Quantcast
Channel: Rayakultura.Net
Viewing all 175 articles
Browse latest View live

Puisi-Puisi Para Pemenang Lomba Menulis Puisi AKU CINTA INDONESIA

$
0
0

Kategori A

IKRAR SUCI BUNGA BANGSA
Jesslyne Devina Heriyanto – SDK Santo Antonius Mataram NTB

Bumi pertiwiku yang elok
Bagai pelangi mendekorasi
Laut dan Bimasakti
Keragaman satwanya
Dari harimau sumatera
Hingga si cantik cendrawasih

Kulinernya menggugah selera
Rendang, papeda, bubur Manado
Tari Saman, tari Kecak, Reog Ponorogo
Dari Sabang sampai Merauke
Dari pulau We hingga pulau Rote
Terhampar beragam suku dan istiadatnya

Di sini kami berpijak
Aku dan kawan-kawan
Di antara bersepatu dan bersandal jepit
Berdiri tegak meghadap Sang Saka
Merah Berani Putih Suci
Berkumandanglah Indonesia Raya

Di antara rintik hujan
Membasahi kuncup bunga
Kami berikrar
Persatuan adalah utama
Perbedaan bukan penghalang
Persahabatan memperkokoh persatuan

*
INDONESIA NEGERI TERCINTA

Alysa Joana Putri Mendrofa – SD Kristen Ora et Labora BSD Tangerang Banten

Negeriku Indonesia
Tanah kelahiran yang kucinta
Tempatku dibesarkan
Berkumpul bersama handai taulan

Negeriku Indonesia
Sangat indah dan permai
Terkenal sampai penjuru dunia
Negeri yang cinta damai

Beraneka ragam bahasa daerah
Beraneka ragam suku dan agama
Tidak membuat kami terpecah
Itulah Bhinneka Tunggal Ika

Perbedaan warna kulit
Tidak membuat hidup sulit
Walau kami berbeda – beda
Di mata Tuhan kami sama

Kesuburan tanahmu tak terhingga
Hasil tambang tak terkira
Hasil pertanian yang melimpah
Hasil laut tak akan punah

Dengan semangat Pancasila
Dan rasa penuh toleransi
Kita harus membangun bangsa kita
Menjadi bangsa yang mandiri

*

BUMI PERTIWI KITA

Sri Dwi Mekar Hayu – SDN 1 Kualasimpang Aceh Tamiang Aceh

Dalam baris kata
Kuungkap sebuah rasa
Kecintaan yang membuncah di dada
Tentang Bumi Pertiwi kita
Sang zamrud khatulistiwa

Aku jatuh cinta . .
Pada nyiur pantai nan elok
Keramahan penduduk bumi
Damai menyentuh qalbu
Oh, indahnya kehidupan di negeriku

Inilah Indonesiaku, NKRI tercinta!
Berbagai suku, bahasa, dan agama
Walau berbeda-beda tapi tetap satu
Membangun negeri dibawah nilai-nilai Pancasila

Marilah tetap bersatu!
Meski ancaman zaman ini semakin terasa
Karena Indonesia adalah satu!
Semoga Tuhan selalu melindungi kita

*

Kategori B

SANG KALPATARU
Dipa Ranu Amerta – SMPN 2 Purbalingga Jawa Tengah

Indonesia, bagai kalpataru yang melingkupi makhluk dibawahnya
Kalpataru berdiri tegak bagai tombak di tanah ini
Cahaya terpancar di tengahnya dunia
Jadikan dikau singa Asia lantaran agung dimata dunia

Kau bagai pohon kokoh dan rindang
Yang indah dan permai
Tapi kau tak kokoh lagi
Kau digerogoti rayap-rayap yang iri dengan ke indahanmu

Para rayap yang iri atas keberagaman indahmu
Hai Indonesiaku bangkitlah dari mendungnya dibalik gunung yang tinggi
Tampakkanlah keperkasaanmu wahai Nusantaramu
Tunjukkan kepada buana

Hai para Bima Nusantara
Hai para Srikandi Indonesia
Bangkitlah dan ubahlah Indonesia
Dari dusta menjadi asmara

*
PEMUJA TANAH PUSAKA
Sabna Ramadani – di SMP 3 Kuok Kampar Riau

Aku cemburu pada rumput yang hijaukan tanahmu
Aku cemburu ikanmu yang hiasi lautmu
Aku cemburu pada aneka corak budayamu
Aku cemburu keelokan tutur penghunimu
Aku cemburu pada aroma pagimu
Aku cemburu pada malammu yang mengiringi mentari senjamu
Sungguh ku terpikat pesonamu yang menenangkan

Bolehkah aku menjadi kekasihmu wahai Ibu Pertiwi?
Atau menjadi pohon yang menyegarkan negerimu
Atau hanya menjadi semut kecil yang mengitarimu
Aku sanggup menjadi apapun, asalkan jejak kakiku tak pernah menghilang di tanah ini
Dan kelak jasadku terkubur abadi di tanah suci ini

Aku akan selalu menjagamu seperti bayi
Aku tunduk padamu seperti tundukku pada ibu
Aku akan menemanimu seperti pantai pada lautan
Aku selalu merindukanmu bak bulan merindu malam

Ntah ramuan apa yang telah kau suguhkan
Atau virus apa yang telah kau tularkan
Aku menyerah pada ketakjuban
Mengalah pada milyaran keindahan
Karena kaulah negeri sempurna yg diciptakan tuhan

KAMI, INDONESIA
Karya: Rebecca Reynata Rihi – SMP Lentera Harapan Kupang NTT

Negeri ini
Tempat kami berdiri
Tempat kami merasakan belaian kasih
Tempat kami merasakan keindahan
Tempat kami merasakan sisi rusaknya
Rusak
Bukan hal yang kecil
Bukan hal yang mudah
Bukan hal yang pantas disesali
Kita, kita yang memperbaikinya
Sabang sampai Merauke
Beribu-ribu pulau
Berbagai suku bangsa dan bahasa
Berbagai anugerah dan keunikan
Berbagai perbedaan dan keistimewaan
Inilah negeri kami, Indonesia
Negeri ini
Bukan hanya sekadar negeri
Bukan hanya sekadar kampung halaman
Tapi, negeri ini
Tempat hati kami berada
Kami, Indonesia

*

Kategori C

Pensil Warna Nusantara
Febi Imanuela – SMA Don Bosco 2 Jakarta

Nusantara Nirwana
Bak sekotak pensil warna
Beragam semburat rona
Mengagumkan dan mempesona

Macam warna macam rasa
Bersama-sama mengejar asa
Menggores coretan-coretan
Guratan warna kesatuan

Beda warna aka pa
Beda warna tak salah
Semua cantik indah
Semua baik adanya

Laskar-laskar bangsa
Mari padu warna-warni
Saling mengisi dengan berani
Membentuk karya yang esa
*
NARASI NEGERI BAMBU RUNCING
Muhammad Rahmad – SMAN 2 Barabai Kalimantan Selatan

Ini adalah tanah lahir kami
sebuah sejarah bukan dongeng bukan pula lelocon
di mana setiap kisahnya penuh peluh, tangisan dan perjuangan
negeri yang selalu dibangun dengan pertumpahan darah dan air mata

Saksikanlah keramahan negeri kami
suku, ras dan agama saling bertoleransi
kedamian dijunjung tinggi melebihi langit
meredam duka dalam setiap pertempuran sengit
karena negeri ini selalu dipagari bambu runcing
dari tangan-tangan pahlawan yang berlumur darah

Kami tidur berselimutkan merah putih
didendangkan lagu Indonesia Raya
yang bergema dari seluruh penjuru Nusantara
karena di negeri berbambu runcing inilah
perjuangan pendahulu selalu nyaring berapi-api
meninggalkan sejarah di setiap jengkal negeri

Di lapang dada negeri bambu runcing ini
hamparan ladang terus mengenyangi perut kami
ribuan ruas sungai selalu menawar dahaga kami
sehingga tak pernah habis diwariskan kepada generasi
untuk selalu mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia
demi mewujudkan persatuan bangsa di Bumi Pertiwi

Sudah ribuan janji kita teriakkan ke segala cakrawala
pendahulu hanya mengantarkan kita sampai gerbang kemerdekaan
dan selanjutnya kita mesti terus berjuang bersama bersatu
untuk terus maju di garda terdepan membela Indonesia

Sungai Rangas, 20 Februari 2017

*

TALI TEMALI TRADISI
Gede Agus Widiantara Sada – SMAN Bali Mandara Buleleng Bali

Kepada : Sang Pemimpi
Mata pelangi di bumi pertiwi
Kemanakah aku harus pergi?
Ketika salju turun di negeri ini
Dan bara api padam tak berarti
Tubuh kuyup, urat nadi tak terasa lagi
Bagai aku sudah mati ditelan bumi
Rasa takut ini mengungkung di hati
Apakah aku harus mencuci diri?
Meratapi kehilangan tali-temali budaya dan tradisi
Diam…!
Bagi roh, kita adalah bagian dari keagungan langit
Bagi pahlawan, kita adalah tungku api generasi
Aruskah kita diam melihat tali-temali ini?
Yang ditelan ombak arus globalisasi
Bangkit…!
Dengan alunan kaki ini
Berdiri di puncak paling tinggi
Walau gunung dan jurang akan kulewati
Demi negeri sang pemberani

*


Wayang Hijau -The Green Shadow Puppet

$
0
0


Penggagas
Naning Pranoto dan Yeni Fatmawati

Pelukis/Ilustrator Wayang
Aji Sumakno F dan Asih Francisca

Hakcipta @Naning Pranoto-Yeni Fatmawa

Pengertian Wayang Hijau

Wayang Hijau atau disebut juga sebagai Wayang Ijo, dibuat dari karton atau kertas daur ulang untuk menempel gambar atau lukisan obyek yang ditampilkan. Tokoh-tokoh Wayang Hijau terdiri dari aneka jenis pohon dan tanaman serta rumput yang tumbuh di bumi. Maka wayang yang kami ciptakan diberi nama Wayang Hijau (The Green Shadow Puppet).

Sebagai pendamping tokoh pohon, tanaman serta rerumputan, dihadirkan pula tokoh aneka satwa dan manusia dengan karakter antagonis, protagonis, komedi maupun yang bersifat mitologis dan legendaris. Setting/latar yang utama menggunakan ‘gunungan’ sebagai simbol Bumi serta isinya. Untuk menghidupkan setting ekologi, ditampilkan pula berbagai bentuk bangunan tradisional dan modern serta bagian dari Bumi yang menjadi korban eko-anarkis (berbagai kejahatan terhadap Bumi)

Pertunjukan Wayang Hijau bisa dilakukan dua cara. Cara pertama tanpa iringan musik. Cara kedua dengan menggunakan iringan musik, yaitu gamelan yang dibuat dari bahan-bahan barang bekas (botol gallon air mineral, peti kemas, aneka jenis botol kemasan minuman yang terbuat dari beling/kaca maupun plastik,kaleng besar-kaleng kecil, bambu, rotan, kerikil, batu, pasir dan aneka biji-bijian kering.)

Misi dan Visi Wayang Hijau
Wayang Hijau bermisi sebagai medium edukasi untuk anak-anak dan remaja belia (tingkat TK hingga SMP) tentang pelestarian Bumi, Rumah kita satu-satunya.

Perrtunjukan Wayang Hijau dikemas berupa narasi dalam bentuk dongeng maupun cerita yang berisi tentang penyadaran pentingnya merawat dan mencintai lingkungan yang terdiri dari tanah, air, udara, laut, pohon, tumbuhan dan hewan. Ada makhluk hidup dan benda mati. Semuanya memiliki manfaat bagi kehidupan manusia dan makluk lainnya secara simbiosis mutualisme.

Untuk menarik minat penonton agar misi Wayang Hijau bisa memviral, pertunjukan Wayang Hijau disajikan oleh seorang dalang atau pendongeng piawai. Metode penyajiannya interaktif dengan penonton (mirip gaya lenongan Betawi) dan kreatif bersama membuat wayang dan menulis cerita. Pertunjukkan diawali dengan menyanyi bersama lirik-lirik ballada dan religi pelestarian bumi. Selanjutnya baru ke inti cerita/dongeng yang disajikan.

Agar tidak membosankan, durasi pertunjukan Wayang Hijau berkisar antara 15 – 20 menit, per judul. Setelah usai pertunjukkan digelar, dalang/pendongeng berdiskusi santai dengan penonton, untuk mengajak mereka membuat wayang dan menulis cerita/dongeng bersama atau menyadur dari buku atas bimbingan guru/tutor. Durasi berkreasi maksimal 90 menit, dibentuk per grup. Materi untuk membuat wayang disediakan oleh penyelenggara atau peserta membawa sendiri sesuai dengan minat dan kreativitasnya. Penonton diberitahu adanya sessi kreatif tersebut melalui undangan, sehingga mereka mempersiapkan diri untuk berkreasi.

Jakarta, 25 Januari 2017
Naning Pranoto – Yeni Fatmawati

Ungkapan Konjen Tri dan Konjen Hery Setelah Baca Buku Berhikmah BMI

$
0
0

Dunia literasi di kalangan Buruh Migran Indonesia (BMI) tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini dibuktikan dari sebuah buku berjudul Kisah Berhikmah berisi 25 karya tulisan BMI di berbagai negara yaitu Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Belanda, Dubai, Australia, Amerika, New Zealand dan purna BMI di Indonesia.


Buku setebal 289 halaman ini pun rupanya sudah dibaca Konsul Jenderal RI di Hong Kong, Tri Tharyat dan Konsul Jenderal RI di Jeddah, M. Hery Saripudin.

Konjen Tri Tharyat mengaku bangga atas kepercayaan pihak panitia kepada dirinya untuk membuka acara perlombaan di Hong Kong pada April 2017 lalu. Dia juga mendorong buruh migran untuk aktif menulis hal yang positif.

“Tulisan dalam buku ini mecerminkan perasaan dan sikap BMI di berbagai negara dan patut dibaca oleh pemerintah, BMI lain, calon BMI dan pihak lain yang berkepentingan,” katanya saat dikonfirmasi LiputanBMI, Jumat (10/11).

Hal senada juga diungkapkan Konjen RI Jeddah, M. Hery Saripudin setelah membaca buku tersebut. Menurutnya buku itu sangat inspiratif. Dari 25 karya yang disuguhkan, dua diantaranya ditulis buruh migran di Arab Saudi.

Untuk mendapatkan buku tersebut Konjen Hery sampai rela mendatangi seluruh gramedia di Jakarta.

“Saya cari di seluruh gramedia di Jakarta. Hanya ada di matraman,” katanya.

“Satu buku sudah tamat saya baca sepanjang perjalanan Jakarta-Jeddah. Sangat inspiratif,” ujarnya.

Untuk diketahui, kumpulan 25 karya tulisan tersebut merupakan hasil lomba menulis tingkat internasional yang diselenggarakan IClaw. Digagas Yeni Fatmawati Fahmi Idris dan diterbitkan oleh Kosa Kata Kita (KKK). Ketua Pelaksana Lomba Naning Pranoto dan dewan juri Adri Darmaji Woko, Didien Pradoto, Shinta Miranda, Yeni Fatmawati Fahmi Idris dan Yeni Mulati Achmad.

Sumber: LiputanBMI.com

BUKAN SEKADAR ‘MENGGERAKKAN’ PENA

$
0
0

De nihilo nihil – dari sesuatu yang kosong tidak akan dapat dihasilkan apa-apa. Ungkapan yang dicetuskan oleh Aulus Persius Flaccus (34 -62M), penyair dan penulis satir dari Roma itu, pas sekali untuk menilai bobot tulisan seseorang. Penjabarannya, orang yang menulis tanpa membaca maka tulisannya akan hampa – tanpa makna. Karyanya hanya merupakan deretan huruf yang disambung-sambung dengan jumble. Maka dari itu gerakan literasi diperlukan untuk ‘melahirkan’ pembaca dan sekaligus penulis handal agar tercipta manuskrip-manuskrip yang bisa dijadikan sigi keindahan dan kecerdasan.

Secara sederhana gerakan literasi dimaknai sebagai suatu ajakan pada siapa pun untuk gemar pembaca dan menulis (ability to read and to write). Atau dengan kata lain, mereka yang ‘tidur’ untuk dibangunkan melek aksara dan kemudian menggerakan pena dalam arti menulis. Tapi bukan sekadar menulis huruf dan deretan angka, melainkan menulis untuk menuangkan buah pikiran dan mengekspresikan perasaan dengan medium bahasa yang tertata sesuai dengan tulisan yang dituangkan di atas kertas: fiksi atau non-fiksi.

Bahasa untuk menulis jenis tulisan fiksi yang bersifat literer selain tertata juga diperlukan sentuhan keindahan bahasa kalbu yang lahir dari getaran rasa (feelings). Tulisan fiksi literer tercipta melalui proses creative thinking (penulisan kreatif). Sementara itu, bahasa untuk menulis jenis tulisan non-fiksi selain tertata juga diperlukan bahasa yang tegas, lugas, akurat yang lahir dari pikiran (thought). Tulisan jenis ini tercipta melalui proses critical thinking (penulisan kritis). Untuk menulis kedua jenis tulisan tersebut harus dilandasi aktivitas literasi yang kuat agar karya tulisnya tidak termasuk kelas de nihilo nihil.

Sejak usai studi creative writing di sebuah universitas di Australia tahun 2000-an awal, saya aktif sebagai tutor dan mentor creative writing untuk anak-anak usia SD hingga kaum muda yang studi di tingkat perguruan tinggi. Bahkan juga untuk kalangan pendidik dan masyarakat umum yang ingin punya kemampuan menulis untuk berprestasi atau sekadar sebagai hiburan dan therapy. Untuk menunjang keberhasilan mereka mewujudkan goal-nya, saya selalu mendorong bahkan ‘menguber-uber’ mereka untuk gemar membaca bacaan yang terkait dengan bidang menulis yang diminatinya. Hasilnya tampak jelas, yang suka membaca karya tulisan lebih berbobot dibandingkan dengan mereka yang tidak suka membaca. Demikian juga yang rajin menulis bahasa lebih mengalir dan jernih (mudah dimengerti) daripada pada yang ogah-ogahan berlatih menulis. Kemampuan menulis merupakan fondasi untuk ‘menggegam’ buana.

KEPADA TATUI: SEBUAH ARCADIA

$
0
0

Cerita Pendek Naning Pranoto

(Dimuat dalam Antologi Sastra Hijau: Nyanyian dari Hutan, Pantai dan Taman Kota – Penerbit Cantrik Yogyakarta)

Bom dia, Tatui!
Good morning, Tatui!
(Selamat pagi, Tatui!)

Lelaki berkulit tembaga, tubuhnya sekokoh pohon trembesi, menyambut kedatangan kami – delegasi Indonesia dengan senyuman lebar, setelah bersalam bom dia! Dia tidak sendiri dalam menyalami kami, tapi disertai puluhan muda-mudi berkulit warna-warni: dari warna hitam pekat hingga seputih susu krim. Tapi yang terbanyak berkulit tembaga yang kemudian kukenal sebagai mulatto – yaitu muda-mudi blasteran ras kulit hitam dan kulit putih. Di antara mulatto kulihat seorang perempuan bertubuh langsing, rambutnya diurai sebatas pinggang. Hidungnya sangat mancung, bibirnya merekah rona merah jambu dan sepasang bola matanya menyerupai akik dibingkai bulu mata tebal mirip injuk serupa dengan sepasang alisnya yang menyambung. Mata dan alisnya itu mengingatkanku pada pelukis perempuan Meksiko – Frida Kahlo.

“Saya Clairine. Ini Amandus suami saya.” Ucap perempuan yang mirip Frida Kahlo itu, sambil menunjuk ke dada lelaki berkulit tembaga. Kemudian Clairine memperkenalkan muda-mudi yang mendampinginya dengan menyebut nama mereka secara cepat. Yang bisa kutangkap hanya beberapa saja, antara lain Izarra dan Armando – dua nama yang sering kudengar dari layar kaca yang menayangan telenovela, yang banyak digemari kaum ibu di Indonesia.

“Mari, mari silakan masuk, ke ruang makan.” Amandus dengan ramah membawa kami ke suatu ruangan yang mirip pendopo, dikelilingi kebun sayuran dan bibit tanaman.
“Hari ini kami masak nasi untuk Anda semua. Lauknya istimewa, tofu!” Clairine menimpali sambil menunjuk tahu mentah yang dihidangkan di lepek. Di sampingnya, sebakul kecil nasi putih. Piring-piring kecil dan garpu kecil serta gelas kecil pula adalah alat makan kami.

“Selamat makan. Kami mau makan di kebun,” Amandus mempersilakan kami sarapan.
“Terima kasih,” responku, disertai lima teman dari Indonesia.
Kami saling berpandangan, ketika Amandus dan istrinya serta para muda-mudi itu meninggalkan kami menuju ke kebun.

“Nggak salah nih sarapan kita,” bisik Santi – sahabatku, sambil menujuk tahu mentah tiga biji dan nasi yang hanya pas dimakan untuk dua orang.
“Tadi Clairine menyebut sarapan ini istimewa lho.” Bisik Danarto, wartawan koran nasional terbesar di Indonesia, mulutnya mlongo.

Kami berlima tertawa, ditahan. Karena lapar kami pun menyantapnya dengan membagi hidangan yang ada. Santi berlari menuju ke kebun, kuikuti, “Mau ke mana?” tanyaku.
“Mau lihat mereka di kebun sarapan apa?” sahut Santi penasaran. Aku mengikutinya. Tapi sebelum sampai di kebun langkah kami terhenti oleh pemandangan yang menurut kami aneh. Amandus dan istrinya serta para muda-mudi itu sedang menyantap buah-buahan dan sayuran yang langsung mereka petik dari pohon, tanpa dicuci. Mereka menggunakan keranjang ceper sebagai piring dan pisau untuk mengupas buah. Mereka makan dengan nikmat.

“Wadowww…,aneh banget sarapannya.” Santi membelalak, memandangiku. Aku juga demikian. Ketika kami akan kembali ke ruang makan, ternyata teman-teman dari Indonesia sudah berada di belakang kami dan juga membelalak.

“Let’s join us. Sarapan sehat.” Seru Armando ramah, juga istrinya dan para muda-mudi itu.
“Beginilah cara makan kami sebagai neo-humanista – manusia baru yang cinta dan pelestari bumi.” Izarra yang bermata biru menjelaskan pada kami dan didukung oleh teman-temannya.
“Semua yang kami makan tidak ada yang dimasak. Semua dipetik dari pohon. Tanpa bumbu. Tidak usah kami cuci, karena kebun kami steril. Tanaman dan pohon yang ada di sini saling membersihkan dari hama dan penyakit.” Tegas Armando.

“Sesekali kami merebus kentang dan membuat bubur gandum, jika ada kayu bakar dari ranting pohon yang kering. Kami tidak boleh menebang pohon apa pun untuk kayu bakar.” Gadis berkulit langsat menambahi.
*
Kami berada di Tatui, atas undangan sebuah LSM penyelamat pohon yang bermarkas di Stockholm – Swedia. Aloin Laurens sebagai ketuanya, berdarah Belanda. Sayang, dia tidak bisa menyertai kami ke Tatui, karena kekasihnya sedang operasi kanker. Sehingga kami ke Tatui tanpa Aloin. Kami terbang dari Jakarta, transit di Schiphol Belanda sekitar lima jam lalu lanjut terbang ke Sao Paulo – Brazil menjelang senja, tiba di Bumi Amerika Latin itu selepas Subuh. Kami dijemput Salidino, sopir dari Parque Ecologico Tatui yang dipimpin Armado dan istrinya, dari Bandara Sao Paulo menuju Tatui yang berjarak sekitar 160 kilometer.

Sungguh, perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, tapi menarik dan sekaligus menantang. Benar apa yang dikatakan Aloin. “Anda sesampainya di Tatui akan memasuki dunia baru yang penuh tantangan – berperang dengan diri sendiri. Itu neo-humanista, penyelamat Planet Bumi yang gaya hidupnya paradoks dengan modernisasi.”

Kami berenam kompak. Ke Parque Ecologico Tatui untuk mengenal dekat neo-humanista. Di tempat ini kami berkenalan dan bergaul dengan sekitar 30 bangsa dari seluruh lima benua. Masing-masing orang punya keahlian untuk menyelamatkan bumi. Mereka menyebar ke berbagai pelosok Brazil, basecamp-nya di Tatui. Dari 100 orang yang kukenal, dua-pertiganya bergelar akademis doctor dan sisanya otodidak. Tapi tak satu pun dari mereka merasa lebih pandai atau super dari yang lain. Semua menjalin hubungan dengan tanpa kesenggangan karena berpegang satu prinsip: saling asah, asih dan asuh, Toleransi prioritas dijunjung tinggi. Amandus dan istrinya merupakan pelopornya. Suami-istri yang keluarga baron atau tuan tanah ini memang mengabdikan dirinya untuk kelestarian dan eksistensi bumi. Semboyannya: Mari kita cintai dan lestarikan Bumi – Rumah kita satu-satunya.

Ada lima bahasa utama yang digunakan komunikasi di Tatui: Portugis Brazil, Spanyol, Inggris, Perancis dan Belanda. Ketika kami hadir, Bahasa Indonesia menjadi perhatian komunitas Tatui. Kami diminta berbahasa Indonesia dalam presentasi, diterjemahkan oleh Emma Dellios. Dia ahli biologi dari Brisbane Australia, pernah studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan tinggal di Yogyakarta sekitar lima tahun. Maka tak heran dia juga fasih berbahasa Jawa. Emma juga rela menjadi pemandu kami. Jadi, kami tinggal di Tatui hampir satu tahun seperti berada di kampung sendiri.
*
Tatui – kota kecil berlangit biru, dikelilingi ladang anggur. Para petani anggur mulai bekerja sebelum matahari terbit. Di antara mereka ada yang mengendarai kuda atau mobil VW dan hanya satu dua yang berjalan kaki kala menuju ladang. Semua mengenakan topi lebar, pakaiannya stelan warna krem, bersepatu boot hingga bawah lutut. Mereka bekerja hanya setengah hari. Selepas makan siang, mereka bergabung dengan komunitas Parque Ecologico Tatui menggarap lahan hutan buatan atau ikut penelitian tanaman obat di hutan bibir Amazon. Ada juga yang menanam bibit akasia, trembesi, jati dan meranti. Tak sedikit yang gotong royong mendedas dan membasmi sarang-sarang semut dan rayap yang membentuk perbukitan.

“Sarang-sarang semut dan rayap penghancur humus. Mereka ada dan merajalela akibat dari penghancuran hutan tropis selama puluhan tahun yang tiada henti. Wajah bumi pun luka parah. Kami semua sedang mengobati wajah Ibu Bumi.” tutur Clairine, ketika menemani kami menyaksikan bukit sarang semut dan sarang rayap. Berkat kegigihan dan kerja keras para petani anggur serta para relawan neo-humanista, ladang pun berangsur-angsur subur. Brazil kembali bisa mengekspor anggur ke negara-negara tetangga. Bahkan juga mengekspor jeruk jenis Sunkist, jeruk bola (mirip jeruk Bali), pepaya dan apel.

Kami diajak Armando ke perkebunan jeruk dan apel. Para muda-mudi sibuk memilah bunga jeruk dan apel yang dianggap kurang berkualitas jika jadi buah. Kedua bunga itu diolah menjadi minyak pelembab kulit yang sangat ampuh untuk melawan derasnya angin musim rontok dan musim dingin. Pengolah minyak pelembab dilakukan para pakar dari Afrika dan India yang bergabung dalam komunitas neo-humanista. Minyak yang digunakan sebagai ramuannya adalah biji zaitun dan biji bunga matahari, sebagai variannya.

Minyak pelembab itu dijual dengan harga relatif tinggi kepada para istri konglomerat yang juga donatur pemulihan bumi. Oleh para istri konglomerat minyak pelembab itu dijual pada perusahaan kosmetik di Paris yang melayani perawatan kecantikan para bintang film Amerika Latin, Bollywood hingga Hollywood. Hasil penjualannya untuk membangun hutan-hutan lindung, pendidikan masyarakat agar mencintai dan melestarikan bumi dan berkesenian dengan misi melestarikan bumi. Amandus pengelola utamanya.Tak seorang pun yang diberi gaji. Semua bekerja untuk membangun Brazil, negeri tercinta! Sungguh puas, aku dan kawan-kawan pernah menjadi bagian dari mereka, walau peran kami tak seberapa dibandingkan dengan para pakarnya.

*

Tidak ada listrik di Parque Eqologico Tatui. Juga tidak ada air PAM. Yang ada, penerangan dengan mengandalkan tenaga matahari dan air bersih disaring dengan serapan jerami gandum atau serat pandan. Tapi, kami selalu mandi dengan air yang sangat wangi – hasil rendaman kelopak mawar dan melati. Kami minum teh istimewa setiap hari, yaitu rebusan air mint atau air serai dan jahe. Air putih sebagai minuman segar di ambil dari mata air di gugusan hutan Amazon. Mencuci rambut dengan sari getah daun lidah buaya yang ditumbuh liar dari hutan tanaman jamu di sekitar Tatui.

Kualami, rambut berkilau, kulit halus cemerlang, berat badan turun 10 kilogram berkat hidup sebagai vegetarian dan ke mana-mana jalan kaki. Hidup bersama neo-humanista tak perlu uang berlimpah, karena tak pernah ke kota. Masuk kebun, ke luar kebun, masuk hutan ke luar hutan, menyusuri sungai, melintas padang rumput, mendaki perbukitan sarang-sarang semut dan sarang-sarang rayap. Tak pernah jajan camilan atau makanan, semua dipetik dari kebun.

Peluncuran Antologi Sastra Hijau

Peluncuran Antologi Sastra Hijau

Malam hari kami berdiskusi strategi penyelamatan bumi atau mengevaluasi apa yang sudah kami kerjakan untuk mengobati bumi – healing the Mother Earth. Kadang diselingi pembacaan puisi, monolog atau pentas drama mini yang bermisikan Sastra Hijau, yaitu sastra untuk menyelamatkan bumi. Untuk gerakan Sastra Hijau, tiap akhir pekan mengajak student pentas di taman-taman kota atau latihan di parque atau di bibir Sungai Amazon. Aku suka sekali mendengarkan mereka memusikalisasi puisi dengan seruling bambu Indian yang ditiup oleh orang-orang Indian asli. Mereka pentas dalam lingkaran susunan batu, penontonnya duduk di atas pokoh-pokoh kayu, angin semilir terasa sejuk seiring gesekan ranting-ranting willow dan perdu pandan. Aroma alam menguap menebarkan udara segar. Kami makan siang bersama sebagai penutup acara. Menunya, salad daun kol merah, brokoli, mint dan irisan alpokat. Minumnya air sari tebu atau perasan mangga Amazon yang bentuknya mirip mangga golek tapi rasanya semanis madu. Maka tak heran, kala minuman dihidangkan banyak sekali serangga mengerumuni sari buah itu, karena kental akan nectar.

Demikian antara lain hari-hari kami selama di Tatui.

*

Bahagiakah kami tinggal di Tatui?
Aku menjawab dengan jujur: bosan, kala memasuki bulan kedua. Aku ingin rekreasi, keluar dari lingkup Tatui. Aku ingin melihat kota-kota besar Brazil dan tentu saja Rio de Janeiro City yang menjadi prioritas. Teman-temanku juga demikian. Tapi ada penekanan, “Aku rindu makan daging. Aku rindu makan nasi. Aku rindu makan anu…ini anuuuu….!” Semua makanan lezat mereka sebut. Aku ingin makan ikan. Karena aku tak suka makan daging. Tapi tak seorang pun neo-humanista makan makanan yang kami inginkan itu. Mereka sudah meninggalkannya sejak ‘membaptiskan diri’ sebagai manusia baru. Mereka hanya makan buah dan sayuran yang mereka tanam atau yang mereka temukan di hutan. Tapi, mereka minum kopi walau tanpa gula.

Suatu pagi kami pamit pada Amandus dan Clairine untuk meninggalkan Tatui barang sejenak menuju Rio de Janeiro City yang dibingkai pantai indah Copacobana dan Bukit Gula. Mereka memberi saran agar kami menunda dulu ke Rio de Janeiro City ibukota Brazil itu. “Menjelajah Sao Paulo dulu saja. Bulan depan kami siap mengantar Anda semua ke Rio.” Tegas Amandus.

Kami dipinjami mobil dan keliling Sao Paulo City. Besar sekali kota itu, mungkin dua kali lipat luasnya Jakarta. Sao Paolu City adalah paduan kota kuno dan kota modern, pusat industry dan budaya blasteran Latin-Eropa. Di Kota Tua kami menikmati kopi, teman-teman makan steak terlezat dan aku makan ikan bakar bumbu Itali. Kami makna di restoran yang menjadi favorit warga Brazil maupun turis. Tempatnya sangatm unik, berdekor Itali Klasik. Musik opera mengalun lembut, dibelai alunan suara malaekat Maria Callas, Pavarotti, Bucelli, hingga entah siapa lagi aku tak mengenalnya. Yang kurasakan syahdu…

Setelah perut kenyang, kami melangkah shopping. Karena lama tak menggunakan uang, kami kalap berbelanja barang-barang khas Sao Paulo: jaket kulit, sepatu kulit semua serba kulit asli berkualitas. Selain membeli sepatu, aku juga membeli beberapa tas dan topi. Teman-teman membeli sunglasses dan oleh-oleh dompet serta ikat pinggang. Ke luar dari toko ke toko, tangan kami sibuk menjinjing aneka belanjaan. Puncaknya, jaket kulit yang kami beli langsung kami pakai dengan penuh gaya. Tidak lupa, mengenakan kacamata hitam. Kami tertawa lepas, sungguh sangat gembira.

Dari berbelanja, kami lanjut ke pantai menyaksikan gadis-gadis sexy berbikini main voli pantai. Ada juga anak-anak dan remaja yang asyik bermain bola. Tapi yang paling menarik adalah kala kami menyaksikan para cara (cowok) dan garota (cewek) menari samba diiringi hentakan drum. Sementara garota yang lelah berenang leyeh-leyeh di kursi pandai dengan dada telanjang. Para pedagang asongan menawarkan dagangannya dengan gaya jenaka atau menawarkan barang dagangannya dengan menyanyi gaya opera. Kabarnya, di antara mereka ini ada yang menjual maconha semacam marijuana. Ada juga yang tukang copet menyamar sebagai pengamen dan pemijat – begitu yang kami dengar.

Kami kembali ke parquet menjelang malam. Kawanan anjing langsung menerkam kami kala kami turun dari mobil. Kami semua berteriak-teriak ketakutan dan kembali masuk ke mobil dan menguncinya rapat-rapat. Kedua teman kakinya terluka digigit anjing. Amandus dan istrinya ke luar menghampiri kami. Juga beberapa rekan relawan neo-humanista. Mereka terbahak-bahak menyaksikan kami yang meringkuk dalam mobil.

“Makanya, sebaiknya, kalian stop makan daging. Parque ini wilayah bebas daging. Anjing-anjing kami akan menggigit siapa pun yang pemakan daging. Mulailah jadi vegetarian. Penyelamat bumi pantang makan penghuni bumi yang bernyawa selain menghancurkan hutan, sumber daya alam dan speciesnya.” Kata Clairine dengan tenang, tetapi nadanya menggodam.

Kami, sungguh malu. Armando mengajak kami ke luar dari mobil setelah ia mengikat 12 ekor anjing penjaga parque yang mengeroyok kami.

Tatui: Sebuah Arcadia – Kenangan yang Indah
*

Gubug Hijau Rayakultura, akhir Mei 2016

Peran Perempuan tak Bisa Dipandang Sebelah Mata

$
0
0


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perpustakaan MPR menggelar ‘Peringatan Hari Perempuan Internasional 2017’, Kamis (9/3). Dalam acara yang dihadiri oleh Anggota MPR dari Kelompok DPD Asri Anas, Kabiro Humas Siti Fauziah, Kepala Perpustakaan Roosiyah Yuniarsih, itu dibedah buku yang berjudul ‘Resonansi Tiga Hati’ dan ‘Berjuang Tiada Henti’. Sebagai acara yang terkait dengan perempuan maka pembedah buku itu adalah kaum perempuan, seperti Naning Pranoto, Yeni Fatmawati, Evi Harfiah Widiawati, dan Juwariyah Ma’ruf Cahyono.

Asri Anas mengucapkan selamat Hari Perempuan Internasional. Dalam soal perempuan, Asri Anas menuturkan bahwa kaum ini mempunyai peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa. Kaum perempuan menurutnya tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui dirinya sering berorganisasi di mana di situ ada perempuan dan dalam pemilihan terkadang ia kalah.

“Harusnya peringatan ini diperingati secara luar biasa,” ujar pria asal Sulawesi Selatan itu.

Menurut Asri Anas, di Indonesia sendiri ada dua peringatan yang bersinggungan dengan kaum perempuan, yakni Hari Ibu pada 22 Desember dan Hari Kartini pada 21 April. Di hadapan puluhan kaum perempuan yang hadir dalam acara itu, Asri Anas menceritakan dirinya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sering mengunjungi sekolah-sekolah dan memberi motivasi kepada para siswa. Sebagai sosok yang disebut sukses dalam kehidupan, Asri Anas sering ditanya, apa rahasia kesuksesan itu.

“Saya jawab, salah satu kunci sukses adalah memberi penghormatan pada ibu,” ujarnya.

Menghormati ibu menurutnya dilakukan sejak dirinya kecil. Sebagai orangtua, dirinya merasakan susahnya bagaimana menjadi seorang ibu. “Selama ini kaum laki-laki menganggap dirinya ‘super power’ ternyata sangat susah ketika harus mengurus anak-anak,” ungkapnya.

Dirinya merasakan bagaimana harus bisa mengurus tiga anaknya, dari membangunkan hingga menidurkan anak-anak. Diungkapkan, kegagalan dalam rumah tangga disebabkan orangtua terlalu menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah, tempat kursus, atau lembaga-lembaga pendidikan. Untuk mengatasi yang demikian, dirinya sampai-sampai sering ikut seminar mengenai masalah ‘parenting’.

“Jangan terlalu menyerahkan pendidikan kepada bangku sekolah,” ujarnya.

Sumber : Republika

SATRIA DAN SEBUAH KITAB KACA

$
0
0

Konsep Cerita Pementasan Wayang Ijo

SATRIA DAN SEBUAH KITAB KACA

Tokoh
1. Satria (Anak Petani)
2. Pohon Purba (Pohon Hayat)
3. Kitab Kaca (Laptop)

Setting
Bumi Hijau.

Paparan Cerita

Satria, seorang anak petani di kaki Pegunungan Kapur yang gersang. Ia bersekolah di SD Kembang Wangi 2, kelas lima. Gurunya bercerita bahwa Satria itu seorang murid yang rajin, tidak nakal tapi suka melamun. Hobinya menggambar. Yang paling ia sukai menggambar pemandangan alam. Ia pernah ikut lomba menggambar dan menjadi juara pertama se-kabupaten di mana ia tinggal.

“Mengapa kau suka menggambar pemandangan alam?” tanya Pohon Purba, Ketua Dewan Juri Lomba Menggambar.
“Pemandangan alam yang indah, membuat hati saya tentram – adem, begitu.” Sahut Satria.
“Makanya, kau gambar pemandangan yang indah-indah? Padahal pemandangan di sekitar lingkunganmu gersang.” Pohon Purba memandangi Satria dengan seksama.
Satria tersenyum, “Benar, Ki Purba. Itulah yang saya lamunkan siang dan malam. Tapi, saya ndak tahu caranya buat lingkungan sekitar saya menjadi hijau seperti yang saya gambar.” Sahut Satria, jujur.

Pohon Purba dan dewan juri Lomba menggambar saling berpandangan mendengar jawaban Satria.
“Maaf,kalau ucapan saya salah.” Satria salah tingkah. Keringat dingin tiba-tiba membasahi keningnya.
“O, kau tidak bersalah. Kau jujur. Aku akan memberitahumu bagaimana caranya menghijaukan lingkungan sekitarmu seperti apa yang kau gambar.” Tutur Pohon Purba dengan bijak.
“Bagaimana caranya, Ki Purba?” Satria ternganga, “Mana mungkin saya bisa?”
“Kalau kau kerjakan sendiri tentu tidak bisa. Ajaklah teman-temanmu.” Pohon Purba memberi semangat.
“Apakah Ki Purba akan mengajari saya dan teman-teman saya?” tanya Satria tak sabar.
“Ya. Aku akan mendampingi kalian. Dan…Kitab Kaca yang akan membimbingmu.” Pohon Purba menjelaskan, sambil memegangi kotak dan diberikan pada Satria, “Inilah…Kitab Kaca itu. Untukmu. Hadiah sebagai pemenang lomba menggambar – Juara Utama.”
“Laptop? Inikah yang namanya laptop? Kitab Kaca?” mata Satria membelalak. Baginya baru pertama kali itu ia melihatnya secara dekat dan dipeganginya erat-erat. “Bagus sekali. Selama ini hanya saya lihat di tivi.” Sambungnya penuh haru, “Ki Purba, bagaimana caranya menggunakan laptop ini?”

Pohon Purba lalu mengajari Satria menggunakan laptop yang disebut pula sebagai Kitab Kaca. Satria diajaknya berkelana di Kitab Kaca, yang disebut browsing.
“Sebelum mencari tahu cara menghijaukan tanah gersang,kau harus tahu dulu, berapa usia Bumi – rumah kita satu-satunya…,” Pohon Purba mengarahkan. “Nah, kita klik di sini…kata kuncinya Usia Bumi.”

Munculah sebuah artikel:
Ahli geokimia Universitas California Los Angeles( UCLA) menemukan bukti bahwa kehidupan telah ada di Bumi setidaknya 4,1 miliar tahun lalu, 300 juta tahun lebih awal dari dari yang sebelumnya diperkirakan. Penemuan ini menunjukkan bahwa kehidupan di Bumi muncul tak lama setelah planet tersebut terbentuk sekitar 4,54 miliar tahun lalu.
“Wowww…,” seru Satria. “Ternyata bumi seperti manusia ya, Ki Purba. Punya umur.”
“Benar. Bumi seperti kita. Punya umur. Ia hidup dan semakin menua. Ia perlu dirawat karena saat ini sudah sakit-sakitan akibat ulah manusia yang merusak bumi. Mari Bumi kita rawat agar panjang umur.” Pohon Purba menegaskan.

Kemudian Pohon Purba menjelaskan sekilas cara mengawali merawat Bumi secara mudah.
Penghuni Bumi, terhitung pada tanggal 1 Juli 2015 diperkirakan sebanyak 7,324,782,225 jiwa atau bertambah 1.1182% dari tahun sebelumnya yang diperkirakan berjumlah 7,243,784,121 jiwa.

Data tersebut berdasarkan hasil laporan dari Divisi Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebanyak itu pula yang harusnya merawat dan mencintai Bumi. Kini Bumi sudah menua, beragam masalah terus dihadapinya. Yang paling serius, ialah perubahan iklim. Perkembangan zaman memaksa Bumi harus menerima segala perubahan yang akhirnya berdampak tidak baik.

Melalui Hari Bumi, warga dunia diajak berkomitmen untuk mencintai dan merawat Bumi agar ia tetap lestari.
Bagaimana mencintai dan merawat Bumi dengan cara mudah?
Pertama, mengurangi penggunaan energi, caranya sederhana. Coba gunakan transportasi ramah lingkungan seperti sepeda, atau berjalan kaki. Selain sehat, cara ini juga menyehatkan Bumi.
Kurangi makan daging. Industri daging telah menghasilkan seperlima emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.

Kembangkan pupuk kompos. Lebih dari satu miliar pon makanan dibuang tiap tahun. Untuk mengurangi limbah makanan sisa, mengapa tidak mulai membuat pupuk kompos?

Sesuaikan suhu air. Kita pengguna pemanas air untuk mandi? Jika ya, bijaklah cara menggunakannya. Karena limbah pemanas air ternyata juga memberi dampak buruk bagi Bumi.

Berhenti gunakan kantong plastik. Cintai Bumi dengan kurangi penggunaan plastik. Bahan dasar plastik sangat sulit dan membutuhkan waktu lama untuk dapat hancur.

Belilah produk lokal yaitu yang terdekat dari tempat tinggal kita. Apa hubungan produk lokal dengan mencintai Bumi? Ternyata ada hubungan antara produk lokal dengan Bumi. Ketika kita menggunakan produk lokal, maka jarak antar pun ikut berkurang. Dengan demikian, kita telah mengurangi jejak karbon yang dihasilkan dari kendaraan pengantar.

Jangan lupa matikan listrik. Mulai sekarang sebelum pergi, tak ada salahnya untuk mengecek setiap sudut rumah agar tidak ada peralatan listrik yang tertancap pada sumber listrik (kecuali kulkas) dan jangan biarkan lampu menyala terus menerus.

Praktikkan gaya hidup ramah lingkungan dengan penerapan budaya 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). Penerapan 3R tersebut dapat menjadi salah satu solusi permasalahan sampah yang menggunung. Sampah itu selain sumber penyakit juga penyebab banjir.
“Hijaukan lingkungan sekitarnya dengan menanam tanaman dan pohon.” Ki Purba memberi pengarahan.

“Siap!” kata Satria penuh semangat..
Ia pun mengajak teman-temannya mulai merawat dan mencintai Bumi.
Mereka belajar dari Kitab Kaca.

Tanta potentia formae est: PUISI-PUISI YANG MELUKIS GELOMBANG

$
0
0

Oleh Naning Pranoto

Tanta pontentia formae est – Begitu besar kekuatan sebuah keindahan, demikian ungkap Ovid, Penyair Romawi Kuno (20 Maret 43 SM -17M). Keindahan yang dimaksud adalah keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual atau pemikiran. Berbicara mengenai puisi yang ideal, keindahan isinya mencakup dari keempat jenis keindahan tersebut. Atau dengan kata lain, puisi yang ideal isinya ‘harus’ berjiwa keempat jenis keindahan tersebut dan itulah kekuatannya.

Bicara mengenai kekuatan puisi, puisi yang satu dengan yang lainnya tidak sama kadarnya. Itu sangat tergantung pada struktur raga puisi maupun struktur jiwa puisi itu sendiri. Struktur raga puisi antara lain meliputi tipografi (perwajahan tampilan puisi), diksi (pemilihan kata untuk menulis puisi), imajinasi (pengungkapan rasa melalui pancaindera), gaya bahasa (majas) dan rima (persamaan bunyi pada puisi). Struktur jiwa puisi antara lain mencakup tema/makna (sense), perasaan (feelings), nada (tone – menyuarakan rasa) dan pesan (intention).

Dalam hal mencipta struktur puisi secara raga maupun jiwa, masing-masing penyair mempunyai proses kreatif yang berbeda demikian juga bobot dan kekuatan karya-karyanya. Itu sangat tergantung antara lain pada kepekaan terhadap lingkungan, kekayaan batin, luasnya wawasan/pengetahuan, kematangan dalam berpikir, kedalaman dalam kontemplasi menyelami kehidupan, aktualitas pada peristiwa, sosialisasi, pengalaman dalam menulis dan kritis dalam menghadapi kritik. Juga perlu menggarisbawahi: menulis puisi untuk siapa dan apa misinya?

Membaca 29 puisi karya Yeni Fatmawati yang dihimpun dalam antologi berjudul Aku Perempuan, Musafir-Mu ini, pertanyaan tersebut segera bisa terjawab. Perempuan kelahiran Bandung, 5 Januari 1971 yang berprofesi sebagai lawyer itu menulis puisi untuk pembaca tanpa segmentasi strata pendidikan karena puisi-puisinya terang-benderang maka mudah dipahami. Misinya menyajikan berbagai keindahan hidup dari sisi terang maupun sisi gelap. Itulah keistimewaan dari puisi-puisi karya Yeni mampu mengekspresikan suara jiwanya yang senantiasa optismistis, bahwa hidup ini indah walau penuh gelombang pembawa petaka. Karena ia yakin di balik petaka ada hikmah-Nya yang indah, seperti yang ia paparkan dalam puisinya berikut ini:

KIDUNG BUKIT KARANG DAN GELOMBANG

Kala aku memandang laut lepas
Barisan bukit karang di ujung mataku menjajar cadas
Tetiba gulungan ombak menghantamnya – menghempas
Ombak tiada henti membentur, bibir karang tersenyum lepas
Tak secuil pun bujur-bentang barisnya terkikis kandas
Aku terpana akan cadasnya karang yang tegar memegas

Pandangku terus terpatri pada wajah laut lepas
Pergulatan ombak dan bukit-bukit karang belum juga pungkas
Hingga debur-bentur nya menghentak-hentak jantungku yang pias
Perasaanku terombang-ambing dalam gelombang perang laut buas
Aku was-was: siapakah yang akan kalah dan meremuk tewas?
Oh, barisan bukit karang tetap menegak di kubah laut biru – merdeka bebas!

Mataku melacak tapak-tapak gelombang yang melipat di laut tenang
Mereka kibarkan bendera putih pada bukit karang, simbol kalah perang
Barisan bukit karang membalasnya dengan salam lima jari damai dan riang
Aku terpana pada gelombang, bukit karang dan laut-Nya pendadar benderang
Semua mengajarkan kearifan tentang kehidupan yang selaras dan seimbang
Ya, Allah jadikan aku setegar bukit karang yang tak luluh dihantam gelombang
*
Puisi merupakan ekspresi perasaan atau kata hati si penyair, demikian pendapat I.A. Richards (1893-1979), kritikus sastra terkemuka Inggris. Mencermati puisi-puisi karya Yeni dalam antologi ini pendapat Richards tak terbantahkan. Yeni yang juga pelukis dan pematung ini sejak kecil menggandrungi seni tari dan baca puisi serta hobi olahraga dan traveling membuatnya lekat dengan seni dan dekat dengan alam. Faktor tersebut membuat puisi-puisinya ‘bernyawa’ alam. Demikian pula karya lukisan-lukisannya yang menyertai puisi-puisi karyanya dalam antologi yang sedang Anda nikmati. Baginya, natura artis magistra – alam itu adalah guru kesenian yang mengejawantahkan Maha Cahaya-Nya. Dari kesadaran itu Yeni, ibu dari Reihan Abhipradana dan Naura Ambareswari menulis puisi alit berikut:

KALA HUJAN PAGI DI CIBODAS

Pada mulanya rintik tipis
Angin pagi tak mampu menepis
Untai rintik menjelma gadis manis
Menebar hujan lebat berirama liris
Jemarinya yang lentik goreskan puisi mistis
Bait-baitnya menghias jendela bergorden tipis
Judulnya menumbuh trembesi, minta kulukis:
Batangnya tuma’ninah mengarah kiblat
Daun-daunnya membungkuk rukuk
Akar-akarnya bersujud di harum tanah gembur
Aku terpaku, kuas lukisku melafalkan rona Maha Cahanya-Nya
Subhanallah walhamdulillah walailahaillallah wallahuakbar

KIDUNG EMBUN

Kala fajar menebar kesumba
Kusibak dekapan hangat melenakan
Dalam rengkuh kelompak mimpi kefanaanku
Gema adzan memanggilku untuk menghadap-Mu

Sungguh indah subuh berjamaah
Menghadap-Mu dengan khidmat
Untaian doa melafal terasa nikmat
Bersamamu, kekasih – imamku

Melepas mukena, membuka jendela
Bulir-bulir embun berkidung membelai daun-daun
Kusentuh tetesnya yang sebening bola mata bidadari
Membiaskan berkah-Nya , menyulam bahasa cinta

*
Sebuah karya seni (termasuk puisi) adalah perwujudan artistik yang merupakan hasil katarsis disertai dengan estetika, demikian pendapat Aristoteles (384 SM – 322 SM) filsuf Yunani dalam bukunya yang berjudul Poetika (Poetics). Puisi karya Yeni yang berjudul Aku Perempuan, Musafir-Mu dan Terima Kasih, Perempuan Berkerudung jelas sekali merupakan pancaran katarsisnya. Ia curahkan gelora batinnya dalam meniti perjalanan hidupnya. Mari kita simak da resapi:

AKU PEREMPUAN, MUSAFIR-MU

Aku bukan perempuan lemah
Kaki ini kuat melangkah jauh sudah
Jauh, jauh…. jauh
Karir kuititi dari warsa ke warsa menjadi swasa
Bukan sekadar mencari eksistensi diri
Tapi, aku ingin menjadi musafir-Mu sejati

Ya, Allah jadikan peranku bukan peran figuran
Karena aku musafir-Mu, ini jalan kutuju
Acap manis pahit getir
Tempuhi peta yang telah Engkau gariskan
Lurus dan berliku
Terjal dan berbatu
Kadang aku tersandung
Sering pula aku tersanjung

Tuhanku,
Aku musafir-Mu
Telah Engkau lapangkan ikhtiarku
Engkau bimbing aku, membendung nafsuku
Meniti kemuliaan membasuh kehinaan
Hingga aku tahu memilih:
Tidak menjadi perempuan lemah dan remah

Tuhanku,
Karena Engkau aku menjadi tak sekadar berkubang duniawi
Air mataku menetes, Ya Allah kala Engkau jadikan aku pohon
Sosok Pohon Kasih Sayang, berdaun cinta dan berbuah kebahagian
Daun-daunku pun merindang, sesamaku berteduh dan bersandar di batangku yang hangat
Semesta merangkulku, rumput hijau menggelar menjadi pijakanku
Ya, Allah Engkau sungguh menimangku dalam kemuliaan-Mu
Aku musafir-Mu
Aku bersimpuh di kaki-Mu

TERIMA KASIH, PEREMPUAN KERUNDUNG
Perempuan itu berkerudung
Berbalut hias nan wangi
Bertutur manis kata
Duhai, tampak sempurna

Tapi aku tercekat tertegun
Kala ia semburkan tipu muslihat tampak nyata
Oh, perih – apa arti atributmu yang wangi itu?
Nanar aku tak percaya
Jiwaku berpeluh pedih mendoa:
Tuhan ajari aku memaknai hidup
Ajari aku tentang kitab rupa-rupa manusia
Ajari pula aku tersenyum membacanya

Aku bercermin pada hatiku
Sekerat hati cerminan diri
Aku berkaca pada jiwaku
Berbenah perilaku
Tubuh ini hanya pelayan hati

Aku terus mengembara
Temukan arti cahaya sekerat hati
Terima kasih, Perempuan Berkerundung
Aku ikhlas, kau buat hidupku lebih berwarna

*
Puisi itu lebih halus dan lebih filosofis daripada sejarah. Puisi mengungkapkan hal-hal universal, dan sejarah hanya topik khusus, Aristoteles mendifisnikan puisi. Maka seyogyanya menulis puisi itu untuk menciptakan keindahan, kedamaian dan cinta. Bicara mengenai puisi cinta pada umumnya orang berasosiasi pada puisi-puisi yang romantis atau melankolis seperti puisi-puisi karya penyair terkemuka Lebanon Kahlil Gibran (1883-1931) atau puisi-puisi karya penyair terkemuka Indonesia Sapardi Djoko Damono (1940- ) yang banyak digandrungi para penikmat puisi strata usia remaja hingga warior (warga senior).

Yeni Fatmawati juga menulis puisi-puisi cinta tapi diksinya tidak seromantis puisi-puisi karya Gibran maupun puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono. Walau sangat mengapresiasi karya-karya puisi kedua Begawan Penyair itu, tapi perempuan yang pernah menjabat pucuk pimpinan di beberapa perusahaan multinasional itu tak terpengaruh oleh diksi maupun gaya bahasa mereka. Yeni yang menghabiskan masa kanak-kanaknya hingga menjelang remajanya di Aceh itu dalam mencipta puisi boleh dikatakan menjunjung tinggi orisinalitas atas kreativitasnya sendiri. Sehingga, kala saya menikmati puisi-puisi yang ada dalam antologi ini saya tidak ‘terpolusi’ oleh asosiasi puisi karya penyair-penyair terkemuka di Tanah Air maupun penyair-penyair dari kondang dari berbagai mancanegara. Puisi-puisi Yeni adalah milik Yeni Fatmawati seadanya tapi utuh, walau memang masih dalam proses menuju summa.

Sebagai penutup, saya sajikan dua puisi cinta karya Yeni yang ia tujukan untuk suaminya yang tercinta Fahmi Idris, seorang aktivis, polisi senior, menteri Kabinet Presiden J.B. Habibie dan menteri Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla serta pebisnis terkemuka Indonesia.

LELAKI POHON

Kau tegak kokoh berdiri
Akarmu memaku erat bumi
Pucuk-pucuk daunmu melukis lazuardi
Daun-daun hijaumu memayung merindang
Ranting rantingmu lentur mendendang
Dahan-dahanmu menumbuh doa menjulang
Yang bengkok terseleksi alam, patah menghilang
Kau perkasa, tumpuan harapan
Tak lelah jaga hamparan wana hutan-hutan
Murnikan udara Kutub Utara- Kutub Selatan
Kau paru-paru makluk sedunia sepanjang zaman
Taktumbang walau angin dan badai menerjang
Kau pun takmengerang kala halilintar menyambar garang
Waktu demi waktu daun-daun kuning emasmu menanggal
Menjelma humus suburkan bumi tanpa batas jengkal
Kini, usia paruh bayamu telah jauh terlampaui
Kau tetap teguh melegenda laksanakan bakti
Aku bersyukur, Allah mengutusku mendampingi:
Kau lelakiku – pohon kehidupanku nan sejati
Di rindangmu aku berlabuh hingga nafas berhenti
Doaku untukmu selalu mengiringi

Suatu Hari di Piazza San Marco

Tiba-tiba Venesia menyapaku dengan wajah merona
Ia membawa catatan cinta yang dihela sebuah gondola
Lantunan merdu soprano Besame Mucho mengiringinya
Hadirkan kenanganku di Piazza San Marco warisan Italia Lama

Sungguh tintaku tak bermaksud menulis puisi romantis
Tapi lembar-lembar catatan cinta tak bisa begitu saja kutepis
Sepasang hati, dua cangkir kopi dan dua iris tiramusi terlukis
Meneguhkan dua raga melebur jadi satu jiwa sirnakan egois

Besame, besame mucho – alunkan kidung kemesraan
Dia – belahan hatiku, membelai jantungku lembut… nian
“Kau akan menjadi milikku selamanya,” – begitu dia bisikan
Jantungku pun membunga mawar berkelopak sayap-sayap berlian

Besame, besame mucho – belahan hatiku kidungkan langgam hati
Que tengo miedo a perderte, perderte despues – dia terus bernyanyi
Que tengo miedo a perderte Perderte después – suaranya meninggi

“Ciumlah aku! Cintailah aku selama!” dia untai kata bernyawa puisi

Suaranya menggema menyusup kubah Basilika Santo Markus pesaksi

Pintanya kujawab dalam diam,”Aku berjanji. Mencintaimu. Mencintai!”

Bessame, besame mucho: denting piano lupa menghenti…

 

Berikut ini puisi karya Yeni untuk kedua putra-putri: Reihan dan Naura.

PERMATA JIWA

Tak kan pernah kuasa aku
Melampaui waktu demi waktu
Tanpa kedua permata jiwaku

Ya Allah…
Di ufuk timur fajar merekah
Ramah menyapa bangunkan lelap mereka
Menata kesiapan hati, merajut benang cita
Semangat menatap hari-hari penuh harap

Ya Tuhan
Basahi wajah keduanya dengan air arasy-Mu
Agar selalu tunduk tawadhu
Ikhlas menerima segala takdirMu
Meniti kehidupan dalam tulus senyuman

Permata-permata jiwa: inspirasiku
Pendulang cita dan semangatku
Pengetuk irama jantungku
Suka duka kan kulewati bersamamu

Syukurku pada-Mu ya Allah
AmanahMu kepadaku begitu indah
Ya, anugerah terbaik dan terindah.

*

Selamat membaca puisi-puisi lainnya yang ada dalam antologi ini. Puisi-puisi renungan yang cerdas dibalut ketaqwaan dan keindahan. Sehingga sisi gelap kehidupan yang ada mengkiblat pada Maha Cahanya-Nya. Amin ya Rabbal’alamin.

Gubug Hijau Mbok Noto – Sentul City Bogor, awal Desember 2017


DAUN TEBU KEEMASAN

$
0
0

Oleh Pipiek Isfianti

“Gus, tolong cari bapakmu. Sudah hampir adzan maghrib. Sejak tadi siang belum makan,” kata ibu sendu. Matanya yang sudah menua itu tampak semakin lelah.
Aku yang saat itu sedang merevisi skripsiku seketika menghentikan tanganku yang sedang menari di atas tuts laptop,

“Baik Bu,” jawabku singkat. Tanpa perlu bertanya harus mencari bapak kemana dan di mana. Semua orang di rumah ini, ibu, aku, kedua adikku Mae dan Naja, tahu ke mana harus mencari bapak.
Pelan kustater motor bututku. Selesai ke luar dari kampungku, aku harus memutari tembok perumahan yang membatasi perumahan dan kampungku hingga bisa sampai di pintu gerbang. Sesampai di pintu gerbang perumahan, seperti biasa dua satpam yang berjaga di sana langsung mengangguk melihatku. Mereka tahu persis untuk apa aku hampir tiap hari memasuki gerbang perumahan, padahal tak punya rumah atau pun kenalan di situ.

Setelah melintasi blok A, B, C dan D, akhirnya sampailah aku di blok E, yang sebenarnya hanya berbatasan tembok dengan kampungku. Jadi kampungku dan perumahan itu hanya dibatasi oleh sebuah tembok yang mengelilingi perumahan.

Sampai di Blok E yang paling ujung, aku lagi-lagi terpekur. Dadaku kembali terasa sesak, padahal sudah berkali-kali bahkan puluhan atau bahkan ratusan kali aku melihat pemandangan seperti itu. Melihat punggung bapak yang membelakangiku. Melihat sepedanya yang bersandar di batang tebu dengan begitu saja, juga menyaksikan asap rokok mengepul dari balik wajahnya. Tubuhku bergetar, melihat punggung tua itu semakin kurus dan mengecil saja. Punggung yang sebelum ini selama puluhan tahun menjadi tulang punggung keluarga kami. Punggung yang selama ini membungkuk untuk menanam tebu atau mengangkut batang-batang tebu yang menjadi sumber kehidupan kami.

Aku mendekati lelaki lima puluh delapan tahun, pengukir jiwa ragaku itu. Angin sore berdesir, langkahku terdengar bapak. Ia pun menatapku sekilas, tersenyum lamat, tapi kembali berpaling, menatap kembali daun-daun tebu yang berwarna keemasan ditimpa cahaya matahari yang mulai bergerak ke arah barat,
“Bapak, diminta ibu pulang, hampir maghrib. Bapak juga sedari siang belum makan kan Pak?” kataku hati-hati.
Bapak mengangguk, kembali tersenyum lamat. Tapi ia kembali menyalakan rokoknya yang tadi sepertinya sempat mati karena angin.

“Lihatlah Gus, batang-batang tebu ini sudah mulai membesar dan tinggi,” kata bapak tiba-tiba, sembari mengelus sebuah batang tebu di depannya. Dengan begitu hati-hati, bapak mengelus lapisan lilin di batang tebu yang berwarna putih keabu-abuan itu. Tangan tua dan hitam bapak, agak berhenti saat jarinya menyentuh ruas-ruas batang yang dibatasi oleh buku-buku yang merupakan tempat duduk daun. Lalu tangan bapak berhenti mendadak saat tiba pada ketiak daun tempat terdapat sebuah kuncup. Tiba-tiba bapak mencium kuncup itu lembut.

“Hem..baunya mulai mengharum. Biarkan aku sejenak di sini dulu ya.” kata bapak tenang.
Tubuhku bergetar. Lalu kuhela napas panjang, mataku mulai memanas. Ya, sejak tiga tahun lalu, aku harus rajin meminta bapak pulang dari kebnn tebu yang luasnya hanya tujuh kali empat belas meter ini. Itu satu-satunya kebun tebu yang masih ada di kampungku, bahkan mungkin di desaku. Kebun tebu itu bukan milik bapak, tapi milik bulik (ibu cilik alias bibi) Ainun, adik bapak. Kebun itu pun sama sekali tak terurus, karena ditinggal bulik Ainun dan keluarganya entah ke mana setelah peristiwa yang membuat luka hati bapak, hati kami sekeluarga.
Sungguh, tiba-tiba peristiwa itu berkelebat di kepala, menorehkan rasa nyeri. Walaupun mati-matian selama ini kami coba untuk menghapusnya, tapi nyatanya masih saja terasa. Sore itu bulik Ainun datang ke rumah kami. Bapak disodorinya brosur-brosur tentang umroh. Mata bapak seketika bersinar-sinar, apalagi bulik Ainun menceritakan bahwa biro perjalanan milik suami barunya yang ia kenal saat menjadi TKW itu memberi diskon yang besar jika berangkat umroh tahun saat brosur tersebut ditunjukkan pada bapak.
“Tapi aku uang darimana Nun, untuk bisa berangkat umroh?” tanya bapak. Ada rasa kecewa di nada suara bapak.

Suami bulik Ainun yang baru menikahinya tiga bulan lalu itu, Om Hasim langsung membujuk bapak agar menjual kebun tebunya. “Dijual saja kebun tebunya Kang,” kata Om Hasim.
Mendengar jawaban adik iparnya itu, mata bapak langsung terbelalak, kepalanya menggeleng kuat-kuat, “Tidak bisa, lalu aku kerja apa? Kebun tebu itu yang telah menghidupi keluargaku selama puluhan tahun. Sejak sebelum aku menikah, sampai anak-anakku lahir,” tegas bapak.

“Bagus kuliahnya kan dapat beasiswa.Gratis, Kang. Mae dan Naja juga habis lulus SMK akan bekerja,” jawab bulik Ainun. “Ayolah Kang, ini kesempatan luar biasa. Kapan lagi Kang Bahar mau berangkat umroh. Masak hidup sekali kita nggak bisa menginjakkan kaki ke TanahSuci. Sia-sia sekali hidup kita Kang.”

Ibu yang tadi terdiam, ikut membujuk bapak. “Pak, kalau bapak ingin berangkat, jual saja kebun tebu kita. Tak apa-apa Pak. Asal bapak bisa berangkat umroh. Ibu kan masih bisa jualan sayuran di pasar.”
Bapak terdiam. Lalu menghela napas. Terasa begitu berat. Aku sebagai anak sulungnya, anak lelaki satu-satunya, yang tahu persis bagaimana bapak begitu mencintai kebun tebunya itu menjadi begitu paham apa yang dirasakan bapak. Aku bisa menangkap keresahan bapak. Bayangkan aku yang sejak kecil selalu menemani bapak bekerja, menghabiskan waktunya di kebun tebu kami. Dengan mata kecilku, aku melihat bagaimana menyatunya bapak dengan kebun tebunya. Aku melihat bagaimana bapak sejak mulai memilih bibit tebu sampai memanennya.

“Gus, lihat kemari, bibit tebu itu ada empat macam. Bibit pucuk, batang muda, rayungan dan siwilan,” kata bapak seperti dosenku jika sedang menerangkan mata kuliah. Ia sangat paham akan pekerjaannya sebagai petani tebu yang dituruninya dari kakekku. Lalu bapak menerangkan dengan penuh semangat, bahwa pada bibit pertama atau bibit pucuk, kita dapat mengambilnya dari tanaman tebu yang telah memasuki umur satu tahun.
“Nah kita ambil sebanyak dua sampai tiga buah tunas muda yang panjangnya antara 20 centimeter,” lanjut bapak menggebu.

Aku manggut-manggut. Bapak memang sudah menyatu dengan tanaman bernama tebu itu. Ia juga menyatu dengan tanah yang diolahnya, sepenuh jiwa. “Nenek moyangku itu, ya kakek nenek buyutmu itu adalah petani, Gus. Mereka hidup dari tanah, air, dan udara yang diciptakan Tuhan. Makanya kita harus menjaga bumi ini dengan sepenuh jiwa kita. Jangan sampai kita melukai bumi, sesuatu yang telah menghidupi kita selama ini,” nasihat bapak padaku dengan sungguh-sungguh.

Bapak adalah salah seorang yang aku tahu betul selalu menjaga bumi, yang kata bapak jangan sampai terluka. Ia mengolah tanahnya dengan segenap jiwa raganya, menanam tebu. Ia mempelakukan bumi ini dengan penuh cinta, karena sadar bahwa dari bumilah kami sekeluarga hidup. Maka ia terus menikmati semua proses tanam tebu itu. Selama itu segala harapan dan doa tercurah, agar panen tebu berhasil. Kala musim tanam tebu, bapak menyambutnya dengan riang gembira. Karena di daerahku merupakan daerah kering, maka musim tanam tiba pada bulan Oktober hingga Desember.
Bapak juga pernah bilang, jika menanam tebu harus dengan hati yang riang gembira. Tebu juga harus ditanam saat cuaca dan langit cerah. “Karena tebu itu penghasil gula, bagaimana mungkin tebunya akan manis, kalau kita menanamnya dengan marah? Nanti gulanya jadi pahit!” kata bapak sembari terkekeh.

Mungkin bapak sedang bercanda dan menggodaku, karena aku yang saat itu harus membantunya menanam tebu sedang dalam keadaan marah.

Aku juga ingat bagaimana bapak menyiapkan sendiri lahan yang hendak ditanami tebu. Ia membajak lahan, agar menjadi gembur. Kemudian ia membuat alur-alur untuk memulai menanam bibit tebunya.

Bapak dan tebu memang tak bisa dipisahkan. Aku sejak kecil, menikmati dan menyaksikan hal itu. Apalagi jika musim panen tiba. Alangkah ramai dan riuhnya desa kami. Truk-truk pengangkut tebu akan hilir mudik datang ke desaku. Mengangkut batang-batang tebu yang akan disetor ke Pabrik Gula yang letaknya tak begitu jauh dari desaku, untuk proses giling menjadi gula.

Aku ingat betul, jika truk-truk itu mulai lewat melintas, aku dan teman-temanku akan berebut menarikki tebu yang menjuntai ke bawah. Kami akan bersorak girang, jika salah satu di antara kami berhasil mendapatkan sebatang tebu.
Jika melihat hal itu, bapak pasti marah, “Jangan ikut-ikutan menariki tebu yang diangkut truk yang sedang berjalan. Itu bahaya!” kata bapak keras. Aku mengiyakannya. Tapi bapak tak tahu, setelah itu aku bersama teman-temanku bergantian menariki batang-batang tebu yang diangkut oleh lori-lori kereta pengangkut tebu milik Pabrik Gula di kotaku. Karena letak pabrik yang tidak seberapa jauh dari desaku, membuat aku dan teman-temanku akan sering ke sana.

Kemudian kami berdiri di sepanjang rel, menunggu lori-lori yang mengangkuti tebu. Sama seperti saat kami menariki batang-batang tebu dari truk yang melintas, menarik batang tebu dari lori lori kereta pengangkut tebu justru lebih seru. Padahal, bisa saja kami dengan mudah mengambil dari kebun, tapi entahlah ada perasaan yang meluap jika berhasil menarik tebu dari truk ataupun dari lori kereta. Saat lori akan melintas, kami siap-siap di pinggiran rel. Lalu begitu lori-lori itu berada tepat di depan kami, secepat kilat kami berebutan menarik batang-batang tebu yang sudah disusun di lori- lori kereta. Kami pun terbahak jika berhasil.

Aksi kami berhenti serta lari tunggang langgang, jika suara mandor pabrik gula sudah meneriaki dan memarahi kami. Ia mengacung ngacungi kami dengan batang tebu yang panjang. Sungguh, itulah masa-masa yang paling membahagiakan bagiku. Walaupun aku baru tahu sekarang, bahwa musim panen sebenarnya juga belum musim yang sepenuhnya menggembirakan bagi bapak dan petani tebu yang lain. Setiap tahun mereka akan selalu was was dengan hasil panennya. Sering, angka rendemen atau kandungan gula dalam tebu tidak menggembirakan. Hanya mencapai 6,5 persen yang artinya hasil yang diperoleh bapak hanya menutup ongkos produksi. Tapi entahlah, bapak sepertinya menjalani semuanya dengan lapang dada. Tak pernah ia memperlihatkan rasa kuatirnya kepada kami. Ia terus menanam tebu, terus menanam dan menanam dengan sepenuh hati.

Datanglah musim giling tebu yang begitu kami tunggu-tunggu. Yakni mantenan tebu. Menikahkan dua batang tebu sebelum masuk ke penggilingan. Tradisi yang digelar tiap tahun ini persis pernikahan dua sejoli yang begitu meriah. Dua batang tebu yang telah diberi nama pria dan wanita dinikahkan di masjid desa dengan proses ijab kabul.\

“Supaya memberi keturunan tebu yang banyak dan bagus,” terang bapak.”Supaya bumi menerima ikhtiar kita untuk melalui proses tanam selanjutnya. Karena bumi itu hidup, Nang. Bumi punya perasaan, sehingga ia harus kita hormati dan kita jaga dengan segenap jiwa,” sambung bapak begitu sungguh-sungguh. Aku sendiri hanya melongo mendengar kalimat-kalimatnya yang ia ucapkan dengan suara bergetar itu. Aku tak paham maksud bapak saat itu. Aku baru paham saat menjelang akil baligh.

Setelah proses ijab kabul, dengan dipimpin tokoh adat desa, manten tebu diarak dengan membawa tandu oleh beberapa pengiring dengan pakaian Jawa lengkap. Kirab berjalan menuju Pabrik Gula. Selanjutnya memasukkan pasangan penganten tebu itu ke tempat penggilingan tebu. Pasangan penganten akan disambut meriah dengan gending-gending Jawa dan sorak riuh penonton yang mengelu-elukannya. Aku selalu bergidik jika sampai pada proses itu. Sebab pengantin tebu itu di mataku bagaikan dua orang yang betul-betul hidup. Auranya memancar seperti manusia, padahal hanya dua batang tebu yang didandani seperti pengantin manusia.

Sampai di mesin penggilingan, manten tebu akan diterima oleh Kepala Pabrik Gula. Ia menerima seserahan yang dibawa oleh sesepuh desa kami. Selanjutnya, tibalah saat yang membuat warga yang menyaksikan akan berdebar. Yaitu saat manten tebu dibawa beramai-ramai menuju tempat penggilingan tebu. Di belakang tandu penganten, ada beberapa batang tebu sebagai simbol rendemen kali ini. Ada juga kembang mayang dan janur kuning yang menyertai seserahan pengantin itu.

Di dalam pabrik, ramai ratusan orang sudah menunggu untuk menyaksikan puncak dari proses mantenan tebu. Suara sorak sorai manusia berbaur dengan riuhnya suara mesin penggilingan yang telah menyala hidup dan memekakkan telinga.
Lalu, dimasukkanlah sepasang penganten tebu itu ke dalam mesin penggilingan. Kres kres kres…suaranya terasa menggilas di hatiku. Selanjutnya, menyusul beberapa batang tebu yang mengiringi kembang mayang dan janur kuning. Semua hancur lebur, digilas habis oleh mesin penggilingan yang menderu.

Orang-orang akan saling berebut untuk mendapat sisa dari penggilingan sang pengantin tebu. Begitu pula bapak. Kata bapak, sisa penggilingan pengantin tebu itu adalah berkah supaya hasil panen ke depan bagus dan tidak mengecewakan.

“Ini juga bentuk rasa syukur bahwa Allah sudah memberikan bumi dan seluruh isinya untuk kita ambil manfaatnya,” kata bapak sembari matanya berkaca-kaca tiap kali usai menyaksikan acara manten tebu.

Malam harinya, akan diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk di halaman Pabrik Gula. Bersamaan dengan digelarnya pasar malam yang menjual berbagai jenis makanan dan dolanan anak-anak. Bapak akan membebaskan kami membeli jajanan dan dolanan yang hanya bisa kami beli jika ada pasar malam seusai panen. Ibu juga boleh memilih baju dan kerudung baru, yang hanya bisa dia beli saat musim panen tiba. Seusai berbelanja, bapak juga akan mengajak kami makan sate kerbau, makanan khas daerah kami. Sate Kebo Kudus, memang lain rasanya dibandingkan dengan sate ayam maupun sate kelinci.

Sate Kerbau Kudus dihidangkan dengan nasi dan sambal bumbu kacang. Ditambah sambal dari cabai merah dan hijau yang digerus halus setelah direbus. Yang aku suka, aku bisa mengambil bumbu kacang sepuasnya. Karena ditempatkan di piring yang berbeda. Bumbunya hem… enak sekali. Perpaduan antara rasa manis dan sedikit pedas. Mungkin terasa sangat manis bagi lidah orang di luar Kudus. Daging kerbaunya terasa sangat lunak. Sebab memang direbus berjam-jam, kemudian ditumbuk sebelum dibumbui dengan ketumbar dan rempah-rempah yang terasa meresap sampai ke dalam dagingnya.

Bapak sering bercerita, bahwa sate kerbau bukan sekadar makanan khas daerah kami. Tapi ada sejarah yang luar biasa yang mengiringi keberadaan sate kerbau. Ia menjadi simbol toleransi beragama antara umat Islam dan Hindu. “Karena sapi bagi masyarakat Hindu merupakan hewan suci, maka untuk menghormati umat Hindu yang telah terlebih dahulu ada di Kudus, Kanjeng Sunan Kudus melarang umat Islam di Kudus menyembelih sapi ataupun mengkonsumsinya sebagai makanan. Itu memang bukan perintah agama, tapi perintah leluhur, nenek moyang kita. Bagi bapak sendiri berpedoman, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Kata-kata bapak itulah, yang akhirnya baru aku pahami saat aku mulai beranjak remaja, membuatku tak pernah berani memakan daging sapi, walau aku ingin sekali. Bapak, juga warga Kudus lain yang masih menjunjung tinggi pesan Kanjeng Sunan Kudus, setiap hari raya kurban, tak ada yang menyembelih sapi. Yang mereka sembelih kerbau atau kambing. Sayangnya, sekalipun sate kerbau adalah makanan khas daerahku, tapi kami sangat jarang memakannya. Karena harganya yang mahal bagi ukuran kami. Maka, kami hanya bisa makan sate tersebut di saat hari raya kurban dan di saat musim panen tebu. Kenangan itu begitu melekat di batok kepalaku, membuat aku begitu merindukan masa-masa itu.

Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah, menjadi hal yang menyakitkan bagi keluarga kami. Terlebih buat bapak. Keinginan yang begitu besar dan kuat bapak untuk menginjakkan kaki ke Tanah Suci, membuat bapak akhirnya menjual kebun tebu satu-satunya, peninggalan orang tuanya kepada pihak perumahan untuk dijadikan rumah di blok E ini. Aku memahami hal itu. Bapak ingin sekali berangkat umroh, sebuah keinginan yang bertahun-tahun ia impikan. Bahkan sejak kecil. Sebab bapak berkeyakinan, bahwa belum sempurna hidupnya jika belum menginjakkan kaki ke Tanah Suci.

Impian-impian bapak melihat Nabawi dan Kabah, akhirnya hanya menjadi sebuah hal yang paling memilukan, saat keberangkatan yang ditunggu tak kunjung tiba. Bolak balik bapak mengurusnya di kantor biro yang katanya milik suami baru bulik Ainun itu. Pihak biro selalu menyatakan, karena sesuatu hal keberangkatan umroh bapak diundur. Entah sampai kapan.

Hingga pagi itu kulihat bapak duduk mematung di teras depan. Wajahnya mengeras, tapi matanya kosong dan tubuhnya seperti lunglai tak berdaya. Ibu menangis tersedu di ruang tamu. Baju-baju ihram dan koper yang sudah dipersiapkan, tergeletak begitu saja. Menjadi saksi pilu, bahwa telah ada kepastian bahwa keberangkatan umroh bapak beserta puluhan calon jamaah yang lain gagal. Biro haji dan umroh itu ternyata penipu. Bapak sudah kehilangan segala-galanya: kebun tebunya, harga dirinya, impiannya untuk bisa melihat Baitullah secara langsung, yang selama usia bapak hanya bisa dilihatnya di sajadah lusuhnya.

Bulik Ainun dan keluarganya tiba-tiba raib entah kemana. Tapi bapak tak pernah dendam pada adik satu-satunya itu, juga pada suaminya. Bapak menerima kekecewaannya untuk dirinya sendiri. Tapi kami tahu, bahwa bapak begitu sakit dan terpuruk. Hingga membuatnya menjadi berubah. Mata tuanya tak lagi menyala-nyala seperti dulu. Tubuhnya yang sekalipun telah mulai menua tapi tetap tegap dan kekar dulu, tiba-tiba mulai membungkuk dengan cepat. Bapak juga semakin menjadi kurus dan pucat.

Sejak peristiwa itu, bapak seperti kehilangan dirinya. Setiap sore menjelang senja, ia pergi menuju perumahan yang telah membatasi dirinya dengan tembok tinggi. Bapak selalu mengunjungi kebun tebu milik bulik Ainun yang juga entah keberadaan kebun itu menjadi milik siapa. Tidak jelas, apakah masih menjadi milik bulik Ainun ataukan sudah berpindah tangan? Yang jelas, hanya sepetak kebun itu saja yang masih tersisa, itu pun telah berada di lingkungan perumahan. Tak terurus dan terbengkelai.

Bapaklah yang selama ini berusaha merawatnya dengan sekadarnya, Karena memang sejak dulu bulik Ainun yang bertahun-tahun menjadi Tenaga Kerja Wanita di luar negeri telah mempasrahkan perawatan kebun tebu bagian dari orang tuanya itu kepada bapak, dengan sistem bagi hasil. Bedanya jika dulu bapak melakukannya dengan penuh semangat, kini hanya sekadar untuk bisa menatapi daun-daun tebu keemasan kala senja menjelang tiba. Menampung air dari hujan atau dengan sepedanya membawa jerigen untuk menyiraminya. Tentu saja hanya ala kadarnya. Tapi bagi bapak bergulat kembali dengan tanaman tebu, seperti hendak berusaha kembali mencoba membangkitkan semangatnya, menghidupkan kembali jiwanya, meski itu terasa sangat sulit.

Bapak hanya bisa menatap daun-daun tebu yang keemasan ditimpa cahaya matahari sore. Pucuk pucuk daun tebu yang melambai- lambai itu seperti merupakan hiburan yang luar biasa bagi bapak. Untuk melupakan sakit hatinya. Untuk melupakan kebun tebu miliknya yang tepat berada di sebelah kebun tebu bulik Ainun yang sekarang telah menjelma menjadi rumah.

Suara adzan maghrib bergema teramat syahdu, aku tergeragap dari lamunanku. Kuhapus mataku yang membasah. Kutatap tubuh bapak yang semakin mengecil tertimpa bayang senja. Sementara daun-daun tebu keemasan seperti mengejek padaku, bahwa aku belum bisa melakukan apa pun untuk bapakku.

Kutatap lekat-lekat daun tebu yang hanya terdiri dari pelepah dan helaian daun itu dengan entah perasaan yang bercampur aduk. Daun yang tanpa tangkai, polanya berselang seling begitu indah jika tertimpa sinar matahari sore. Pola daun-daun itu bagaikan buliran emas jika berbaur dengan sinar mentari yang berarak ke barat. Aku sentuh pelepah daunnya yang terdapat bulu-bulu halus. Dulu saat aku kecil, bulu-bulu daun itu sering membuat tubuhku gatal-gatal. Sepulang sekolah hampir sepanjang hari aku menghabiskan waktu di kebun tebu bersama bapak.

Daun-daun tebu keemasan itu tiba-tiba melecut semangatku untuk bisa mempersembahkan lagi sebuah kebun tebu untuk bapak, entah bagimana caranya. Ya, aku bertekad akan mengembalikan “hidup” bapakku. Aku berjanji akan kusatukan lagi bapak dengan bumi, tanah, air, dan udara yang telah menjadi nyawa bagi bapak, yang sebenarnya juga menjadi nyawa bagi seluruh isi bumi ini.

Kuhela napas panjang. Aku serasa mendapat kehidupan baru dari daun-daun tebu keemasan yang melambai-lambai di hadapanku itu. Kudekati bapak, kupeluk dia dari samping.

“Bapak, ayo pulang. Aku sedang menulis skripsi. Doakan sebentar lagi lulus. Supaya cepat dapat pekerjaan yang bagus. Aku janji, akan membelikan bapak sepetak kebun tebu, agar bapak tiap sore bisa memandang daun tebu keemasan ini di kebun milik kita sendiri, seperti dulu Pak, iya seperti dulu!”
Tiba-tiba bapak memelukku lebih erat, sangat erat, seperti pelukannya saat aku masih kecil dulu. ”Aamiin..aamiin Ya Allah…,” kata bapak lirih. Suara adzan maghrib semakin menggema, dan daun-daun tebu keemasan seakan mengamini doa-doa kami.*

Kudus, saat musim ketigo.

Menulis Cerpen Butuh Wawasan Pengetahuan dan Pengalaman Otentik

$
0
0
Foto : Akurat.co

Cerpen bukanlah sekadar sebuah cerita yang menyampaikan pesan tertentu. Diperlukan nilai-nilai keindahan, estetika, dan ekspresi bahasa yang lincah, mengalir dengan segala metafora, simbolisme atau analogi yang segar.

Hal itu diutarakan Ketua Dewan Juri Lomba Cipta Cerita Pendek Genre Sastra Hijau 2019 (LCCP-GSH), Nanung Pranoto, saat membacakan pengumuman dan pertanggungjawaban Dewan Juri lomba yang memperebutkan ICLaw Green Pen Award 2019, di Cibodas, Cianjur, Senin (22/4).

“Cerpen juga bukanlah sekadar cerita yang dibayangkan. Ia memerlukan wawasan pengetahuan dan pengalaman otentik yang menjadi kekayaan batin,” ujar Nanung Pranoto.

Oleh karena itu, menurut penulis novel semi politik “Mei Merah 1998, Kala Arwah Berkisah” itu, untuk memilah dan memilih cerpen-cerpen terbaik dan layak menjadi pemenang lomba ini, Dewan Juri membuat kriteria penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral, sosial, dan spiritual.

Dewan Juri memuji, secara keseluruhan cerpen yang dikirim para peserta lomba ini sesuai dengan tema yang ditawarkan panitia.

Bahkan, tidak sedikit yang mengaitkannya dengan tradisi leluhur, mewarnainya dengan kisah mitos, legenda, dan cerita rakyat, serta coba pula memasukkan nilai-nilai kearifan lokal berikut makna di balik petatah-petitih, peribahasa, dan tabu atau larangan yang masih tetap hidup di tengah masyarakat Nusantara.

“Para peserta sangat memahami bahwa cerpen bukanlah artikel wisata, bukan khotbah atau propaganda tentang lingkungan hidup, bukan pula petunjuk tentang cara membuang dan memperlakukan sampah sebagaimana mestinya,” tegasnya.

Menurut pengelola lembaga pegiat literasi Rayyakltura itu, keseluruhan cerpen yang mengikuti lomba ini sejalan dengan semangat yang mendasari filosofi sastra hijau, yaitu pesan tentang perawatan dan pelestarian bumi dan seisinya yang disampaikan dengan tetap mempertahankan estetika cerpen.

“Bagaimanapun juga, cerpen bukanlah sekadar sebuah cerita yang menyampaikan pesan tertentu. Di sana, diperlukan nilai-nilai keindahan, estetika, dan ekspresi bahasa yang lincah, mengalir dengan segala metafora, simbolisme atau analogi yang segar,” paparnya.

Acara berlangsung hangat di tengah asri dan hijaunya vila milik penyair Yeni Fatmawati Fahmi, istri politisi Fahmi Idris, di Desa Rarahan, Cibodas, Cianjur.

Acara diawali dengan pembacaan puisi oleh tuan rumah Yeni Fatmawati yang bertema lingkungan hidup, pengumuman pemenang, makan siang, dan ramah tamah antara awak media Dewan Juri, dan para tamu undangan di bawah iringan live musik di panggung terbuka

Sumber : Akurat

Serambinews: Dosen Unimal Juara Unggulan Lomba Cerpen Hari Bumi

$
0
0

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh, Ayi Jufridar, meraih juara unggulan dalam Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi (LCCCB) yang digelar untuk memeringati Hari Bumi pada 22 April 2019.

Berdasarkan pengumuman panitia, total jumlah naskah yang masuk adalah 1.653 cerpen dari 1.012 peserta untuk dua kategori, pelajar dan umum. Untuk kategori umum, jumlah naskah yang masuk 1.062 judul.

Dari jumlah tersebut, panitia hanya memilih tiga pemenang utama serta 11 pemenang unggulan. Dari daftar pemenang unggulan, karya Ayi Jufridar berjudul Köhlerboom berada di unggulan pertama.

“Cerpen pemenang utama dan unggulan pertama Kategori A serta pemenang utama dan seluruh unggulan Kategori B, akan dibukukan sebagai Antologi Cerpen Pemenang LCCCB ICLaw Green Pen Award 2019,” sebut panitia Naning Pranoto.

Dewan juri lomba cerpen Hari Bumi tersebut antara lain penulis nasional Naning Pranoto dan sastrawan yang juga dosen, Maman S Mahayana, serta sejumlah penulis lainnya. Untuk menghindari subjektivitas penilaian, tidak ada nama penulis dalam naskah sehingga juri tidak tahu penulisnya.

Menurut Ayi, cerpen Köhlerboom atau pohon Köhler terinspirasi oleh penebangan pohon geulumpang atau kepuh (sterculia foetida) pada 15 April 2015 silam karena perluasan halaman Masjid Baiturrahman Banda Aceh.

“Penebangan pohon itu sempat menimbulkan pro dan kontra. Sayangnya, khirnya pohon bersejarah itu ditebang juga. Padahal, di titik itulah Jenderal Köhler mati ditembak sniper Aceh,” ungkap Ayi, Rabu (24/4/2019).

Dalam menulis cerpen itu, Ayi mengaku mendapat masukan referensi dari wartawan senior Yarmen Dinamika dan penulis sejarah Aceh, Iskandar Norman. Ayi mengaku memang menargetkan masuk unggulan dalam lomba cerpen Hari Bumi tersebut karena baru mengirimkan cerpen pada 30 Maret atau di hari terakhir penerimaan naskah.(*)

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Dosen Unimal Juara Unggulan Lomba Cerpen Hari Bumi, http://aceh.tribunnews.com/2019/04/24/dosen-unimal-juara-unggulan-lomba-cerpen-hari-bumi?fbclid=IwAR21FtbUzj7fKQdzw3lFwSjDG_D3zbPj7w-vVAsBQdQOPl1zlVpfGRWv8oo.

Ilmu Padi Taufiq Ismail

$
0
0

Ilmu padi taufiq ismail

Penulis :  Maman S Mahayana

Nama Taufiq Ismail, saya tahu dari buku-buku pelajaran sastra di SMA. Dari beberapa puisinya yang terdapat dalam buku Tirani dan Benteng—sebutlah dua di antaranya, “Sebuah Jaket Berlumur Darah” dan “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya,” saya membayangkan perjuangan mahasiswa dalam gerakan Tritura—Tiga Tuntutan Rakyat*) dan Taufiq Ismail menjadi saksi bicara dalam peristiwa itu.

Ketika saya diterima sebagai mahasiswa UI dan berkesempatan memasuki lorong-lorong Fakultas Kedokteran atau fakultas lainnya di Kampus Salemba, kerap saya merasakan suasana gaib memancar entah dari mana. Di sana, ada aura yang melekat pada spirit dan renjana (passion) untuk mencintai Indonesia. Inilah kampus perjuangan yang telah mengantarkan salah seorang putra terbaiknya gugur. Dialah Arief Rahman Hakim yang namanya dijadikan sebagai nama masjid di kampus itu. Arief Rahman Hakim pergi meninggalkan kita tepat sehari menjelang ulang tahunnya yang ke-23 (lahir di Padang, 25 Februari 1943, meninggal di Jakarta, 24 Februari 1966). Tetapi namanya tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Jika selepas bersembahyang di masjid itu, saya tepekur di sana, lalu ingatan jatuh pada puisi Taufiq Ismail, sering kali saya digoda untuk membayangkan, siapakah gerangan tiga sosok bocah yang mengantarkan “Karangan Bunga” itu?

Tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu

Datang ke Salemba

Sore itu

‘Ini dari kami bertiga

Pita hitam pada karangan bunga

Sebab kami ikut berduka

Bagi kakak yang ditembak mati

Siang tadi.’

Sebuah puisi yang tampak sederhana, dengan bahasa sederhana, dan dengan ekspresi yang juga sederhana. Dalam segala kesederhanaannya itu, tersimpan peristiwa besar yang tercatat dalam sejarah perkembangan bangsa kita. Itulah yang disebut kesederhanaan dan kedalaman. Di balik larik-larik sederhana, ada kedalaman makna.

Oh, betapa hebatnya puisi itu mengganggu pikiran seseorang. Aneh memang. Tetapi, begitulah. Nama masjid itu jadi hidup ketika ia dicantelkan pada peristiwa lain yang pernah kita kenal. Puisi “Karangan Bunga” menjelma jadi catatan sejarah. Maka, ketika kita menghidupkan peristiwa dalam teks puisi itu, pikiran dan asosiasi kita tergoda dan melayang ke mana-mana mencari cantelan. Kita coba pula mengingat nama penyairnya.

Pada awal tahun 1980-an, penyair yang sering tampil dalam hiruk-pikuk demonstrasi mahasiswa adalah Rendra. Si Burung Merak itu piawai mengobarkan semangat perjuangan para mahasiswa. “Tak ada kata jera dalam Perjuangan” adalah slogan yang terus didengungkan dalam gerakan mahasiswa berjaket kuning. Tetapi, saya tak kunjung jumpa dengan Taufiq Ismail. Selepas kampus Rawamangun pindah ke Depok, satu-dua kali, dalam beberapa kegiatan mahasiswa, saya jumpa Taufiq Ismail. Tetapi sekadar sebagai penonton. Meski begitu, citra Taufiq Ismail sebagai salah seorang tokoh dalam gerakan mahasiswa tahun 1966, tetap hidup dalam ingatan. Sebuah gambaran tentang sosok pejuang yang gigih, tangguh, dan keras kepala. Itulah yang membuat saya agak segan jika hendak mendekatinya.

Awal Pertemuan

Dalam sebuah kegiatan sastra di Pulau Penyengat, Riau—mungkin tahun 1990, takdir membawa saya pada perjumpaan tak terduga. Saya bertemu dengan Taufiq Ismail –dan sejumlah penyair lain, seperti Sutardji Calzou Bachri, Slamet Sukirnanto, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, dan beberapa penyair Malaysia dan Singapura. Untuk pertama kalinya, saya berkesempatan berbincang dengan Taufiq Ismail. Ia mengatakan, bahwa ia hendak menegakkan kembali majalah sastra Horison yang sudah terseok-seok. Pak Taufiq meminta saya menulis tentang Raja Ali Haji, sebuah tawaran yang sungguh membanggakan. Entah mengapa, citra Taufiq Ismail yang mendekam dalam ingatan, tidak sesuai dengan kenyataan yang saya hadapi kini. Boleh jadi saya terlalu jauh membayangkan Taufiq Ismail muda. Sosok mahasiswa yang heroik dan berbicara lantang sambil meneriakkan kemarahannya pada tirani—sebagaimana yang saya bayangkan ketika saya menghadapi puisi-puisi Tirani dan Benteng. Kini semua itu seketika seperti hilang begitu saja. Saya takjub, mungkin terpesona. Taufiq Ismail yang saya bayangkan dalam puisi-puisinya, berbeda sama sekali dengan kenyataannya.

Di hadapan saya, tampil manusia yang lembut, pendengar yang baik bagi mitra bicaranya, dan penuh empati. Kadang kala dia tanya ini-itu tentang persoalan pribadi. Taufiq Ismail mendadak berubah jadi senior yang penuh perhatian pada kemajuan juniornya. Meski tersurat Pak Taufiq Ismail meminta saya agar ikut membantu memajukan Horison, tersirat saya dapat menangkap, sikap seorang guru yang ingin membimbing dan membawa muridnya memasuki dunia yang lebih luas. Tidak ada kesan jumawa sedikit pun. Tidak ada sekat apa pun. Kami mengobrol mengalir begitu saja. Saya terharu, meskipun ketika itu saya tidak menunjukkan keterharuan saya. Tetapi hati tak dapat dibohongi. Hati ini pula yang kemudian menyimpan ketersentuhannya dengan rapi, sebagai kenangan pertama yang penting dalam hidup ini. Sikap rendah hati penyair besar, seketika menghancurkan keangkuhan. Arogansi dan kesombongan pun, malu rasa hendak menampakkan diri.

Itulah awal mula saya mengenal lebih dekat sosok Taufiq Ismail. Sebuah potret Manusia yang menghargai manusia sebagai manusia!

Mencintai Puisi, Mencintai Negeri

Pertemuan di Pulau Penyengat itu rupanya merupakan titik awal saya memasuki berbagai kegiatan yang diselenggarakan Taufiq Ismail bersama majalah Horison. Dari serangkaian pertemuan, obrolan santai, sampai ke pembicaraan serius tentang Indonesia, saya dapat menangkap, kecintaan Taufiq Ismail pada Indonesia melebihi apa pun. Bahkan, sebagai penyair, ia sering kali tampak lebih mencintai Indonesia daripada puisi, bidang yang diceburi secara total, lebih dari separoh hidupnya. Ini aneh. Tetapi, kesan itulah yang paling kuat, jika kita lebih jauh memasuki pemikiran dan sikap hidupnya. Bagaimana ia lebih mencintai Indonesia daripada puisi? Atau, kecintaannya pada Indonesia disalurkannya lewat puisi?

Dalam sebuah perbincangan, Taufiq Ismail menuturkan, bahwa puisi pertama yang dihasilkannya ketika ia masih duduk di sekolah rakyat.*) Ayahnya, K.H. Abdul Gaffar Ismail adalah ulama Muhammadiyah terkemuka yang bekerja sebagai guru dan wartawan koran lokal. Sebagai wartawan, sang ayah kerap membawa surat kabar itu ke rumahnya. Taufiq Ismail yang memang gemar membaca, tergoda pula membacai surat-surat kabar itu. Dari sanalah ia menemukan nama sang ayah: Abdul Gaffar Ismail, tercantum jelas di antara berita, artikel, dan tulisan-tulisan lain. Bagaimana bisa nama ayahnya tercantum di sana?

Keheranan itu lalu disampaikannya kepada sang ayah sambil bertanya, “Bagaimana caranya agar nama Taufiq Ismail tercantum di sana?”

“Tulislah puisi, nanti ayah kasihkan kepada teman ayah di kantor,” begitu pesannya. Maka setiap hari Taufiq Ismail kecil itu menulis puisi dan menyerahkan kepada ayahnya. Beberapa kali ayahnya berkata, “Belum bagus. Coba bikin lagi!” Entah yang ke berapa puisi yang ditulis Taufiq Ismail itu akhirnya dibawa sang ayah ke kantornya. Beberapa minggu kemudian, puisi itu terpampang di surat kabar bersama nama penulisnya: Taufiq Ismail.

Esoknya, surat kabar itu dibawa ke sekolah. Ia bermaksud memamerkan kepada teman-temannya. Ternyata teman-temannya sudah pada tahu, termasuk beberapa guru di sekolah itu. Terjadilah kehebohan. Peristiwa itulah yang mendorongnya ingin menjadi penyair.

Dalam catatan E.U. Krazt,*) puisi pertama Taufiq Ismail—tertulis namanya ketika itu, Taufiq AG Ismail— berjudul “Dadang Pemetik Kecapi Tua” dimuat majalah Siasat, Agustus 1954. Ini berarti, saat Taufiq Ismail berusia 17 tahun, mungkin kelas 3 SMP atau kelas 1 SMA, sebab tahun 1956—1957, ia mendapat beasiswa American Field Service Interntional School untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, Amerika.

Bagi siswa dari Indonesia, Taufiq Ismail tercatat sebagai angkatan pertama penerima beasiswa itu. Pada tahun 1955, beberapa puisinya dimuat berbagai surat kabar dan majalah terbitan ibu kota. Pada tahun berikutnya (1956), Kratz tidak menemukan puisi Taufiq Ismail. Baru pada tahun 1957 dan tahun-tahun berikutnya, puisi-puisinya dimuat di majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Sastra, Gema Islam, dan beberapa majalah lainnya.

Mimpi yang Membawa Jalan Hidup

Menurut penuturannya, ketika Pak Taufiq Ismail tinggal di Amerika Serikat mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, ia dipaksa bekerja keras membacai setumpuk buku—tentu saja semuanya berbahasa Inggris—dan membuat laporannya. Di antara duka lara karena tidak ada dispensasi apa pun bagi para siswa di sana, ia sedikit demi sedikit mempelajari khazanah sastra Eropa dan Amerika. Buku-buku puisi yang mendorong dan memelihara semangatnya untuk tidak menyerah! Baca, baca, baca! Tulis, tulis, tulis! Itulah kegiatan sehari-hari sepulang sekolah.

Pada saat liburan semester, induk semangnya menawarkan berbagai pekerjaan. Pak Taufiq memilih bekerja di sebuah ranch besar, peternakan sapi dengan padang rumputnya yang luas. Di situlah ia mengangkuti jerami, membersihkan kandang sapi, dan pekerjaan lain sebagaimana yang biasa dilakukan di peternakan. Pada saat beristirahat, ia dibuat begitu takjub. Sejauh mata memandang, terhampar lapangan rumput yang luas, tempat sapi-sapi itu berkeliaran. Saat itu, ia berkhayal. Suatu saat kelak, di salah satu daerah di Indonesia entah di mana, ia akan mendirikan sebuah peternakan yang kira-kira sama luasnya. Ia bayangkan, dari halaman bangunan kayu di pinggir padang rumput, dia memandangi sapi-sapi berkeliaran. Di tangannya secarik kertas dan pulpen. Itulah saatnya menulis puisi. Wow, menulis puisi! Puisi rupanya begitu kuat tertanam dalam pikirannya.

Begitulah kekuatan mimpi seorang pemuda bernama Taufiq Ismail: mempunyai peternakan dan di sana ia dapat dengan bebas menulis puisi. Bagi anak muda seusianya, tentu saja mimpi itu terasa aneh. Tetapi, berkat mimpi itu pula, seseorang dapat meneguhkan tekadnya, harapannya, cita-citanya. Oleh karena itu, ketika ia mendapat tawaran kuliah di IPB (yang ketika itu masih berada sebagai salah satu fakultas di lingkungan UI), ia tegas memilih Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan. Ia ingin mewujudkan mimpinya: menulis puisi sambil memandang padang rumput yang luas membentang. Tahun 1963, ia berhasil menyelesaikan kuliahnya, berhak menyandang gelar: dokter hewan. Ia lalu diangkat sebagai asisten dosen mata kuliah Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan UI.

Ketika itu, situasi sosial politik yang terjadi di Indonesia, begitu khaos. Taufiq Ismail termasuk salah seorang aktivis yang menentang seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi seniman underbouw PKI. Penentangannya tidak hanya diungkapkan dalam sejumlah puisinya, melainkan juga dalam aktivitasnya terlibat langsung dalam gerakan perlawanan dan demonstrasi.

Dalam hal membela kemanusiaan dan kemarahannya pada rezim otoriter, sikapnya tegas. Oleh karena itu, dengan segala kesadarannya, ia ikut terlibat dalam penyusunan naskah Manifes Kebudayaan, sebuah pernyataan kebudayaan yang menolak kehidupan politik memasuki wilayah kebudayaan dan kesenian. Pada tanggal 1 Agustus 1963, naskah Manifes Kebudayaan ditandatangani oleh 19 seniman—budayawan Indonesia. Majalah Sastra, edisi September/Oktober 1963, memuat pernyataan itu. Harian Berita Republik, 19 Oktober 1963, juga ikut mempublikasikannya.

Begitulah, mimpi dan jalan hidup seseorang kerap tidak terduga. Taufiq Ismail masuk Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan lantaran mimpinya hendak membangun sebuah peternakan besar, agar ia bebas menulis puisi. Keterlibatannya dalam gerakan menentang rezim tirani dan kesadarannya menandatangani Manifes Kebudayaan, semata-mata, karena kecintaannya pada negeri ini. Ia ingin agar kehidupan kesenian dan kebudayaan di Indonesia dapat tumbuh sehat tanpa dikotori oleh kepentingan politik.

Pada saat yang bersamaan, Taufiq Ismail mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan studinya di Universitas Kentucky dan Florida, Amerika Serikat. Pada tanggal 8 Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Apa yang terjadi pada Taufiq Ismail? Dua hari menjelang keberangkatannya ke Amerika, Taufiq Ismail dipecat sebagai dosen. Meskipun demikian, tiket ke Amerika sudah di tangan. Ia punya banyak kesempatan untuk meninggalkan Indonesia. Ibu angkatnya di Amerika, juga terus memaksanya agar kabur dari Indonesia. “Segala sesuatu sudah disiapkan. Kau tinggal berangkat! Jangan cemas. Amerika terbuka untukmu!” kira-kira begitulah pesan telegram dari Ibu Angkatnya di Amerika.

Jika saja ia memutuskan pergi bersama beberapa temannya ke Amerika, mudah saja ia melakukannya. Ia tidak hanya memegang tiketnya sendiri, tetapi juga tiket teman-temannya. Tetapi, jika pergi, ia seperti lari dari tanggung jawab kepada negeri yang dicintainya. Ia harus melawan, dan perlawanannya tidak dari negeri nun jauh di sana, tetapi dari Tanah Airnya sendiri. Sebuah keberanian memilih berjuang untuk bangsanya, tidak untuk dirinya sendiri!

Risikonya luar biasa! Selain dipecat, ia dilarang menulis. Oleh karena itu, ia pun menulis dengan menggunakan nama samaran. Persoalannya tidak berhenti di sana. Ia diteror, difitnah, diawasi, dan dilarang berkomunikasi dengan siapa pun! Orang-orang di lingkungan kampus atau di sekitar tempat tinggalnya, yang semula bersikap baik, tiba-tiba seperti ikut memusuhi. Ia dijauhi, dikucilkan, dan dianggap kontrarevolusi! Meski begitu, gerak fisik boleh dibatasi, tapi gagasan dan semangat perlawanan, tak ada yang dapat membendungnya. Maka, mengalirlah puisi-puisi perlawanan. Menentang tirani dari benteng yang diyakini benar.

Gerakan Sastra

Titik balik terjadi setelah peristiwa September 1965. Tetapi, Taufiq Ismail memilih berjuang di bidang kebudayaan—kesusastraan. Maka, pada Juli 1966, bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman, ia mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian melahirkan majalah sastra Horison (Juli 1966). Dalam perjalanannya, majalah Horison bergerak seperti kerakap tumbuh di batu, mati segan hidup tak mau. Sampai tahun 1995, majalah itu terbit dengan oplah tidak lebih dari sekitar 3000-an eksemplar.

Dalam keadaan begitu banyak pemikir pendidikan berkeluh-kesah tentang pengajaran sastra di sekolah. Sastra seperti terpencil dari masyarakatnya. Guna menjembati sastra dengan dunia pendidikan, Taufiq Ismail membuka rubrik kakilangit di majalah sastra Horison, akhir 1996. Majalah yang semula begitu angker bagi guru-guru dan para pelajar, tiba-tiba menyediakan tempat untuk mereka. Tidak hanya itu, di sana ada tulisan ringkas tentang riwayat sastrawan, proses kreatif, karyanya berikut ulasan karya bersangkutan. Rubrik itu, bagi guru-guru, tentu saja seperti obat pelepas dahaga. Mereka tak perlu repot cari bahan pembelajaran. Oplah Horison mendadak melonjak cepat, meningkat jadi lebih dari 15.000-an eksemplar. Berkat kegigihannya mencari penaja, lebih dari 5000 sekolah, gratis berlangganan majalah ini. Bagaimana dampaknya bagi para siswa? Setiap bulan redaksi menerima lebih dari sekitar 600-an puisi dan 50-an cerpen karya para pelajar dari seluruh Indonesia. Majalah Horison yang pada awalnya tak tersentuh para siswa, kini menjadi semacam gengsi bagi mereka jika karya salah seorang temannya dimuat Horison.

Bagaimana dengan guru-gurunya? Bukankah mereka ujung tombak yang memungkinkan siswa berkenalan dengan sastra? Jika para guru tidak pernah menulis, bagaimana mungkin siswa akan terdorong menjadi penulis dan mencintai sastra bangsanya sendiri? Atas dasar pemikiran itu, Taufiq Ismail mengusung hasil pengamatannya selama empat bulan (Juli—Oktober 1997) tentang pengajaran sastra di SMA 13 negara. Sebagai sebuah pengamatan, Taufiq sekadar membuat data kuantitatif. Itulah sebabnya, ketika hasil pengamatannya yang berjudul “Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?” dimuat bersambung di harian Republika, sejak 24 Oktober 1997, masyarakat dibuat terkejut.

Hasil pengamatan itu memperoleh respons yang baik dari para pecinta sastra. Bapennas melalui Depdikbud ikut membantu program yang ditawarkan Taufiq Ismail. Dari sinilah lahir program yang diberi nama Pelatihan MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra). Pesertanya guru bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Di samping pelatihan, diselenggarakan pula lomba menulis cerpen dan kritik sastra bagi guru-guru seluruh Indonesia.

Selain Diklat MMAS dan lomba, lewat bantuan The Ford Foundation, Taufiq Ismail dan kawan-kawan menyelenggarakan dua program: (1) Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) dan (2) Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB). Program pertama membangun dialog antara sastrawan dan mahasiswa lewat karya-karya sastrawan yang bersangkutan, dan program kedua semacam jumpa sastrawan dengan siswa. Secara signifikan, program SBSB dalam tiga tahun itu (2000—2002), telah menjangkau lebih dari 100 sekolah di sekitar 25 provinsi, di dalamnya terlibat 100-an sastrawan dan 60.000-an siswa dan guru SMU.

Melalui program SBSB itu pula lahir sebuah langkah penting; menyusun antologi. Dari lembar-lembar yang tercecer fotokopian karya sejumlah sastrawan, dihimpunlah ke dalam buku yang bertajuk Dari Fansuri ke Handayani (2001), sebuah antologi yang memuat sejumlah puisi karya 79 penyair Indonesia. Menyadari bahwa buku itu perlu penambahan jumlah karyanya, tahun 2002 lahirlah empat serangkai Horison Sastra Indonesia 1 (Kitab Puisi), 2 (Kitab Cerita Pendek), 3 (Kitab Nukilan Novel), dan 4 (Kitab Drama), ditambah dengan Kaki Langit: Sastra Pelajar. Keempat antologi itu bolehlah dikatakan merupakan buku penting bagi perjalanan sastra Indonesia. Lebih daripada itu, kelima buku itu secara gratis dikirim ke lebih dari 1000 sekolah di Tanah Air.

Dengan Puisi Aku

Di antara kesibukan Taufiq Ismail dalam upayanya memajukan kehidupan sastra melalui berbagai kegiatan, sebagai penyair, pemikir, dan budayawan, ia tetap melaju: membaca dan menulis, nyaris tidak pernah lepas dari kesehariannya. Selalu disediakan waktu entah satu atau dua jam—atau lebih—untuk membaca dan menulis. Dan puisi sebagai pintu masuk, sekaligus pintu keluar menyuarakan berbagai gagasan, harapan, kecemasan, bahkan juga kemarahan dan rasa cintanya pada Indonesia. Perhatikan puisinya yang berjudul “Dengan Puisi Aku” yang boleh dikatakan merepresentasikan sikap dan kiprah hidupnya.

DENGAN PUISI AKU

Taufiq Ismail

Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang

Keabadian Yang Akan Datang

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk

Napas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya

Begitulah, melalui puisi Taufiq Ismail telah memberikan lebih dari separoh hidupnya. Suka, duka, berkelana, bersujud di hadapan Tuhan, menangis melihat masyarakat yang teraniaya, marah pada kebrengsekan, sambil terus melantunkan doa demi kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia. Lewat puisi, ia hidup dan berbuat. Lalu sejauh mana kiprahnya?

Empat jilid buku karya Taufiq Ismail berjudul Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1—4 (Jakarta: Horison, 2008)—seluruhnya berjumlah 3004 halaman—menegaskan segala sepak-terjang Taufiq Ismail sebagaimana diungkapkan tersirat dan padat dalam puisinya yang berjudul “Dengan Puisi Aku.” Sejauh pengamatan, keempat jilid buku itu boleh dikatakan merupakan sebuah rekor bagi ketebalan buku karya seorang penyair.

Tentu saja yang jauh lebih penting bukanlah perkara tebal—tipisnya buku, melainkan isinya; kedalaman dan gagasannya dalam mencermati dan memandang berbagai persoalan dan mengungkapkannya dalam berbagai ragam tulisan—prosa, puisi, drama, esai yang sedap dibaca. Adagium penyair yang baik adalah penulis esai yang baik, kiranya tepat disematkan pada Taufiq Ismail. Dari keempat jilid buku itu, kita dapat memandang sebuah lanskap yang membentangkan dinamika sosio-kultural bangsa Indonesia dalam bingkai perpsektif perjalanan berkebudayaan seorang penyair bernama: Taufiq Ismail.

Secara ringkas, dapat dipaparkan di sini isi keempat jilid itu.

Jilid 1 menghimpun puisi-puisi Taufiq Ismail yang dihasilkan selama 55 tahun kiprah

kepenyairannya (1953—2008). Jilid 2 berisi 193 esai –dan beberapa puisi—yang pernah dipublikasikan dalam rentang waktu 1960—2008. Data kuantitatif itu memperlihatkan gagasan Taufiq Ismail yang bermuara pada kehidupan kebudayaan Indonesia. Jilid 3 berisi Himpunan Tulisan dalam rentang waktu yang sama dengan jilid 2 (1960—2008) tetapi dengan tema yang beragam. Jilid 4 memuat Himpunan Lirik Lagu (1972—2008) yang dibawakan grup musik Bimbo, God Bless, Ucok Harahap, Chryse, Niki Astria sampai ke Armand Maulana.

Dalam Kata Pengantar, Taufiq Ismail mengatakan: “Panjang Kali boleh Diukur, Panjang Sajadah Siapa dapat Menduga” mengungkapkan sisi lain dari sebuah proses kreatif. Itulah yang kerap diistilahkan para penyair sebagai “wahyu” atau yang diyakini para penulis sebagai “tangan malaikat”.

Perkara Penerjemahan

Sebuah mahakarya lainnya yang dihasilkan Taufiq Ismail adalah penerjemahan puisi-

puisinya dalam puluhan bahasa daerah dan 11 bahasa asing (Arab, Belanda, Bosnia, Cina, Inggris, Jepang, Jerman, Korea, Parsi, Perancis, Rusia). Dengan kesadaran bahwa penting artinya memperkenalkan khazanah sastra Indonesia ke bahasa-bahasa dunia, Taufiq Ismail melakukan semacam safari ke negara-negara tersebut—kecuali ke Iran dan Cina—, lalu meluncurkan dan mendiskusikannya dengan para mahasiswa asing. Langkah itu diharapkan dapat menarik masyarakat dunia untuk mempelajari karya-karya sastrawan Indonesia lain.

Selama ini upaya memperkenalkan kebudayaan Indonesia dalam gerakan diplomasi

budaya kerap dilakukan melalui kesenian berupa pentas tari atau pameran benda-benda budaya. Langkah itu tentu saja penting. Tetapi, tidak berarti kegiatan penerjemahan itu tidak penting. Penerjemahan buku, terutama karya sastra selama ini cenderung dilakukan orang per orang. Akibatnya, masyarakat dunia kurang mengenal khazanah sastra Indonesia yang sesungguhnya kaya dengan berbagai ragam tema dan latar belakang kultur etnik. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan Taufiq Ismail dengan insiatif dan biaya sendiri menerjemahkan sejumlah puisinya dalam 11 bahasa asing merupakan langkah besar yang mestinya menjadi tanggung jawab negara. Bukankah langkah yang dilakukan Taufiq Ismail dapat juga dimaknai sebagai pintu masuk memperkenalkan khazanah sastra Indonesia kepada masyarakat dunia?

Sebuah mahakarya lagi patut disinggung di sini adalah buku berjudul Rerumputan Dedaunan (Laporan Kerja Taufiq Ismail, 2010, 2017)* yang berisi puisi hasil terjemahannya sendiri karya 160 penyair Amerika dan 27 puisi lisan dan lagu rakyat (Amerika) dalam rentang waktu 130 tahun. Jumlah keseluruhan puisi yang diterjemahkan Taufiq Ismail 531 puisi karya 157 penyair ditambah dengan empat puisi rakyat. Hasilnya adalah buku setebal 893 halaman. Tetapi, kembali tebal-tipisnya buku kadang tidak menjamin kualitas buku yang bersangkutan. Untunglah, Taufiq Ismail sendiri sebagai penerjemahnya adalah penyair andal. Maka, menikmati puisi-puisi yang terdapat dalam buku itu, nyaris tidak ada kesan sebagai karya terjemahan. Kita dibawa ke sebuah dunia nun jauh di sana, tetapi rasanya begitu dekat dengan kehidupan kita sendiri.

Bagi saya, buku Rerumputan Dedaunan sungguh merupakan sumbangan besar bagi bangsa Indonesia, khususnya para penyair dan sastrawan kita untuk meluaskan cakerawala wawasan dan untuk mengetahui model estetik yang ditawarkan para penyair dunia. Sejauh pengamatan, Rerumputan Dedaunan merupakan satu-satunya buku terjemahan puisi-puisi Amerika yang paling lengkap. Ia juga merupakan salah satu buku terjemahan puisi terbaik yang pernah diterbitkan di negeri ini.

Kembali sebagai Manusia

Jika menelusuri kiprah Taufiq Ismail sepanjang hidupnya, rasanya kita (: saya) belum melakukan apa-apa untuk negeri ini. Yang dilakukan Taufiq Ismail adalah representasi kecintaannya pada puisi, pada Indonesia. Maka, “Dengan Puisi Aku” adalah jalan hidupnya yang dapat kita gunakan sebagai anutan, sebagai contoh, sebagai cermin. Cintailah profesi apa pun yang memberi pencerahan bagi masyarakat sekitar, bangsa, dan umat manusia! Pilihan puisi bagi Taufiq Ismail datang dari sebuah mimpi anak muda yang membayangkan dirinya duduk menulis puisi sambil memandang padang rumput yang luas. Kejarlah mimpi itu dan sebarkan untuk memberi pencerahan pada umat manusia.

Meskipun demikian, jangan kaget pula kita. Ketika kita jumpa dan mengobrol dengan Taufiq Ismail sebagai guru bangsa yang (luar biasa) hebatnya ini, kita akan berjumpa dengan sosok manusia yang (luar biasa) pula rendah hatinya. Boleh jadi pernyataan ini tampak hiperbolis, tetapi itulah kesan yang kerap muncul jika berkesempatan mengobrol atau berdiskusi dengannya. Ia pendengar yang baik, senantiasa hormat pada mitra bicaranya, dan nyaris tak pernah terdengar kata-kata umpatan. Itulah sastrawan besar yang selalu tampil sebagai manusia rendah hati, tawadu, dan istiqomah!

Dalam sebuah kesempatan, saya solat magrib berjamaah di Rumah Horison. Pak Taufiq Ismail menjadi imam, saya dan beberapa teman sastrawan menjadi makmumnya. Dalam dua rakaat pertama saat membaca Alfatihah dan sebuah surat pendek, kami (: saya) tak kuasa menahan tangis. Sang Imam—Taufiq Ismail—membawa kami ke sebuah suasana, bahwa kami—manusia—sungguh sebagai makhluk yang tiada artinya di depan Allah SWT. Allahu Akbar! Jika mengingat peristiwa itu, entah mengapa, air mata kerap menetes. Ya, di hadapan Tuhan memang kita tidak ada apa-apanya, bukan pula siapa-siapa.

Terima kasih Pak Taufiq Ismail telah mengajari saya mutiara hidup: bagaimana menjadi manusia rendah hati. Insya Allah, ilmu padi itu akan saya bawa sampai akhir hayat!


Footnotes:

* Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan mahasiswa dan pelajar yang mendesak pemerintahan Soekarno agar segera (1) membubarkan Partai Komunis Indonesia, (2) menurunkan harga-harga yang melambung tinggi, dan (3) membubarkan dan mengganti menteri-menteri cabinet. Desakan ini dikenal dengan kalimat: Retool Kabinet 100 Menteri.

* Cerita ini disampaikan lagi dalam sebuah pertemuan dengan para mahasiswa dan lebih dari 100-an Tenaga Kerja Indonesia di Ansan, Korea, 21 Oktober 2017.

* Ernest Ulrich Krazt, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988, hlm. 236—238.

* Buku ini sedianya akan diterbitkan dan didistribusikan ke berbagai perpustakaan penting di Indonesia, sehingga masyarakat umum dapat mempelajari khazanah sastra Amerika dalam terjemahan bahasa Indonesia. Tetapi karena persoalan penerjemahan ini berkaitan dengan hak cipta (copy right) dan royalti, dan royalty untuk satu puisi itu saja biayanya mencapai puluhan juta, maka buku itu dikatakan sebagai Sebuah Laporan Kerja.

Novel Mei Merah

$
0
0

Penulis : Akurat.Co

Novel berjudul “Mei Merah 1998, Kala Arwah Bercerita” terinspirasi dari tragedi kerusuhan Mei 1998 dimaksudkan penulisnya sebagai sebuah terapi untuk mengobati traumatik perempuan korban perkosaan dalam peristiwa kekerasan di hari-hari menjelang Presiden Soeharto mundur pada 22 Mei 1998.

Menurut Naning, lahirnya novel ini dilatarbelakangi oleh ekses kemelut menjelang Era Reformasi Mei 1998 yang memperjuangkan perubahan bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum yang terkungkung selama empat windu pemerintahan Orde Baru.

Bagi dia, novel ini juga sebagai penghargaan saya kepada perempuan yang kuat menerima satu peristiwa yang begitu kelam, namun mereka masih ingin melanjutkan hidup,” ungkap penulis Novel Merah kepada Akurat.co.

Menurut novelis dan pegiat literasi yang telah melahirkan sejumlah buku kiat menulis dan karya sastra itu, “Mei Merah” adalah juga sebuah sebuah “novel pencerahan” di mana dampak peristiwa kekerasan terhadap perempuan dapat diobati dengan menulis. Semua tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam novel ini fiktif belaka.

“Pengamat sastra Prof Dr Melanie Budianta menyebut novel sebagai upaya menjahit luka yang dalam akibat sebuah peristiwa kelam,” tambah Naning.

 

Perkosaan itu ada

Sudah menjadi pengetahuan umum, pada 21 Mei 1998 Presiden Seoharto mengundurkan diri sebagai presiden yang telah disandangnya selama 30 tahun. Pemicu yang mempercepat kejatuhan Soeharto adalah gelombang demonstrasi mahasiswa di seantero negeri akibat tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei di depan kampusnya.

Hari-hari antara 12-20 Mei penuh dengan demonstrasi. Pusat-pusat bisnis dan perdagangan perumahan, pertokoan, dijarah dan dibakar. Langit Jakarta tertutup asap hitam yang membumbung. Dalam suasana chaos yang seolah tanpa hukum itu, berbagai peristiwa kriminal terjadi. Di antaranya adalah pemerkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghowa.

Di dalam latar suasana chaos di bulan Mei 1998 seperti itulah penulis Naning Pranoto “melahirkan” tokoh rekaan bernama Humaira, seorang perempuan keturunan Tionghowa, yang hamil karena diperkosa sekelompok kriminal penjarah. Tak kuat menahan derita malu, Humairah bunuh diri setelah melahirkan bayinya, dengan meninggalkan wasiat pada secarik kertas dalam genggaman tangannya agar anaknya diberi nama Luk Luk.

Lewat narasi yang mengalir dengan gaya kekinian, Naning meciptakan tokoh Humaira yang sudah berada di alam kubur namun mampu menceritakan siapa dirinya, amarahnya kepada para lelaki terkutuk yang memerkosanya di tengah kerusuhan, serta cinta dan kerinduannya pada Luk Luk. Tempat curhatnya adalah pohon bunga Kamboja yang tumbuh di atas “rumah” mungilnya yang berupa gundukan tanah.

Adapun Luk Luk, tumbuh sebagai remaja yang cantik mirip ibunya dalam perawatan keluarga angkat yang merahasiakan asal muasal keluarganya. Mereka bersepakat menyampaikannya kelak jika Luk Luk sudah dewasa. Namun, Luk Luk kabur untuk mencari tahu di mana ibunya.

Kaburnyna Luk Luk dipicu adalah sebuah foto dan dokumen adopsi dikirimkan Alex, untuk meneror lewat facebook karena cintanya ditolak Luk Luk. Lewat dokumen itu dia tahu pernah terjadi kerusuhan besar. Dalam kerusuhan itu ibunya menjadi korban perkosaan lelaki tak bertanggung jawab sampai mengandung dirinya.

Di situlah ruh cerita ini. Lewat tokoh-tokohnya, terutama Humaira dan Luk Luk, Naning kembali mengingatkan pembacanya pada kerusuhan Mei ‘98 yang diawali dengan krisis ekonomi pada bulan Juli. Naning seperti hendak menegaskan, peristiwa perkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghowa itu ada dan terjadi pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 itu.

Untuk melahirkan novel ini Naning melakukan riset kepustakaan dan mewawancarai sejumlah korban kekerasan seksual dan aktivis kemanusiaan yang terlibat dalam pendampingan para korban perkosaan.

Novel “Mei Merah 98, Kala Arwah Berkisah” diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia” Desember tahun lalu, terdiri atas 222 halaman dan 12 Bab.

Naning Pranoto telah melahirkan 20 novel, 12 buku anak-anak, 28 buku text book, ratusan cerita pendek, puisi, karya ilmiah yang tersebar di berbagai media massa. Salah satu novelenya, “Wajah Sebuah Pagina” tercatat sebagai best seller pada 2015.

Penulis berlatar jurnalis ini menyelesaikan studinya antara lain di bidang sastra dan bahasa Unas Jakarta pada 1986. Gelar Masternya diraih dari Bond University Australia pada 2001 di bidang Chinese Studies.

Kini dia mengelola komunitas pegiat literasi Rayakultura yang getol menggelar pelatihan menulis kreatif (creative writing,) yang pernah dirintisnya bersama penyair almarhum Sides Sudyarto DS.

Kisah berhikmah pekerja migran Indonesia

$
0
0

Penulis : Dyah Sulistyorini /Antaranews

Beberapa jenis pekerjaan manusia yang sifatnya prediktif dan terukur telah diambil alih oleh komputer berperforma tinggi. Komputer canggih yang dilengkapi dengan program kecerdasan buatan (Artificial Intelligent/AI) itu memungkinkan bekerja, berpikir dan melakukan aksi secara mandiri.

Sadar atau tidak, keseharian manusia modern banyak menggunakan kecerdasan buatan. Contohnya fitur auto-correct di ponsel pintar dan penggunaan mesin pencari.

Aplikasi umum kecerdasan buatan juga telah banyak digunakan di bidang kesehatan antara lain untuk mengelola rekam medis, mendesain perawatan dan pemantauan kesehatan, perawat virtual, penciptaan obat, presisi pengobatan dan banyak lagi.

Kecerdasan buatan juga berkembang pesat pada sektor jasa keuangan seperti aplikasi Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak dan lainnya.

Aplikasi kecerdasan buatan lainnya dapat dilihat pada konsep kota cerdas (smart city).

Kota cerdas yang menggunakan televisi sirkuit tertutup (CCTV) untuk kanal masuknya data, juga menggunakan aplikasi yang menghimpun laporan dari warga.

Partisipasi warga berupa informasi tentang lambannya birokrasi, kondisi lingkungan bahkan bencana akan masuk dalam dasbor pemerintah yang ditampilkan berbentuk grafik representatif agar mudah dibaca.

Dasbor informasi terpusat tersebut, membantu pemangku kepentingan untuk mengambil tindakan agar tata kota makin efisien, kualitas layanan meningkat dan warganya makin sejahtera.

Memang bersatunya teknologi dan pengetahuan telah banyak mengambil alih pekerjaan manusia. Ambil contoh konsumen jasa transportasi berbasis sepeda motor makin dimanja ketika layanan itu telah menggurita menjadi “one-stop service application” dimana pelanggan dapat melakukan pemesanan aneka jasa hanya dari satu aplikasi. Berapa banyak jenis pekerjaan yang terlibas akibat inovasi itu.

Agaknya perlu definisi ulang jenis pekerjaan yang hanya mampu dikerjakan manusia. Seluruh sektor telah dirambah, hal ini dipercepat oleh peningkatan konektivitas dan ketergantungan bisnis dengan pasar dunia, termasuk pasar tenaga kerja.

Apa kabarnya tenaga kerja?, khususnya tenaga kerja migran asal Indonesia yang kerap menyandang gelar pahlawan devisa?

Ada saatnya perannya mulai terancam oleh dominasi kecerdasan buatan yang terbukti mampu mendongkrak produksi dan kualitas barang dan jasa. Saat ini mudah ditemui robot pembersih lantai, robot barista yang siap membuat puluhan pesanan kopi seketika, bahkan telah dikembangkan robot yang mampu menemani manusia lanjut usia.

Namun jangan berkecil hati, setidaknya hingga saat ini, karena kecerdasan buatan belum menggapai wilayah “kesadaran”.

Kesadaran berasal dari akar kata sadar yang berarti insaf; merasa; tahu dan mengerti (KBBI) sehingga kesadaran berarti keinsafan; juga berarti keadaan mengerti.

Kesadaran memang masih menjadi milik manusia seutuhnya, sampai tiba saatnya ditemukan algoritmanya. Kelak kalaupun algoritma kesadaran berhasil ditemukan dan ditanam pada robot, manusia tetap memiliki pilihan untuk memelihara kesadarannya.

Mungkin tidak berlebihan bila ada upaya meningkatkan kesadaran manusia melalui pembelajaran kisah-kisah serupa sebelumnya. Kisah hidup otentik itu setidaknya memperluas wawasan manusia.

Kumpulan Kisah Berhikmah

Telah terbit buku berjudul Kisah berhikmah: kumpulan karya terbaik pekerja migran Indonesia dari berbagai Negara, dengan editor Naning Pranoto. Buku setebal 289 halaman (21 cm) ini diterbitkan oleh Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta pada 2017.

Buku ini berisi 25 karya terbaik pekerja migran Indonesia yang mengikuti Lomba Menulis Kisah Berhikmah BMI (Buruh Migran Indonesia) – Tingkat Internasional tahun 2017. Lomba ini diprakarsai oleh Yeni Fatmawati F. Idris.

Yeni Fatmawati adalah Managing Partner Indonesian Consultant at Law (ICLaw). Pengacara yang memiliki keahlian sebagai pelukis, pematung dan penyair itu memiliki perhatian besar pada bidang literasi sastra dan seni rupa.

Menurut Yeni, buku kompilasi tulisan hasil lomba tersebut isinya menarik dan bernas. “Banyak hikmah yang bisa diambil dari isi buku ini sebagai guru sejati kehidupan” (halaman xiii).

Yeni berharap agar buku itu dapat mengedukasi pembacanya menjadi manusia yang jujur, religius, memiliki etos kerja tinggi, bertoleransi dan penuh kasih sayang. Selain itu juga memberikan pemahaman makna bekerja secara profesional untuk keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan jiwa serta raga.

Buku itu layak dijadikan panduan bagi siapa saja yang ingin bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran formal yakni di lingkup perusahaan atau lembaga maupun lingkup nonformal untuk urusan domestik/rumah tangga.

Bertindak selaku editor buku adalah Naning Pranoto, seorang sastrawan dan penggiat literasi Indonesia. Naning hingga tahun 2010 telah menghasilkan 20 judul novel dan ratusan cerita pendek, sejumlah buku non fiksi serta karya ilmiah yang ditulis di berbagai jurnal.

Naning menyebutkan tujuan lomba adalah untuk menumbuhkan minat menulis dan menyuburkan perkembangan gerakan literasi bagi pekerja migran Indonesia di manapun berada. Sedangkan misinya adalah mengusung gerakan edukasi berpikir kritis-kreatif dan terapi melalui pena untuk pekerja migran Indonesia.

Semoga kualitas informasi yang baik dan terverifikasi dapat menjadi salah satu input untuk meningkatkan kesadaran. Paling tidak pembaca dapat melihat kisah keberhasilan dan belajar agar tidak melakukan kesalahan serupa. Harapannya pekerja migran Indonesia memiliki kapasitas dan kapabilitas ekselen sekaligus utuh harkat kemanusiannya.

Catatan Don Quijote : Sebuah Kado Istimewa Membuat Kita Tertawa Sepanjang Masa

$
0
0

Ditulis Oleh : Naning Pranoto


“Ada satu novel yang harus dibaca sebelum Anda mati, itulah Don Quijote”

(Ben Okri, Sastrawan Posmo Terkemuka – Nigeria)

Tentu saja saya sependapat dengan Ben Okri yang karya-karyanya saya kenal sejak pertengahan tahun 90-an kala saya belajar creative writing di Negeri Kanguru. Karena Novel Don Quijote merupakan salah satu bacaan wajib yang harus kami baca dan telaah, selain Novel Animal Farm karya George Orwell.  Kedua novel tersebut memang sastra yang bernas disajikan secara nyleneh.  Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616) pengarang Don Quijote maupun George Orwell (1903-1950), keduanya merupakan sastrawan yang sangat piawai berimajinasi  dan berpikir melampui batas atau out of the box. Pola imajinasi dan pola pikir yang demikian selalu membuat saya jatuh hati untuk berguru pada mereka melalui karya-karyanya. Sepertihalnya saya juga haus  berguru pada karya-karya  Toni Morrison, Maya Angelou, Nawal el Sadaawi dan sastrawan lainnya peraih Nobel Sastra. Karya-karya mereka sebagian ada di rak buku saya sebagai ‘harta’ sangat berharga.

Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616)

Kembali pada Novel Don Quijote, jauh-jauh waktu sebelum belajar creative writing, saya sudah membacanya hingga saya mengenal tokoh Don Quijote. Orang yang memperkenalkan saya pada novel Spanyol itu adalah bibi saya, seorang dokter ahli mata yang mengasuh dan mendidik saya sejak kecil hingga dewasa. Bibi saya itu hobinya membaca. Ia  memperkenalkan pada saya tidak hanya buku-buku karya Anak Negeri, tapi juga penulis dan pengarang kelas dunia. Sehingga ketika saya kuliah di Fakultas Bahasa dan Sastra, merasa tidak asing  lagi pada buku-buku bacaan yang diwajibkan untuk ditelaah. Karena hampir 90% telah saya kunyah dan nikmati sejak usia dini. Efeknya, membuat saya tertarik membaca buku-buku ilmu budaya, filsafat dan sospol hingga  menjadi semacam  ritual dan menghela saya menjadi lonely  traveler.

Bukan Don Kizot dan Gemilang Pustaka Obor

Kembali pada Novel Don Quijote! Ya, ya, saya sudah membacanya novel itu sejak usia kira-kira 10 tahun atas ‘perintah’ bibi saya yang tadi sudah saya sebut, seorang dokter ahli mata. “Ini kamu baca  Don Kizot.  Selain lucu, kamu bisa belajar jadi banyak akal dan berpengetahuan luas.” Kata bibi saya, sambil menyodorkan buku ukuran saku bergambar seorang satria bertubuh kurus mengendarai kuda yang mirip keledai.

Kemudian, buku dari bibi saya tersebut  saya baca. Saya pun  paham siapa sosok ksatria bertubuh kurus yang naik kuda yang mirip keledai itu adalah Don Kizot dari La Mancha Spanyol. Bukunya tidak tebal, berisi sekitar 10 judul cerita kalau tidak salah, judulnya Petualang Don Quixote. Isi ceritanya lucu-lucu. Yang paling saya ingat adalah ketika ia mengaku-aku sebagai seorang ksatria ketika menginap di sebuah losmen sangat buruk, tapi dalam imajinasinya losmen itu merupakan hotel itu sangat mewah. Ia merasa dilayani para perempuan jelita. Padahal para pelayanan losmen itu jauh dari sebutan jelita. Maka mereka sangat terkejut dan heran ketika dipuji berparas jelita. Demikian pula hidangan yang disajikan dianggapnya makanan mewah, padahal hanya sup kentang dingin dan sepotong roti. Di balik kekonyolan imjinasi Don Kizot, ada nilai-nilai filosofi yang mengajarkan bahwa kita wajib menghargai siapa pun, benda-benda seburuk apa pun dan bersyukur saat menikmati makanan yang kita santap.

Sekitar setengah abad lebih, pada satu siang di  bulan Juni 2019, saya mendapat kiriman dua buku bersampul kuning sangat tebal, berilustrasi seorang ksatria bertubuh kurus naik kuda bersama pengawalnya. Masing-masing terdiri 572 halaman dan 566 halaman. Judul buku Don Quijote dari La Mancha Jilid I dan Don Quijote dari La Mancha Lijid II karya Miguel de Cervantes, pengirimnya Ibu  Kartini Nurdin, Pimpinan Penerbit Pustaka Obor.

Waowww… dapat kiriman Novel Don Kizot! – saya menjerit riang. Dengan tergesa-gesa Buku Jilid I saya buka. Ooohhh… saya dapat novel asli Don Kizot, yang diterjemahkan dari Bahasa Spanyol oleh Prof. Apsanti Djokosujatno – empu penerjemah.  Langsung saya baca Catatan Penerjemah – Ibu Apsanti (halaman ix)  yang bekerja keras untuk menerjemahkan novel klasik sepanjang masa itu, selama bertahun-tahun. Yang paling terkesan dan bermanfaat dari catatannya, saya mendapat pengetahuan baru tentang pelafalan nama Don Kizot secara benar yaitu dibaca Don Kikhote dari spelling aslinya Don Quijote. Maka, untuk selanjutnya dalam tulisan saya ini menggunakan nama lafal Don Kikhote, terhadap pelaku sentralnya.

Dengan terbitnya Novel Don Quijote dari La Mancha  Jilid I dan Jilid II, yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Obor Indonesia bekerjasama dengan Kedutaaan Besar Spanyol untuk Republik Indonesia, maka makin memperkaya khazanah sastra dunia  di Persada Indonesia. Langkah-langkah Pustaka Obor memang selalu gemilang dalam mencerdaskan masyarakat melalui ‘obor’bacaan sastra, sesuai dengan misi-visi yang dicanangkan oleh pendirinya, sastrawan-budayawan-wartawan Mochtar  Lubis (1922-2004). Di tengah gencarnya bisnis bernafas kapitalistik, Penerbit Pustaka Obor masih tetap mampu  mengemban misi-visinya yang idialistik dengan teguh.

Don Quijote, Bukan Sekadar  Bacaan ‘Flash-Flush’

Novel Don Quijote dari La Mancha Jilid I dan II yang diterbitkan oleh Pustaka Obor  dan beredar pada Juli 2019, berbeda dengan buku-buku serupa yang telah  beredar di Indonesia saat ini. Karena novel yang diterbitkan Pustaka Obor tersebut diterjemahkan secara komplit  edisi pertama ke dalam Bahasa Indonesia dari novel aslinya berbahasa Spanyol berjudul Don Quijote de la Mancha. Novel ini diakui sebagai ‘karya sastra paling berarti sepanjang masa’ oleh Norwegian Book Club pada tahun 2002 dan kini bisa kita miliki sebagai bacaan legendaris sastra dunia yang merekatkan hubungan budaya antara Indonesia dan Spanyol.

Novel karya Miguel de Cervantes ini telah diterjemahkan ke dalam 140 bahasa asing di luar Bahasa Spanyol. Pertama kali terbit berjudul El Ingenioso Hidalgo Don Quijote de la Mancha  dan dicetak tahun 1605

Don Quijote diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris untuk pertama kalinya tahun 1608 oleh penulis Inggris kelahiran Dublin, Thomas Shelton. Cetakan kedua dipublikasi tahun  1615 dan  diakui sebagai roman modern pertama di dunia. Diperkirakan hingga saat ini telah terjual sekitar 500 juta eksemplar. Dua buku lainnya yang dianggap saingannya adalah Novel A Tale of Two Cities karya Charles Dickens yang telah terjual 200 juta eksemplar dan Novel The Lord of the Rings Trilogy karya J.R.R. Tolkien terjual 150 juta eksemplar.

Di Indonesia, buku Don Quijote diterbitkan sebagai ‘edisi ringkas’ untuk yang pertama kalinya oleh Penerbit Balai Pustaka tahun 1950-an, demikian kesaksian budayawan Goenawan Mohamad dalam kata pengantarnya dalam Novel Don Quijote dari La Mancha Jilid I dan II yang baru saja dirilis oleh Penerbit Pustaka Obor pada bulan Juli 2019. Perilisannya juga didukung dengan berbagai diskusi, bedah buku, pembacaan puisi dll yang dikemas dalam Festival Don Quijote  untuk menyambut hadirnya buku sastra klasik Spanyol tersebut yang bukan sekadar bacaan kelas mini-fiksi alias flash-flush atau karya pop.

Imajinasi yang Membauat Pembaca Mawas Diri

Buku Don Quijote yang say abaca di masa kecil (mungkin yang diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti yang disebut oleh Goenawan Mohamad) sungguh berbeda dengan buku  Don Quijote yang diterbitkan oleh Pustaka Obor. Selain bentuk fisiknya juga isinya. Tapi keduanya masih ada benang merahnya walau hanya tipis.Yaitu, menceritakan tentang sosok lelaki berusia 50-an,  mengaku-aku sebagai seorang ksatria,  efek dari buku-buku cerita yang meracuni otaknya. Khususnya  karya Feliciano de Silva,  tentang petualangan para ksatria yang dibacanya siang dalam malam tiada henti. Isi cerita yang dibacanya  membuat dirinya lebur dalam fantasi yang hanya dipahami oleh dirinya.

Baginya, membaca kisah-kisah pengembaraan para ksatria adalah kenikmatan yang tiada tara. Maka ia rela  menghabiskan uangnya, hingga menjual tanah dan harta miliknya, untuk membeli buku-buku yang digandrunginya itu. Sehingga ia menjadi ‘seperti gila’ karena pengaruh tokoh-tokoh yang dibacanya. Pengaruh tersebut  mendorongnya berpakaian dan berpenampilan seperti ksatria dengan kostum dan properti apa adanya sehingga mengundang tanda-tanya dan tawa. Ia pun meninggalkan desanya dengan naik kdanya yang kurus,  untuk mengembara seperti para ksatria yang dibacanya. Dari pengembaraannya ia menjumpai berbagai orang yang masing-masing memiliki kisah  unik, lucu mengundang tawa tapi banyak juga yang tragis bikin ngilu hati. Semuanya itu dapat dibaca di kisah yang disajikan Bab ber Bab.

Dalam buku Jilid I, terdiri dari 52 Bab. Buku Jilid II terdiri dari 74 Bab. Cerita antara Bab dengan Bab berikutnya ada yang terkait, tapi ada pula yang terpisah – berbeda kisah (tidak ada hubungannya). Karena cerita yang disajikan merupakan cerita berbingkai dalam bingkai tapi alurnya sederhana. Sehingga tidak perlu berpikir dan mengulang Bab sebelumnya. Masing-masing cerita pada umumnya mengundang tawa tapi jika direnungkan ada kepedihan yang menyelip dalam rasa dan kemudian memberikan hikmah. Yang lebih penting lagi, kita jadi bisa mawas diri melalui tokoh utama Don Quijote, pembantunya Sancho Panza, Rocinante – kudanya yang kurus dan orang-orang yang dijumpai tokoh utama dengan berbagai kalangan antara lain petani, pastor, buruh, babu, orang gila, lelaki jomblo, perempuan nakal, ilmuwan, hingga istri yang baik maupun maupun yang tidak setia. Selesai membaca kisah-kisah yang ada dalam buku ini, jika mau jujur, pembaca ada di dalamnya dan mengakui:  itu sih gue banget haaa…haaa…!

Don Quijote  Merasuk Dalam Rasa Kita

Membaca buku tebal hingga 1.000 halaman memang tidak  menarik semua orang. Tapi bila Anda mau serius membaca kisah-kisah Don Quijote tentu akan merasakan tarikan magis yang mengundang Anda terus membacanya hingga selesai karena terpancing oleh tawa yang memecah dari teks yang mengisahkan misalnya –  bagaimana Don Quijote menciptakan kekasih bayangan dari imajinasinya yang membuatnya seolah-olah perempuan itu ada dalam hidupnya dan diberi nama Dulcinca dari Toboso  (halaman 24 – 25, Jilid I). Karena baginya,ya… bagi seorang kstaria tanpa cinta seorang perempuan adalah bak pohon tanpa daun, tanpa buah dan tubuh tanpa jiwa.  Di balik perasaan yang sentimental itu pembaca tentu tertawa karena kekasih bayangannya itu terinspirasi dari anak perempuan seorang petani, tetangga desanya, yang bernama Aldonza Lorenzo yang ditaksirnya secara diam-diam. Sepertihalnya kala Don Quijote merasa telah menaklukkan musuh-musuhnya, padahal musuh-musuh itu hanya ada dalam imajinasinya. Walau hidup dalam kubah imajinasi  ia  merasa bahagia, karena mampu menjadikannya  lelananging jagadsuper hero!

Don Quijote dalam pengembaraan bersama Sancho Panza dan Rocinante

Pedih? Tapi kisahnya  juga mengundang tawa. Ya, menurut saya, tokoh  Don Quijote memang  diciptakan oleh si jenius  Miguel  de Cervantes untuk mengajak kita tertawa sepanjang masa. Karena cara  Don Quijote berimajinasi  kadang merasuk dalam tubuh kita untuk membasuh kepiluan dan menghibur diri saat kita kalah dan terpuruk: kita juga berimajinasi!  Tak percaya? Maka, bacalah hingga  tuntas  novel klasik berusia lebih dari empat abad, yang lahir di Bumi Matador  ini.

Selamat membaca!*


WAJAH : Cerpen Sides Sudyarto DS

$
0
0

Wajah -Cerpen Sides Sudyarto DS

DURMA mempunyai kesadaran yang luar biasa atas kesadarannya sendiri. Ia tahu bagaimana menghadapi orang bodoh, pintar, orang culas, orang jujur, orang miskin, atau kaya. Ia bisa jadi orang gila dan gagu, ketika harus naik oplet karena tidak mampu membayar.

Ketika muda ia merantau ke Yogya. Di sana ia membeli buku loakan. Pada halaman awal buku stensilan itu terbaca kalimat: filsafat tidak menanak nasi. Dan kini, dalam hidupnya di perantauan ia mencatat sendiri: ijazah tidak menanak nasi. Ia jadi penarik becak saat baru masuk Jakarta. Posisinya meningkat, saat ia jadi penjual koran.

Lompatan jauh ke depan, yang paling spektakuler, terjadi ketika ia dari tukang koran menjadi wartawan surat kabar paling berpengaruh di Jakarta. Tidak banyak orang tahu proses metamorfosis dahsyat itu. Ia menutup ketat masa lalunya itu. Puncak kariernya, ia menjadi penasihat seorang politikus muda yang sedang naik daun. Ketika kemudian tokoh flamboyan itu menghalalkan semua cara, ia pilih mundur. Antiklimaks terjadi, ia jadi pengangguran, hidup lontang-lantung.

Berbeda dengan mereka semua, Durma memilih warna lain. Ia memberikan beban berat kepada mukanya sendiri. Kepada wajahnya. Ia selalu siap menjadikan wajahnya sebagai alat penyamaran, alat berpura-pura, atau sebagai topeng perasaan dan pikirannya. Doktrin hidup pribadinya sekarang ialah: selama aku mampu merendahkan diri, siap dihina orang, aku masih bisa mendapatkan sedikit uang untuk hidup!

Wajahnya selalu menengadah, siap dimaki, dihina, disiksa, dianiaya, ditampar, atau bahkan juga diludahi. Karena wajah baginya adalah satu penampang dan simbol kehormatan, maka Durma siap menelan risiko menjadi manusia yang tidak terhormat.

“Mengapa kau memilih bunglon sebagai mahagurumu?” tanya Paron.

“Karena saya tidak punya mahaguru dari universitas. Toh ada bedanya. Bunglon berubah warna kulit untuk menyelamatkan dirinya, tanpa sadar. Ketika saya mengubah taktik saya, itu saya lakukan dengan sadar,” jawab Durma.

“Apa kau tidak mampu mencari mahaguru yang lebih bermutu?” ejek Paron.

“Ada, bahkan jauh lebih bermutu.”

“Siapa?”

“Kemiskinanku. Penderitaan hidupku adalah guruku yang nomor satu.”

“Coba kasih contoh untukku salah satu bentuk penderitaanmu!”

“Saya pernah disuruh menagih utang oleh seseorang, kepada seseorang. Karena aku menagih di pinggir jalan, orang itu marah dan ia meludahi wajahku.”

“Lalu, selanjutnya?”

“Selanjutnya aku menarik garis lurus kesimpulanku. Ternyata dengan bersedia diludahi wajahku, aku dapat uang. Artinya aku bisa bertahan hidup!”

“Apa tidak ada bisnis lain? Pekerjaan apa yang kau lakukan itu?”

“Aku bisnis muka. Bisnis wajah! Bisnis lain juga banyak kulakukan. Aku mengurus SIM, STNK, BPKB, calo tanah, calo onderdil mobil.”

“Dan hasilnya membuat kau bahagia?”

“Walah! Walah! Mas Paron, untuk saya kebahagiaan itu tidak pernah ada!”

Sudah tiga tahun terakhir ini Durma bekerja sebagai sopir pribadi Bu Jonoamijoyo. Ia akrab dipanggil Bu Ami, dikenal sebagai perempuan yang paling galak, kasar, tetapi baik hati. Ia suka memberi uang kepada siapa saja. Tentang Bu Ami orang-orang mengatakan: ia menghidupi orang dengan uangnya, sekaligus membunuh orang dengan kata-katanya. Semula Durma tidak percaya semua omongan orang itu. Setelah ia bekerja cukup lama barulah ia tahu apa yang sebenarnya.

Sebenarnya, Bu Ami perempuan yang cantik paras mukanya, pikir Durma. Selalu. Rambutnya yang hanya sebahu panjangnya, bergelombang alami. Memang sudah mulai memutih, tetapi menambah indah parasnya. Wajahnya selalu bersih, tanpa mengenakan bedak. Bibir pun merah asli tanpa gincu. Di zaman anggaran kecantikan mengalahkan anggaran pertahanan, ia sama sekali tidak berdandan.

Sayangnya, badannya terlalu besar karena gemuknya. Hebatnya, meskipun gemuk dengan bokong yang terlalu besar, ia selalu bergerak cekatan dan tidak ada segannya naik turun tangga dalam rumahnya yang berlantai tiga. “Durma, sebulan ini kau bekerja baik sekali. Kau tidak mangkir sehari pun. Kau pantas menerima bonus satu juta rupiah! Ingat, jangan sampai dicuri binimu di rumah. Perempuan kebanyakan hanya bisa mencuri uang suaminya. Rata-rata mereka tidak lebih dari komodo-komodo penghisap darah daging suaminya. Perempuan, juga istrimu, pastilah komodo yang pura-pura setia sebagai modal utamanya,” ujar Bu Ami.

Sering kali, Bu Ami dimaki-maki orang di depan rumahnya, karena ia sendiri menghamburkan makian yang luar biasa kotornya. Dua musuh utama Bu Ami adalah pemulung dan peminta sumbangan yang terus tumbuh bagai cendawan di musim hujan.

“Hai maling jahat! Rapikan kembali sampah-sampah itu. Kamu makan dari sampah, tetapi tak tahu aturan. Sampah kau obrak-abrik, berantakan. Baunya ke mana-mana. Jika tidak kau rapikan lagi, makan semua sampah busuk itu biar kenyang perutmu!” maki Bu Ami menghardik pemulung.

Suatu hari, datang seorang pemuda gondrong membawa daftar sumbangan. Jumlah sumbangan sudah ditentukan.

“Sumbangan itu suka rela. Jangan maksa begini! Aku tak mau dipaksa. Kalau maksa, namanya rampok! Garong! Kau pikir cari uang mudah?” ujar Bu Ami bergetar.

Penarik sumbangan marah luar biasa. Ia menghunus goloknya, lalu mengejar perempuan gembrot yang menghinanya. Durma terpaksa tampil sebagai pahlawan.

Akhir-akhir ini Bu Amijoyo sakita-sakitan. Keluhannya, seringkali kakinya merasa pegal-pegal dan ngilu, terutama pada bagian-bagian persendiannya. Dia bilang itu penyakit asam urat. Maka secara periodik ia pun harus ke dokter dan apotek untuk beli obat. Langganannya: voltaren, silorit. Hingga bosan ia membayar dokter dan membeli obat, tidak juga sembuh. Rasa sakit, nyeri dan ngilu memang lenyap setelah makan obat. Tetapi begitu obat habis, kambuh lagi rasa sakitnya yang sangat menyiksa.

“Durma, sudah seminggu kau tidak bekerja, lantaran aku sakit. Kau makan gaji buta! Sekarang aku sakit, kau tidak peduli. Sekarang kau mau berbuat apa?”

“Apa yang bisa saya lakukan, Ibu?”

“Kau punya otak atau tidak? Mestinya kau berpikir, bagaimana aku cepat sehat. Molor saja kerjamu itu!”

“Saya sudah antar Ibu ke dokter. Saya sudah ke apotek beli obat,” jawab Durma.

“E, apa matamu buta? Sudah berapa juta uang dihamburkan untuk beli obat? Dokter mahal, obat mahal. Tidak menyembuhkan! Penipu! Coba cari obat lain, Durma!”

Durma pergi mencari obat tradisional.

Di jalan, ia jumpa Mas Paron lagi. “Kau masih bekerja pada Bu Gendut itu?” tanya Mas Paron.

“Masih, Mas. Orangnya baik sekali!”

“Baik sekali katamu? Sopir lain hanya tahan tiga hari! Kau sudah tiga tahun!”

“Dia itu orang yang sangat kaya harta, tetapi sangat miskin bahasa. Ia banyak memberi uang kepada orang. Bukan hanya kepada saya saja, Mas!”

“Kau mau ke mana sekarang?”

“Majikan saya sakit asam urat. Sudah lama. Dokter dan obat tidak menyembuhkan, Mas. Kalau kumat, ia nangis jejeritan.”

“Dia orang baik, katamu. Harus kita tolong. Nah cari obat tradisional, ini merknya. Adanya di warung jamu Pasar Lama. Harganya hanya seribu perak sebungkus,” ujar Mas Paron.

Durma pulang dengan sepuluh bungkus jamu.

“Luar biasa. Seperti orang main sulap saja. Sayang langsung sembuh!” ujar Bu Amijoyo kepada Durma. Ia sangat kagum, sebab minum jamu sore, pagi harinya ia langsung bisa jalan normal lagi. Hari itu juga Bu Amijoyo minta diantar ke supermarket, untuk membeli keperluan sehari-hari.

Beberapa waktu kemudian terjadi peristiwa yang paling mengejutkan dalam hidup Durma. Bu Amijoyo menyerahkan surat rumah, surat mobil kepadanya. “Ini mesti saya apakan, Ibu?”

“Pegang saja, simpan. Barang-barang itu semua akan jadi milikmu.”

“Saya tidak berhak menerima warisan dari Ibu. Maafkan saya, Ibu!”

“Diam, Durma. Aku tak punya anak, tak ada sanak saudara. Aku akan ke notaris. Itu semua untukmu.” ujar Bu Ami. “Tidak lama lagi saya masuk panti jompo. Di sana orang-orang tua yang tidak mau terlantar seperti aku, bakal dirawat dengan baik.”

Beberapa bulan kemudian Bu Amijoyo menuju panti jompo, diantarkan Durma dengan mobil mewahnya. Di sana ia menunjukkan nomor kamarnya, tempat untuk menerima jengukan dan sebagainya.

“Saya yakin, Ibu masih punya kerabat dekat,” ujar Durma memberanikan diri.

“Jangan membuat aku berpikir mundur! Aku hanya ingin hidup bebas. Kebebasan adalah segalanya dalam hidupku!” ujar Bu Ami.

Durma terdiam saja.

“Baiklah kalau kau mau pulang. Tengok aku sehari sekali. Jika tidak, seminggu sekali atau sebulan sekali. Jangan lupa, kau akan mengatur pembayaran panti sebulan sekali. Terima kasih, Durma,” ujar Bu Ami sambil tegak berdiri.

Durma mohon diri, untuk dengan berat hati meninggalkan majikannya. Bu Amijoyo memeluknya beberapa lama. Setekah renggang rangkulannya, Bu Ami menyeka air matanya. Begitu juga dengan Durma. Ia tak tahan membendung tangisnya yang tanpa suara. Perempuan tambun berwajah cantik dan bersih itu terus menatap langkah-langkah Durma, hingga tak tampak lagi dari pandangannya.[]

Catatan: cerpen ini pernah dimuat di Republika, Minggu 1 Juli 2007.

Sides Sudyarto DS

Sides Sudyarto DS, lahir di Tegal, 14 Juli 1942 dan meninggal di Jakarta, 9 Oktober 2012. Nama aslinya adalah Sudiharto. “Sides” sendiri konon merupakan singkatan dari “Seniman Desa”. “DS”-nya adalah dua inisial dari nama orang tuanya.

Sebelum pindah ke Jakarta, dia sempat melakoni hidup sebagai guru SD, sembari melanjutkan sekolah di SMA PGRI Tegal. Setelah pindah ia sempat melakoni hidup sebagai tukang becak sembari kuliah di UI Jurusan Sastra Belanda. Kemudian, ia juga sempat kuliah di Akademi Bahasa Asing (ABA).

Selain dikenal sebagai sastrawan, beliau juga dikenal sebagai wartawan. Pernah menjadi anggota redaksi majalah Bobo, redaktur eksekutif majalah Jakarta-Jakarta, lalu redaktur eksekutif Media Indonesia, dan juga pemimpin redaksi mingguan Kultural Intelektual.

Banyak menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan sebagainya. Karya-karyanya banyak bertebaran di berbagai media massa, seperti Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Republika, Sinar Pagi, majalah Tempo, Surabaya Post, Mimbar Umum, Matra, Kartini, Gatra, majalah Horisan, majalah Budaya Jaya, majalah Sastra, majalah Ulumul Qur’an, dan lain-lain.

Beberapa karyanya yang telah dibukukan, di antaranya: Kebatinan (tanpa tahun), Pahlawan dalam Puisi (1979), Sajak-Sajak Tiang Gantungan (2002), Shalat Lebaran di Kamp Konsentrasi (2006), Rambut Emas Kakek Bijaksana (1975), Manusia dan Bahasa (2009), dan Kritik atas Puisi Indonesia (2012). Karya puisinya masuk dalam antologi penyair Indonesia Tonggak editor Linus Suryadi AG. Sebagian karya puisinya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit di Australia dengan judul Beyond the Horison (Monash Asia Institute, 1998)

Saat meninggal, beliau masih menjabat sebagai wakil ketua pengurus pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi

LOMBA MENULIS REPORTASE VISIT PAMERAN BUKU IIBF 2019

$
0
0

GRATIS

Berhadiah Uang Tunai dan Piagam
Seluruh Peserta Lomba mendapai Piagam Peserta

Dalam rangka mengangkat kegiatan Gerakan Literasi Sekolah ke forum internasional, melalui surat ini kami mengundang sekolah yang Bapak/Ibu pimpin untuk ikut serta tampil di Indonesia International Book Fair (IIBF) 2019 yang diselenggarakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tanggal 4 – 8 September 2019 di Jakarta Convention Centre (JCC/Balai Sidang Jakarta).
Sehubungan dengan hal tersebut kami mengajak Siswa-Siswi Bapak/Ibu untuk mengikuti Lomba Menulis Reportase Visit IIBF 2019, persyaratan sebagai berikut:

1. Lomba dibuka 4 September 2019 dan ditutup 8 September 2019 Peserta mendaftar melalui email: rayakultura@gmail.com atau langsung ke Stand Rayakultura No. 22 Area Pameran Buku IIBF 2019

2. Peserta Siswa-Siswi SLTP/SMP dan SLTA/SMA dan setingkat bagi semua pengunjung Pameran Buku IIBF 2019, yang berlangsung dari tanggal 4 – 8 September 2019 di JCC/Balai Sidang Jakarta.

3. Judul bebas. Karya ditulis dalam bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dilampiri foto penulis dan Stand Pameran No. 22 yang digelar oleh Yayasan Rayakultura

4. Panjang tulisan antara 300 – 500 kata, ditulis dengan huruf Times New Roman Font 12, untuk judul Font 16, spasi 1,5. Cantumkan nama penulis, sekolah dan Nomor HP/WA agar mudah dihubungi

5. Karya tulis laporan dikirim melalui email: rayakultura@gmail.com cc naning.pranoto2@gmail.com

6. Pengumuman Pemenang pada tanggal 30 September 2019 melalui Medsos dan Website: www.rayakultura.net dan www.warior.id

7. Karya tulis yang masuk ke Panitia Lomba akan dipilih 3 (Tiga) Pemenang. Hadiah: Pemenang I, Uang Tunai Rp 750.000, 00; Pemenang II, Uang Tunai Rp 500.000,00 dan Pemenang 3. Uang Tunai Rp 250.000,00. Semua Pemenang mendapat Paket Buku dan Piagam Pemenang

8. Seluruh peserta mendapat Piagam Peserta

 

Bogor, 21 Agustus 2019

Salam Literasi,

Naning Pranoto
Penggagas dan Ketua Panitia Lomba

 

TOTALITAS & RETORIKA DALAM AKSI PANGGUNG PUISI

$
0
0

Aku lega rasanya acara Diskusi “TOTALITAS & RETORIKA DALAM AKSI PANGGUNG PUISI” di PDS H.B. Jassin – Taman Ismail Marzuki, sudah selesai dilaksanakan. Acara yang disiapkan selain untuk ikut meramaikan Hari Puisi Indonesia, juga untuk menyambut Hari Penyair Dunia (21 Agustus).

Meski waktu persiapan relatif pendek, sangat bersyukur acara berjalan mulus dan meriah.

Tentu semua ini tak lepas dari peran serta sahabat2 di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jaasin yang begitu besar jasanya. Pak Diki Lukman, Mbak Ariany Isnamurti, mbak Nel Sukini dkk. Juga rekan Pemda Bali di Jakarta yang membantu koordinasi kehadiran sahabat kami, Ibu Gubernur Bali, mbak Ni Putu Putri Suastini sebagai salah satu pembicara, meski kehadiran mbak Putri kemarin tentu saja dalam kapasitasnya sebagai seniwati, bersama tokoh penulis, Ibu Naning Pranoto (seniman lengkap yang telah menulis 300an buku).

Tamu undangan yang datang beragam. Selain teman-teman sastra yang biasa hadir, juga ada 16 belas perwakilan SMU (diwakili murid dan guru), serta kalangan mode yang petang itu menggelar peragaan busana wastra batik nusantara.(EB)

JK TERTARIK GERAKAN LITERASI SEKOLAH

$
0
0

 

Wakil Presiden RI, Bapak Jusuf Kalla mengunjungi Stand Rayakultura IIBF 2019 di JCC, pada 8 September 2019. “Beliau begitu santai, hanya didampingi ajudan. Kemudian melihat buku-buku yang kami terbitkan, khususnya karya-karya literasi para pelajar yang kami.bimbing.” papar Didien Pradoto yang menyambut kedatangan JK sebagai kejutan.

JK juga tampak senang ketika melihat buku-buku karya sahabatnya, Dr. Fahmi Idris dan karya Yeni Fatmawati istri Fahmi Idris yang berada di Stand Rayakultura.

Sebelum meninggalkan Stand Rayakultura JK mengatakan bahwa ia mendukung cucu-cucunya berkegiatan literasi. Tentu saja Rayakultura bersama Naning Pranoto siap membimbingnya.

Sungguh kabar gembira di hari penutupan IIBF 2019.

Salam Literasi

API SPIRIT BERLITERASI RAYAKULTURA TERUS MENYALA

$
0
0

IIBF 2019 telah usai. Yayasan Rayakultura yang konsen pada Program Creative Writing, Seni Pentas, Film Pendek dan Gerakan Literasi membina sekolah dari TK hingga Tingkat SLTA, perguruan tinggi dan berbagai lembaga sosial, swasta dan pemerintah hadir di ajang pameran buku internasional ini dan mendapat sambutan hangat dari pengunjung. Terbukti dengan suksesnya pelaksanaan Lomba Menulis Reportase IIBF 2019 yang diikuti oleh 350 peserta siswa SMP/SMA Se-Jabodetak, melimpahnya pengunjung di Stand No 22 Yang kami gelar dan hadir pula Wakil Presiden RI Bapak Jusuf Kalla yang berbincang litetasi dengan kami.

Penjualan buku? Waoow.. ..surprising. Buku-buku yang kami pamerkan banyak diminati pengunjung, khususnya karya literasi dari SMP dan SMA DON BOSCO 2 Pulomas Jakarta Anastasia Rini Pujowati buku-buku creative writing karya Naning Pranoto buku hasil penelitian karya Dr. Fahmi Idris Yeni Fatmawati karya Kepala Sekolah L. Asri Indah Nursanti karya P2M Melly Waty juga karya sastrawi lainnya. Kenyataan tersebut merupakan bukti apresiasi masyarakat teehadap langkah-langkah kami bagi anak bangsa.

Selain itu kami juga menggelar beberapa talkshow antara lain “Manfaat Puisi Untuk Terapi” bersama Dr.dr. Arman Yurisaldi Saleh “Pengalaman Berliterasi Digital” bersama Siswa Siswi SMA St. Laurensia Alam Sutera , Pentas Seni bersama TK dan SMP Don Bosco 2 Pulomas dan Peluncuran buku karya Siswa Siswi Sekolah Terpadu PAHOA Serpong Bintang Pustaka serta Jumpa Mobile Library LITT. Coffee yang berliterasi secara inovatif melalui sociopreneur.


Terima kasih kepada Panitia IIBF, Ibu Kartini Nurdin Yayasan Pustaka Obor Penerbit KK Kurniawan Junaedhie Penyair Adri Darmadji Woko dr. Handrawan Nadesul Andre Birowo Melania Siswoyo pustakawati Hanna Latuputty mitra kami dalam berjuang agar pena mencahaya dalam setiap jiwa.

Mari terus kita nyalakan api berliterasi: MENGASAH KREATIVITAS TANPA BATAS

Salam Literasi Sepenuh Hati

Naning Pranoto, Yeni Fatmawati dan Didien Pradoto

Viewing all 175 articles
Browse latest View live