, Sekolah Indonesia Kuala Lumpur Malaysia

35. Judul Puisi Mencoba Bangkit karya Stevanus Mei Yadi, SMK Theresiana Bandungan – Kabupaten Semarang

36. Judul Puisi Cinta Tanah Air karya Rachmita Dwi Nindya Azahra, MAN Model Palangkaraya – Kalimantan Tengah

37. Judul Puisi Bersatulah Indonesiaku karya Apriliana Pratiwi, SMAN 3 Magelang – Jawa Tengah

38. Judul Puisi Saya dan Indonesia Satu karya Naufalia Reskiana Saktika, SMA Plus YPHB Kota Bogor – Jawa Barat

39. Judul Puisi Negeri Pada Saat ini karya Ronny Frankle Sumurung Sinaga, SMAN 1 Kundur – Kabupaten Karimun Kepulauan Riau

40. Judul Puisi Macan Asia Hanya Tertidur karya Hasni Maryam, SMAN 1 Ketapang – Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat

41. Judul Puisi Aku Cinta Kau Wahai Indonesia karya Prepti Ayu Maharani,SMAN 1 Pulau Panggung – Kabupaten Tanggamus Lampung

42. Judul Puisi Irama Juang karya Alfiatur Rohmaniah, SMAN 1 Trucuk – Klaten Jawa Tengah

43. Judul Puisi Janji Dirampas Kebohongan karya Almasah Syadiah (Nama Pena Adia Mishbahunendang), SMAN 1 Surade – Kabupaten SukabumiJawa Barat

44. Judul Puisi NKRI Harga Mati karya Deden Rizki Oktaviana, SMAN 1 Cikalong Wetan – Kabupaten Bandung Jawa Barat

45. Judul Puisi Jayalah Negeriku, Jayalah Bangsaku karyaKlarista Mayang Sari, SMA Muhammadiyah 1 Babat – Lamongan Jawa Timur

46. Judul Puisi Ratapan Senja karya Ardisaputra, SMAN 1 Unggulan Muara Enim – Sumatera Selatan

47. Judul Puisi Sang Saka Merah Putih karya Nabilah Nurul Islami,SMAN 8 Jakarta – DKI Jakarta

48. Judul Puisi Sejuta Cinta Untuk Negeri karya AhmadNur Wahyudi,SMAN 3 Bone –Sulawesi Selatan

49. Judul Puisi Tatapan Ibu Pertiwi karya Sherli Marcelina, SMAN 1 Watampone – Sulawesi Selatan

50. Judul Puisi NKRI-ku karya Rani Naomi Agustina Panjaitan, SMAN 2 Medan – Sumatera Utara

51. Judul Puisi Sepucuk Surat Dari Medan Perang karya Metta Alvionita Heryanto,SMA St.Louis Surabaya – Jawa Timur

52. Judul Puisi Kita Indonesia karya Zeni Tri Widodo,SMAN 2 Mejayan – Kabupaten Madiun Jawa Timur

53. Judul Puisi Merah Putihku karya Farhan Muji Nur Rohman, SMAN 1 Tanjungpandan – Belitung Bangka Belitung

54. Judul Puisi Tanah Surga karya Dian Safitri Achmad, SMAN 1 Model Pinrang – Sulawesi Selatan

55. Judul Puisi Anak Bumi Pertiwi karya Anak Agung Istri Adi Maheswary Dalem, SMAN 1 Mataram – NTB

56. Judul Puisi Surat untuk Indonesia karya Finka JuliLuisyana, SMAN 1 Jakenan – Kabupaten Pati Jawa Tengah

57. Judul Puisi Sepenggal Sukmaku karya Helena Agathia Pujiharjati, SMAK Santa Maria Malang – Jawa Timur

Keputusan Dewan Juri adalah final
Para Pemenang Utama dan Pemenang Karya Unggulan harap mengirimkan selembar foto pose menarik (Semi Close-up/Setengah Badan) untuk dimuat di buku dan alamat jelas disertai Nomor Telepon/HP/WA yang mudah dihubungi, kirimkan melalui e-mail: rayakultura@gmail.com
Para Pemenang Utama yang memperoleh hadiah uang harap segera mengirimkan Nomor Rekening Bank dilampiri Surat Pernyataan bermaterai Rp 6.000,00 bahwa data tersebut adalah benar

Selamat untuk para peserta lomba yang karyanya terpilih sebagai pemenang utama maupun unggulan. Bagi yang karya belum terpilih sebagai pemenang, silakan terus latihan menulis puisi. Mari, kita terus menulis puisi untuk pencerahan dan prestasi!

Salam Puisi dari kami,

Tuti Hadiputranto – Pemrakarsa Lomba
Mira Adyanti – Koordinator Lomba

Dewan Juri:
Naning Pranoto – Ketua
Anggota: Adri Darmadji Woko, Didien Pradoto, Kurniawan Junaedhie, Shinta Miranda dan Andre Birowo

Naning Pranoto – Ketua Pelaksana Lomba/Ketua Dewan Juri

Stres dan Emosi, Menulislah

$
0
0

Penulis dan sastrawan Naning Pranoto mengatakan ketika stres dan emosi, maka orang disarankan untuk menulis. Karena dengan menulis bisa meredakan segala yang tertera di dalam perasaannya.

“Misalnya stres karena nunggu suami lama menjemput, menulislah, ambil kertas. Tuangkan apa yang ada dalam perasaan saat itu. Begitupun kalau pikiran cumleng misal karena karena tidak ada uang, itu bisa dibuat tulisan. Jadi apa yang terjadi dalam kehidupan ini bisa menjadi inspirasi tulisan termasuk cerpen. Termasuk alam dan lingkungan juga bisa menjadi inspirasi,”kata Naning saat menjadi pembicara dalam Pelatihan Menulis Cerpen Berwawasan Ekologi bagi guru SMP, SMA dan SMK di Gubug Hijau Raya Kultura, Gesikan, Jaranan, Desa Panggungharjo,Kec Sewon, Selasa (22/08/2017).

Pembicara lain yang tampil dalam pelatihan kerja sama FBS UNY, Gubug Hijau Raya Kultura dan penerbit Cantrik Pustaka tersebut adalah Prof DR Suminto A Sayuti dari UNY dan DR Wiyatmi M.Hum.

Menurut Naning, seseorang bisa menuangkan ide tadi dan mewujudkan sebagai sebuah cerita. Tentu mereka harus memulai dengan plotting dan menggunakan lembar-lembar catatan elemen cerpen.

“Ada perbedaan antara pengarang dan penulis. Kalau pengarang itu adalah creative thinking. Sedangkan penulis adalah critical thinking. Jadi seseorang bisa menjadi pengarang ataupun menjadi penulis. Jika jurnalis mengkombinasikan keduanya,”terangnya.

Sementara Suminto A Sayuti mengatakan lingkungan dan suara alam di sekitar kita, dari tataran relasi negara, kota, desa, kampung , rumah tinggal hingga kos–kosan adalah tempat tinggal lokalitas.

“Secara konseptual lokalitas dapat disederhanakan sebagai lingkungan yang berada di sekeliling kita. Baik dalam sifatnya mistis, fisik dan psikologis. Baik yang sifatnya sosial, natural maupun kultural,” katanya. Dari lingkungan itu pula, bisa melahirkan ide penulisan yang bagus.

Sementara Wiyatmi mengatakan di Indonesia perhatian terhadap alam dan lingkungan telah merambah berbagai bidang ilmu termasuk ilmu satra.

“Timbulnya gagasan sastra hijau diantaranya oleh komunitas Raya Kultura yang dipelopori Bu Naning ini menunjukan adanya perhatian serius dari sejumlah sastrawan dan pecinta sastra terhadap alam dan lingkungan,”katanya.

Saatra hijau sendiri memiliki beberapa kriteria yaitu bahasa yang digunakan banyak mengandung diksi ekologis, isi karya dilandasi rasa cinta pada bumi. Rasa kepedihan bumi yang hancur, ungkapan kegelisahan dalam menyikapai penghancuran bumi, melawan ketidak adilan atas perlakuan sewenang-wenang bumi dan isinnya (pohon, tambang, air dan udara serta penghuninya yakni manusia), ide pembebasan bumi dari kehancuran dan implementasinya.

“Sastra hijau harus mampu mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat terhadap penghancuran bumi. Hal ini sesuai dengan visi dan misi sastra hijau yaitu sastra yang berperan dalam penyadaran dan pencerahan yang diharapkan dapat mengubah gaya hidup menjadi pemelihara merawat bumi,”katanya. (Sari Wijaya/SM)

Liputan: Koranbernas.id

Piagam Pemenang Utama dan Unggulan Lomba Menulis Kisah Berhikmah BMI

$
0
0

Piagam Pemenang Utama Dan Pemenang Unggulan Lomba Menulis Puisi CINTA INDONESIA

$
0
0

Silakan download bagi yang berkepentingan.

Terima kasih.
Salam Puisi

Kategori A
Pemenang Utama:

path: downloads


Pemenang Unggulan:

path: downloads

Kategori B
Pemenang Utama:

path: downloads


Pemenang Unggulan:

path: downloads

Kategori C
Pemenang Utama:

path: downloads


Pemenang Unggulan:

path: downloads

Viewing all 175 articles
Browse latest View live